PADA Jumat, 23 Januari 1931, seluruh toko di Yerusalem tutup, tetapi jalanan dipadati orang. Di tengah kerumunan, sebuah prosesi pemakaman bergerak khidmat menuju Masjid Al-Aqsa. Di barisan terdepan, seorang pria berjalan berdampingan dengan Mufti Besar Palestina, Amin Al-Husseini. Pria itu bernama Shaukat Ali Khan, dan ia sedang dalam perjalanan untuk memakamkan adiknya, Mohammad Ali Jauhar.
Shaukat Ali Khan (10 Maret 1873 – 26 November 1938), yang dikenal banyak orang sebagai “Sang Kakak”, adalah seorang pejuang kemerdekaan India terkemuka dan salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia Muslim. Ia mendirikan Anjuman-i Khuddam-i Ka’ba (Asosiasi Pelayan Ka’bah) pada 1913 untuk melindungi monumen suci Islam di Makkah, Madinah, dan Yerusalem, serta memfasilitasi ibadah haji dari India. Sekitar waktu yang sama, karena kondisi kesehatan adiknya yang buruk, ia mengambil alih tanggung jawab manajerial surat kabar yang diterbitkan oleh Mohammad Ali: Hamdard (harian Urdu) dan Comrade (mingguan Inggris).
Kecintaan yang mendalam terhadap Palestina
Kecintaan ini membuatnya, setelah kematian adiknya, mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan Palestina dan hak-hak rakyatnya. Setelah Mohammad Ali wafat di London, rakyat India ingin jenazahnya dibawa kembali untuk dimakamkan di sana. Bahkan istri Mohammad Ali pun menginginkannya dimakamkan di tanah India. Namun, Shaukat Ali meyakini bahwa lebih tepat untuk menghormati undangan Mufti Amin dengan memakamkannya di kompleks Masjid Al-Aqsa.
Baca Juga: Raja Faisal: Sang Raja Pemberani Pembela Palestina
Dalam sebuah surat dari London pada Januari 1931, Shaukat Ali menjelaskan alasannya: “Mohammad Ali dimakamkan di Masjid Al-Aqsa untuk memperkuat ikatan antara Muslim India dan saudara-saudara Arab mereka.”
Ziauddin Ahmed Barni, yang bekerja bersama Maulana Mohammad Ali di Hamdard, menulis dalam bukunya Azmat-E-Rafta: “Maulana Shaukat Ali memiliki kecintaan yang mendalam terhadap orang Arab, khususnya Arab Palestina. Ia begitu setia pada tanah ini sehingga akhirnya menyetujui jenazah Maulana Muhammad Ali dimakamkan di sana, di tanah suci ini, untuk mempererat hubungan antara Muslim India bersatu dan orang Arab.”
Shaukat Ali menunjukkan komitmennya dengan pidato yang disampaikan dari teras Kubah Shakhrah di kompleks Masjid Al-Aqsa setelah shalat jenazah. Meski pidatonya dalam bahasa Inggris, Komisaris Tinggi Palestina berkomentar, “Ini meninggalkan kesan mendalam pada pendengar Arab.”
Sebagian pidato Shaukat Ali diterbitkan di harian Arab Filistin. Ia berkata: “Kami memiliki kecenderungan alami untuk mencintai tanah suci ini dan rakyatnya. Dan karena itulah kami datang untuk memakamkan orang yang paling kami sayangi [Mohammad Ali], yang termasuk orang terbaik dari tanah ini dan rakyatnya, seseorang yang sangat dicintai semua orang.”
Baca Juga: Ummu Haram binti Milhan, Sahabiyah yang Menjadi Syahidah di Pulau Siprus
Sehari setelah pemakaman, Maulana Shaukat Ali bertemu dengan Komisaris Tinggi Palestina, pejabat Mandat Inggris J.R. Chancellor. Mufti Amin Al-Husseini juga hadir dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu. Dalam diskusi tersebut, Shaukat Ali menjelaskan niatnya ke depan.
Menurut dokumen rahasia dari Arsip Nasional India, komunitas Yahudi berusaha mencegah pemakaman Mohammad Ali di Yerusalem. Dalam pertemuan itu, Shaukat Ali menegaskan: “Dia [adiknya] bersimpati kepada orang Yahudi sebagai bangsa yang tertindas, tetapi ia tidak bisa menerima mereka merebut tanah dari orang Arab Palestina. Sudah jelas baginya bahwa orang Yahudi tidak akan puas dengan sekadar Rumah Nasional di Palestina, tetapi mereka ingin menjadikan Palestina sebagai Negara Nasional Yahudi, di mana orang Arab akan menjadi pelayan dan buruh. Muslim India tidak akan pernah setuju jika orang Arab Palestina ditempatkan dalam posisi seperti itu.”
Ia menambahkan, “Muslim India sekarang solid dalam dukungan mereka kepada orang Arab Palestina; anggota Muslim Konferensi Meja Bundar India telah menyampaikan pandangan mereka tentang masalah Palestina kepada Pemerintah Yang Mulia [di London].” India, saat itu, masih bagian dari Kekaisaran Inggris.
Kecintaan Shaukat Ali pada Palestina juga terlihat dari rencananya mengunjungi negara itu awal 1931. Menurut laporan New York Times tanggal 26 Desember 1930: “Pemimpin Muslim India terkenal, Shaukat Ali, yang bersama adiknya, Maulana Mohammad Ali—kini di London—membentuk Komite Khilafah India di Bombay enam tahun lalu, dilaporkan berencana datang ke Palestina awal tahun depan. Dikatakan Shaukat Ali akan melakukan tur keliling Eropa yang menurut pers Arab akan menguntungkan perjuangan nasionalis Arab Palestina. Disebutkan bahwa Jamal Hussein, yang kini berada di London, telah mengatur kunjungan Shaukat Ali ke Tanah Suci atas permintaan Mufti Besar, yang bermaksud menggunakan pengaruh pemimpin Muslim India untuk kepentingan Arab Palestina.”
Baca Juga: Dr Joserizal Jurnalis: Pendiri MER-C, Pejuang Kemanusiaan dari Indonesia untuk Dunia
Maulana Shaukat Ali kembali ke India setelah pemakaman adiknya, tetapi pada tahun yang sama, ia kembali bepergian untuk meningkatkan kesadaran tentang perlindungan hak rakyat Palestina dan merumuskan rencana aksi bersama untuk pembebasan Palestina. Mufti Besar mengundang pemimpin dari negara-negara Islam di seluruh dunia untuk menghadiri konferensi sepuluh hari, yang diumumkan akan berlangsung di Aula Ruzta Al-Maarif, Yerusalem. Dari pihak Muslim India, Muhammad Iqbal, Maulana Ghulam Rasool Mehr, dan Maulana Shaukat Ali hadir dalam konferensi itu.
Setelah menyelesaikan tur ceramahnya di Amerika pada 1933, Shaukat Ali mengunjungi London lalu ke Jenewa. Dalam perjalanan pulang ke India pada April, ia juga singgah di Mesir dan Palestina.
Sekembalinya ke India, Mufti Besar Amin Al-Husseini dan sebuah delegasi menyusul dan mengunjungi beberapa kota di seluruh negeri.
Menurut berita di Times of India tanggal 5 Juli 1933: “Delegasi Palestina yang dipimpin Yang Mulia Mohammad Hussain-al-Amin [sic], Mufti Besar Yerusalem, tiba di Bombay pada Senin dari Agra. Delegasi disambut hangat di Stasiun Victoria oleh tokoh-tokoh Muslim terkemuka Bombay, termasuk Mr. Shaukat Ali dari Komite Khilafat Pusat.”
Baca Juga: Abu Chiek Oemar Di Yan; Ayah Para Teungku Chiek di Aceh
Times of India mencatat pada 24 Oktober 1933 bahwa Shaukat Ali mengimbau Muslim India untuk memperingati 16 November tahun itu sebagai Hari Palestina. Ia menulis: “Kita harus menunjukkan simpati aktif kepada saudara-saudara Arab kita dan mengumpulkan uang secara terkendali agar kita bisa membantu orang Arab membeli tanah yang ingin dibeli orang Yahudi. Rapat protes dan prosesi harus diorganisir di seluruh India.”
Ini menandai dimulainya tradisi peringatan Hari Palestina di India, yang berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Pada 1936, tanggal 19 Juni dipilih, dan masalah ini bahkan dibahas di Parlemen Inggris. Pada 1937, Hari Palestina diperingati di seluruh India pada 3 September, dan pada 1938, tanggal 28 Agustus.
Maulana Shaukat Ali adalah salah satu yang memboikot Komisi Simon pada 1928. Ia menghadiri Konferensi Meja Bundar pertama dan kedua di London, dan terpilih sebagai anggota Majelis Legislatif Pusat di India yang dijajah Inggris pada 1934, menjabat hingga 1938. Selama masa jabatannya, ia berkali-kali mengangkat isu Palestina di majelis. Menurut laporan Times of India tanggal 15 September 1936, ia mengajukan pertanyaan di Majelis Legislatif sehari sebelumnya tentang Palestina.
“Akankah Anggota Dalam Negeri,” tanyanya, “memberi tahu kami apakah tanah di sana [di Palestina] mampu menampung 400.000 orang Yahudi, bukan hanya 60.000 yang telah masuk, dan apakah mantan Komisaris Tinggi dan Lord Passfield, ketika menjadi Menteri Urusan Koloni, harus mengundurkan diri karena mereka tahu tidak ada tempat bagi orang Yahudi ini kecuali dengan melakukan ketidakadilan kepada orang Arab?”
Baca Juga: Abuya Bahauddin Tanah Merah, Ulama Besar Karismatik dari Aceh Singkil
Anggota Dalam Negeri, Sir Henry Craik, menjawab: “Kedua pertanyaan itu tidak terkait dengan jawaban yang saya berikan. Keduanya menyangkut hal yang bukan tanggung jawab Pemerintah India. Mereka berisi dugaan.”
Shaukat Ali bertanya lagi: “Adakah kemungkinan hukum dan ketertiban bisa ditegakkan jika orang Arab tahu mereka akan disingkirkan demi kepentingan Yahudi, dan bahwa mandat ini dijalankan lebih untuk kepentingan Yahudi asing daripada penduduk asli Palestina?” Craik hanya menjawab, “Itu jelas pertanyaan hipotetis.”
Maulana Shaukat Ali tetap menjadi pejuang gigih kemerdekaan dan perjuangan Palestina hingga akhir hayatnya.
Komitmennya yang tak tergoyahkan terlihat dari banyaknya surat dan dokumen dari masa itu, yang menjadi bukti upayanya yang tak kenal lelah meski menghadapi banyak tantangan. Ketika ia wafat pada 26 November 1938, ia meninggalkan warisan dedikasi yang abadi bagi pembebasan Palestina.
Baca Juga: Dakwah Tanpa Mimbar: Jejak Tuslim Abdul Saeri Mendidik Jalan Menuju Surga
Setelah kematiannya yang mendadak, duka menyebar di seluruh India. Toko-toko tutup di Delhi dan kota-kota besar lainnya. Ribuan orang menghadiri shalat jenazahnya. Penghormatan besar diberikan untuknya di Majelis Pusat dan Majelis Uttar Pradesh, yang kemudian menunda agenda mereka. Tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai kalangan di seluruh negeri menyatakan kesedihan atas kepergian Shaukat Ali dan mengenang kualitasnya sebagai pemimpin.
“Satu per satu, kawan seperjuangan dalam perjuangan kemerdekaan [dari penjajahan Inggris] meninggalkan kita, dan Maulana Shaukat Ali adalah salah satu yang paling berani,” kata Jawaharlal Nehru kepada Associated Press. *”Bersama Maulana Mohammad Ali, ia menjadi lambang semangat baru untuk kebebasan di kalangan Muslim India, dan di masa-masa besar gerakan non-kooperasi 18 tahun lalu, sosoknya yang menjulang menjadi familiar di setiap sudut India.”*
Kematian Maulana Shaukat juga sangat mengejutkan Mahatma Gandhi. Dalam penghormatannya, ia menulis di korannya Harijan: “Di lubuk hati, Maulana memiliki kerinduan yang sama akan perdamaian, yang selalu ia sampaikan dan perjuangkan dengan penuh semangat di masa Khilafat.”
Dunia Arab juga berduka. Allouba Pasha dari Mesir, yang saat itu berada di London untuk menghadiri konferensi parlemen tentang pembelaan Palestina dan memimpin delegasi Arab, mengirim kawat kepada M.A. Jinnah: “Dunia Muslim berduka bersama India atas kepergian pejuang besar, Maulana Shaukat Ali.”
Baca Juga: Teungku Chik Lamjabat, Ulama Besar Aceh Penandatangan Seruan Jihad
Tepat 47 hari sebelum wafat, dalam pertemuan Pemimpin Muslim Seluruh India, Maulana Shaukat Ali berpesan dengan penuh semangat: “Muslim harus bangkit dan merebut kembali apa yang hilang karena perpecahan. Bersiaplah untuk berjuang membela Islam. Jika diperlukan, aku akan menjadi orang pertama yang bertempur di medan perang untuk mempertahankan agama dan budaya kita.”
Ini adalah peringatan kepada kekuatan kolonial Inggris bahwa ia rela mati untuk Palestina, Makkah, dan Madinah.
Upaya Maulana Shaukat Ali menginspirasi solidaritas dan semangat kuat untuk perjuangan Palestina di kalangan rakyat India, khususnya Muslim India—sebuah sentimen yang masih bergema hingga hari ini. Ia dimakamkan dekat Masjid Jama, Delhi, ibu kota India, di mana kenangannya tetap hidup sebagai simbol komitmen seumur hidupnya pada keadilan dan hak-hak rakyat Palestina.[]
Sumber: MEMO
Baca Juga: Abuya Nasir Waly, Ulama Kharismatik dari Labuhan Haji
Mi’raj News Agency (MINA)