Siapa Bashar al-Assad, Sosok Dibalik Konflik Suriah?

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

mewarisi kekuasaan pada Juli 2000, sebulan setelah ayahnya, orang kuat militer Hafez al-Assad meninggal.

Namun sejak Maret 2011 setahun kemudian, pemerintahannya atas Suriah telah terancam karena pecahnya perang saudara  antar faksi, yang sampai saat ini telah menewaskan sekitar 465.000 orang dan melibatkan kekuatan regional dan dunia dalam horor yang tak pernah berakhir.

Meskipun negara-negara Barat dan Arab mendukung oposisi, Assad telah bertahan selama tujuh tahun perang dan menolak untuk mengundurkan diri. Tapi siapa dia? Berikut ini adalah data yang dikumpulkan oleh Al Jazeera dan dikutip oleh MINA.

Seorang Mahasiswa kedokteran

Bashar al-Assad lahir pada 11 September 1965. Dia adalah putra kedua Presiden Suriah Hafez al-Assad, dan istrinya Anisa. Ayahnya, Hafez, naik ke tampuk kekuasaan melalui militer Suriah dan partai politik minoritas Alawit sebelum mengambil alih Suriah pada tahun 1970.

Bashar al-Assad dididik di Sekolah al-Hurriya Arab-Perancis di Damaskus di mana dia belajar berbicara bahasa Inggris dan Perancis dengan fasih. Dia lulus dari sekolah itu pada tahun 1982 dan melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Universitas Damaskus, lalu lulus pada tahun 1988.

Setelah itu, ia pergi ke London pada tahun 1992 tepatnya ke Rumah Sakit Mata Barat untuk melanjutkan studinya. Pada masa itu, ia hanyalah seorang mahasiswa kedokteran dan tidak memiliki ambisi untuk memulai karir dalam bidang politik.

Jalan menuju kepresidenan

Assad dipaksa untuk kembali ke Damaskus dari London setelah kakak laki-lakinya Basil – yang awalnya dipersiapkan untuk menjadi presiden – meninggal dalam kecelakaan mobil pada tahun 1994, saat berusia 33 tahun.

Pada usia 29, Assad didorong agar terjun ke dalam dunia politik meskipun sebenarnya ia tidak terlalu tertarik menjalankan negara.

Untuk melengkapai kebolehannya  dunia perpolitikan, ia diarahkan masuk akademi militer di Homs, yang terletak di Damaskus Utara. Setelah lulus, dengan cepat ia didorong mendapatkan pangkat dan menjadi letnan kolonel dalam lima tahun. Dia kemudian dipromosikan menjadi kolonel pada Januari 1999.

Selama masa itu, ia juga bertugas sebagai penasihat bagi ayahnya untuk mendengarkan seruan dari warga dan memimpin kampanye melawan korupsi.

Menolak Gaya Politik Barat

Ketika Hafez al-Assad meninggal pada 10 Juni 2000, parlemen Suriah dengan cepat memilih  menurunkan usia minimum bagi calon presiden dari 40 tahun  menjadi 34 tahun, sehingga Assad bisa memenuhi syarat untuk jabatan itu.

Assad mulai menjabat pada 11 Juli 2000. Dia juga terpilih sebagai pemimpin Partai Ba’ath dan panglima militer.

Ia terpilih sebagai presiden, secara resmi dengan lebih dari 97 persen suara, dan dalam pidato pengukuhannya, ia menegaskan komitmen pada liberalisasi ekonomi dan berjanji untuk melakukan reformasi politik.

Namun dia menolak demokrasi gaya Barat sebagai model yang tepat untuk politik Suriah.

“Situasi ekonomi adalah prioritas bagi kita semua untuk meningkatkan kinerja dan meningkatkan kehidupan warga negara kita. Begitu juga korupsi,” kata al-Assad, yang memimpin Kongres Partai Ba’ath pertamanya.

Perekonomian dalam bentuk yang buruk, dan birokrasi pemerintah menyulitkan sektor swasta untuk muncul, tapi, beberapa tanda perbaikan terlihat terutama di bidang telekomunikasi.

Pemberontakan Libanon

Dalam urusan internasional, Assad dihadapkan dengan hubungan yang tidak stabil dengan Israel, pendudukan militer di Lebanon, dan ketegangan dengan Turki mengenai hak atas air.

Dia memulai penarikan bertahap dari Lebanon pada tahun 2000, yang dengan cepat menjadi kacau ketika Suriah dituduh terlibat dalam pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri.

Tuduhan itu menyebabkan pemberontakan di Lebanon, serta tekanan internasional untuk menghapus semua pasukan. Namun, Suriah membantah jika terlibat.

“Kami lebih yakin … bahwa Suriah tidak ada hubungannya dengan kejahatan ini,” kata Assad beberapa hari sebelum rilis laporan PBB tentang penyelidikan pembunuhan al-Hariri.

“Jika penyelidikan PBB menyimpulkan Suriah terlibat, orang-orang itu akan dianggap sebagai pengkhianat yang akan dituduh melakukan pengkhianatan dan menghadapi pengadilan internasional atau proses pengadilan Suriah,” kata CNN mengutip ungkapan Assad.

Ratusan ribu demonstran berkumpul di Beirut menuntut diakhirinya pengaruh Suriah di Lebanon, dan pada tanggal 26 April 2000, satu tentara Suriah terakhir meninggalkan wilayah Lebanon.

Pemilu Tanpa Oposisi

Meskipun janji-janji reformasi hak asasi manusia, tapi situasi tidak banyak berubah setelah Assad berkuasa lebih dari 10 tahun.

Pada 2006, Suriah memperluas penggunaan larangan bepergian terhadap para pembangkang, mencegah banyak orang meninggalkan negara itu.

Pada tahun 2007, referendum diadakan untuk mengonfirmasi kandidat presiden tanpa ada partai oposisi yang bersaing.

Para pemilih ditanya apakah mereka “menyetujui pencalonan dr. Bashar al-Assad untuk jabatan presiden republik”.

Sekali lagi, dia menang dengan 97 persen suara.

Pada 2007, dan lagi pada 2011, situs media sosial seperti Facebook diblokir. Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah melaporkan bahwa lawan-lawan politik Bashar al-Assad secara rutin disiksa, dipenjarakan, dihilangkan, dan dibunuh.

Menurut Human Rights Watch, pada tahun 2009, situasi hak asasi manusia Suriah adalah salah satu yang terburuk di dunia, dan itu “semakin memburuk”.

Pemberontakan Musim Semi Arab 2011

Setelah Musim Semi Arab di Tunisia, Mesir dan Libya, protes dimulai di Suriah pada 15 Maret 2011, menuntut reformasi politik, pemulihan kembali hak-hak sipil dan mengakhiri keadaan darurat, yang telah ada sejak tahun 1963.

Assad bersikeras bahwa Suriah kebal terhadap pemberontakan yang menyebar ke seluruh dunia Arab. Namun, protes anti-pemerintah menyerukan “revolusi”, “jatuhnya korupsi” dan pembebasan tahanan politik, menyebar ke seluruh negeri, dengan kelompok-kelompok hak asasi yang melaporkan lebih dari 2.000 telah tewas pada bulan keenam selama masa demonstrasi itu berlangsung.

Bukan hanya itu, selama delapan bulan pertama demonstrasi, jumlah kematian di Suriah meningkat dan semakin banyak pengungsi yang melarikan diri ke Turki, Lebanon dan Yordania. Assad tetap bersikap rendah, dan berbicara hanya beberapa kali saja di depan publik.

Pidato-pidatonya secara umum mengacu pada perlunya dialog nasional, dan mengatakan kekacauan di negaranya tidak lepas dari karya agen-agen asing.

Pemerintahannya, katanya, sedang dilanda konspirasi politik. “Konspirasi, seperti kuman, bereproduksi di mana-mana, setiap saat dan mereka tidak dapat diberantas,” katanya pada 2011.

Pada bulan Desember 2011, Assad membantah bersalah atas tindakan keras pemerintahnya terhadap para demonstran, dan mengatakan dia tidak pernah memberi perintah kepada pasukan keamanan di mana pun “untuk membunuh atau menjadi brutal”.

“Mereka bukan pasukan saya,” kata Assad kepada jaringan televisi ABC AS ketika ditanya tentang tindakan sadis dan kejam itu.

“Mereka adalah pasukan militer milik pemerintah. Saya tidak memiliki mereka. Saya presiden. Saya tidak memiliki negara. Tidak ada pemerintah di dunia yang mau membunuh rakyatnya, kecuali jika dipimpin oleh orang gila,” katanya pada bulan Desember 2011.

Menolak Mengundurkan Diri

Pada musim gugur tahun 2011, banyak negara menyerukan pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad dan Liga Arab menangguhkan Suriah, yang menyebabkan pemerintah Suriah setuju untuk mengizinkan pengamat Arab masuk ke negara itu.

Pada Januari 2012, dilaporkan bahwa lebih dari 5.000 warga sipil telah dibunuh oleh milisi Suriah, dan 1.000 orang telah dibunuh oleh pasukan anti-rezim.

Maret itu, PBB mengesahkan rencana perdamaian yang dirancang oleh mantan Sekretaris PBB Kofi Annan, tetapi ini tidak juga mampu menghentikan kekerasan yang berlangsung.

(Anak-anak Suriah korban senjata kimia)

Serangan kimia

Pada Juni 2012, seorang pejabat PBB menyatakan bahwa pemberontakan telah berubah menjadi perang sipil skala penuh, Komite Palang Merah Internasional juga menyatakan konflik sebagai perang sipil.

Namun, konflik terus berlanjut. Ada laporan harian, warga sipil yang dibunuh oleh pasukan pemerintah, dan kontra-klaim oleh rezim Assad tentang kematian yang dipentaskan atau hasil dari agitator luar.

Pada Agustus 2013, Assad diserang oleh para pemimpin di seluruh dunia, karena menggunakan senjata kimia terhadap warga sipil.

Namun, ia mampu mencegah intervensi asing dengan bantuan dari Presiden Rusia Vladimir Putin, yang setuju untuk membantu menghapus cadangan senjata kimia Suriah.

Pada 2013, PBB memperkirakan bahwa lebih dari 70.000 orang telah tewas sejak dimulainya konflik pada Maret 2011 lalu.

Pemilihan Sham

Bashar al-Assad melanjutkan kampanyenya melawan pasukan pemberontak sambil menolak seruan luar untuk mundur dan mengadakan pemilihan palsu pada Juni 2014.

Voting diadakan hanya di wilayah-wilayah yang dikuasai pemerintah, tidak termasuk bagian-bagian yang luas dari Suriah utara dan timur yang berada di tangan pemberontak.

Slogan kampanye Assad pada tahun 2014 adalah “sawa”, kata bahasa Arab untuk “bersama”. Dia tidak pernah tampil dihadapan publik setelah pengumuman pencalonan untuk membahas programnya. Assad mengamankan 88 persen suara.

Posisinya memperkuat bulan September berikutnya, ketika Rusia setuju untuk memberikan dukungan militer kepada pasukannya.

Pada Februari 2016, konflik telah menyebabkan sekitar 470.000 kematian di Suriah, dan memicu perdebatan internasional tentang bagaimana menangani jutaan pengungsi yang berusaha melarikan diri dari kebrutalan itu.

Serangan Baru

Pada April 2017, menyusul berita tentang putaran senjata kimia lainnya yang dilepaskan pada warga sipil, Presiden AS Donald Trump memerintahkan serangan udara di pangkalan udara Suriah, yang memancing kecaman tajam dari Assad dan sekutu Suriah, Rusia dan Iran.

Satu tahun kemudian, pada April 2018, cuplikan orang-orang Suriah yang mati muncul di tengah-tengah laporan bahwa Assad sekali lagi menggunakan senjata kimia.

Presiden Trump menyebut Assad sebagai “hewan” dan bahkan menyampaikan kritik publik terhadap Putin karena melindungi pemimpin Suriah itu.

Pada 13 April 2018, Amerika Serikat memerintahkan serangan udara di Suriah dengan target pasukan Assad yang menggunakan senjata kimia, bekerja sama dengan Inggris dan Perancis. (AR/RS3/P1)

Sumber: Al Jazeera News

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

­­­­­­­­

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.