Siapa yang Membakar Sekolah-sekolah Kashmir?

Pada tanggal 30 Oktober 2016 malam, para warga menjerit dan menangis menyaksikan api melalap habis bangunan sekolah yang menyebar di dalam kegelapan.

Warga dari tiga desa tetangga bahkan bergegas berdatangan dari rumah mereka dengan membawa ember. Bahkan siswa berusia 14 tahun turut berusaha memadamkan api. Beberapa siswa mengalami luka bakar di tangannya.

Namun, mereka tidak bisa menyelamatkan sekolah SMP Negeri di Budgam, , India. Semua yang tersisa hanyalah abu. Bangku dan kursi-kursi di kelas hangus.

Ketika petugas pemadam kebakaran tiba, mereka tidak berbuat apa-apa lagi. Mereka datang hanya untuk merokok.

“Perlu waktu bertahun-tahun untuk membangun sebuah sekolah. Anda harus banyak berjuang untuk memiliki sebuah sekolah di desa-desa. Kami (guru) juga gelisah sekarang,” kata Tasleem Arif (35 tahun), seorang guru di sekolah tersebut.

Sekolah SMP Negeri yang mengajar 88 siswa dari desa-desa di sekitar Budgam itu adalah sekolah ke-25 di Kashmir yang dibakar dalam tiga bulan terakhir.

Pada tanggal 31 Oktober, Sekolah Menengah Tinggi Kabarmarg di Anantnag, Kashmir Selatan, menjadi sekolah yang ke-26 yang dibakar. Ada 341 siswa yang belajar di sana.

Menurut pejabat dari departemen pendidikan negara, sebanyak 12 sekolah telah hancur, sementara yang lain mengalami kerusakan sebagian.

Serangkaian pembakaran sekolah itu, menurut departemen, membuat sekitar 4.000 siswa telah terganggu belajarnya dan kerusakan yang ditimbulkan setidaknya senilai AS $ 750.000.

Showkat Hussain Shah, Kepala Sekolah Menengah Tinggi Kabarmarg, tidak bisa tidur dan tidak makan apa-apa selama dua hari, karena memikirkan nasib sekolahnya.

“Ini adalah sebuah tragedi. Kami telah mempertahankan sekolah dan membuatnya sangat indah. Ini adalah milik masyarakat dan para siswa. Masyarakat benar-benar berusaha keras untuk menyelamatkan sekolah dan mereka berhasil menyelamatkan catatan, perpustakaan dan laboratorium, tetapi delapan kelas telah benar-benar hancur,” ujar Kepala Sekolah.

Hingga berita ini dipublikasikan di kantor berita dunia Al Jazeera (11 November 2016) belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas pembakaran itu. Sementara polisi menolak untuk mengungkapkan rincian dari investigasi mereka, sehingga timbul banyak spekulasi tentang motif dari pembakaran sekolah-sekolah di Kashmir.

Sekolah telah menjadi korban terbaru dalam pemberontakan anti-India selama hampir empat bulan terakhir di Kashmir.

Protes massa meletus sejak 8 Juli 2016, setelah pasukan India membunuh komandan muda militan Hizbul Mujahidin yang bernama Burhan Wani.

Per 10 November 2016, setidaknya sudah 95 orang yang tewas, lebih dari 12.000 massa yang terluka, termasuk ratusan orang cacat dan dibutakan oleh peluru pelet dari baja yang ditembakkan oleh pasukan keamanan India untuk memadamkan aksi protes terbesar dalam dua dekade terakhir.

Pejabat pemerintah telah mengklaim bahwa seruan protes berkepanjangan dari gerakan pro-kemerdekaan Kashmir secara tidak langsung telah mendorong serangan pada simbol normalitas, seperti sekolah.

Wilayah ini berada di bawah aturan jam malam sejak perlawanan pro-kemerdekaan terbaru dimulai. Layanan internet dan akses mobile diatur pada waktu tertentu dan gerakan warga dibatasi.

Sejak aksi perlawanan ini meledak, kebanyakan anak-anak belum bersekolah. Sebagian bahkan sudah empat bulan tidak bersekolah.

Nirmal Singh, Wakil Menteri Negara Bagian Jammu dan Kashmir menuding para pemimpin pro-kemerdekaan “mendorong elemen tertentu untuk membakar sekolah-sekolah”.

Demikian juga dengan Aijaz Ahmed, Direktur Departemen Pendidikan Sekolah di Kashmir, menyalahkan pembakaran pada elemen “anti-sosial”. Ia menduga bahwa pelaku pembakaran “tidak ingin anak-anak belajar”.

Namun, para pemimpin pro-kemerdekaan menyangkal tudingan itu.

Mirwaiz Umar Farooq, pemimpin pro-kemerdekaan dari faksi Konferensi Hurriyat, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa serangan itu “tindakan nakal bagian dari rencana pengalihan isu untuk mengalihkan fokus” perjuangan pro-kemerdekaan Kashmir.

Namun, bagi siswi Sekolah Menengah Tinggi Negeri di Kabarmag, Shariqa Bashir, dan orang tuanya, pembakaran sekolah-sekolah merupakan serangan terhadap masa depan anak-anak.

Kashmir telah lama diganggu oleh konflik. Lebih dari 500.000 tentara ditempatkan di wilayah mayoritas Muslim itu. Pertempuran pasukan keamanan dengan kelompok bersenjata telah mengakibatkan lebih dari 60.000 orang tewas selama dua dekade terakhir.

Bagi banyak orang, pendidikan adalah satu-satunya cara untuk melarikan diri dari konflik yang tampaknya tak berujung.

Sheikh Showkat Hussain, seorang pengamat politik yang berbasis di Srinagar, ibukota negara bagian Jammu dan Kashmir, India, mengatakan bahwa ia tidak bisa mengesampingkan kemungkinan terjadinya beberapa serangan terhadap sekolah merupakan upaya untuk memfitnah “pemberontakan damai rakyat”. (T/P001/P2)

Sumber: tulisan Rifat Fareed dan Azad Essa di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)