Jakarta, 22 Jumadil Akhir 1438/21 Maret 2017 (MINA) – Persidangan kelimabelas kasus penistaan agama kembali digelar pada hari Ini, Selasa (21/3) dengan agenda mendengarkan keterangan tiga Ahli yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Ketiga Ahli yang akan diperiksa tersebut di antaranya KH Ahmad Ishomuddin sebagai Ahli Agama Islam yang juga Rais Syuriah PBNU Jakarta serta Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan, Lampung, demikian keterangan tertulis yang diterima MINA, Selasa.
Selain itu, Prof. Dr. Rahayu Surtiati juga dihadirkan sebagai Ahli Bahasa. Sementara Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, C. Djisman Samosir, SH, MH, dihadirkan sebagai Ahli Hukum Pidana.
Prof. Rahayu adalah ahli pertama yang diperiksa dalam persidangan kelimabelas ini. Guru Besar Linguistik dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Depok ini memberikan keterangan dalam kaitan keahliannya untuk menjelaskan maksud yang terkandung dalam perkataan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 silam.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Dalam persidangan, Ahli menerangkan bahwa maksud dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51 adalah bahwa Surat Al-Maidah 51 dijadikan sebagai alat kebohongan. Adapun terkait kata “dibodohin” dan “dibohongi”, menurutnya kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama.
Nasrulloh Nasution yang turut menyaksikan jalannya persidangan menyatakan bahwa keterangan Ahli yang menyatakan Surat Al-Maidah 51 sebagai alat kebohongan bersesuaian dengan keterangan-keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Pada persidangan sebelumnya, ahli pidana dan ahli agama Islam yang dihadirkan Jaksa menjelaskan bahwa makna dibohongi Surat Al-Maidah 51 berarti Surat Al-Maidah 51 dijadikan alat kebohongan dan ulama yang menyampaikan Surat Al-Maidah 51 sebagai orang yang berbohong.
Ahli juga menjelaskan bahwa arti kata “orang” dalam kalimat dibodohin pakai surat Al-Maidah 51 adalah ungkapan yang bermakna umum, tidak hanya bermakna elit politik. Artinya, bisa juga bermakna ulama sebagai orang yang menyampaikan Surat Al-Maidah 51.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
“Keterangan Ahli Bahasa ini sudah sesuai dengan keterangan ahli-ahli JPU, menguatkan fakta bahwa selain mengatakan Surat Al-Maidah 51 sebagai alat kebohongan, Ahli juga mengatakan bahwa orang yang menyampaikan Surat Al-Maidah 51 sebagai orang yang menyebarkan kebohongan,” tuturnya.
Koordinator Persidangan Tim Advokasi GNPF MUI ini mengatakan bahwa Ahli Bahasa yang dihadirkan Penasehat Hukum Ahok ini juga menguatkan unsur niat Ahok untuk menista agama Islam.
Menurutnya, Ahli sudah menyimpulkan bahwa perkataan Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al-Maidah 51 merupakan hasil pengalaman Ahok dari kegagalannya bertarung di Pilgub Bangka Belitung tahun 2007.
“Ahok menuduh kegagalan ia dalam pilgub tersebut akibat adanya selebaran yang beredar yang menyeru agar tidak memilih pemimpin non muslim sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah 51,” katanya.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Lebih lanjut menurut Nasrulloh, Ahli Bahasa menerangkan bahwa tidak ada ruang hampa dalam pikiran dan setiap perkataan tidak dapat berdiri sendiri dan selalu berhubungan dengan perkataan sebelumnya.
Makanya, pengalaman kegagalan Ahok di pilgub Bangka Belitung 2007 akibat Surat Al Maidah 51 menjadi pengalaman buruk yang kemudian dituangkan dalam bukunya dan disampaikanya dalam pidato di Balai Kota dan di partai Nasdem.
“Pengalaman buruk Ahok dengan Surat Al Maidah 51 adalah bukti penguat adanya unsur niat menista agama Islam,” tandasnya. (L/R06/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)