DI TENGAH riuh suara dunia, ketika jeritan bayi di Gaza bercampur dengan suara diplomasi yang menggema di aula megah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, kita diingatkan bahwa dunia ini adalah panggung besar tempat idealisme dan realitas seringkali bertabrakan.
Sidang Umum PBB, yang digadang-gadang sebagai forum tertinggi bagi umat manusia untuk mencari jalan keluar dari krisis global, kembali menjadi sorotan.
Namun, di balik gemerlap pidato para pemimpin dunia, tersimpan pertanyaan yang menggantung di udara: Apakah Sidang Umum PBB benar-benar mampu menjadi penolong bagi bangsa yang tertindas, atau hanya sekadar panggung simbolis yang tak memberi perubahan nyata?
Harapan besar tertumpu pada forum ini, terutama ketika membicarakan krisis Palestina yang tak kunjung berakhir. Dalam setiap pidato, kata-kata seperti perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan kerap mengalun indah, menggugah hati, dan memancing tepuk tangan.
Baca Juga: Investasi Abadi: Menabung Kebaikan, Menuai Surga
Namun, ketika lampu-lampu aula PBB mulai padam, yang tersisa hanyalah luka yang semakin dalam di tanah Palestina.
Inilah paradoks Sidang Umum PBB, tempat di mana impian manusia untuk hidup damai diperjuangkan, namun juga tempat di mana kebuntuan politik sering kali membuat impian itu tampak begitu jauh dari kenyataan.
PBB Panggung Harapan
Sejak berdirinya PBB pada tahun 1945, lembaga ini membawa visi luhur: mencegah perang dunia berikutnya, menjaga perdamaian, serta menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.
Baca Juga: Ayo Ramaikan IIBF 2025, Surga Buku dan Inspirasi dari Berbagai Negara
Sidang Umum PBB menjadi wadah bagi semua negara, besar maupun kecil, untuk menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka.
Dalam forum ini, Palestina memiliki kesempatan untuk menceritakan penderitaan rakyatnya di hadapan dunia, dan negara-negara lain dapat menyatakan solidaritas mereka.
Bagi bangsa Palestina, Sidang Umum PBB bukan hanya sekadar pertemuan diplomatik. Ia adalah panggung harapan, tempat di mana suara mereka yang selama ini terpinggirkan dapat menggema di telinga komunitas internasional.
Resolusi-resolusi yang lahir dari sidang ini, meski sering tidak mengikat, tetap memiliki kekuatan moral yang besar. Resolusi tersebut menjadi pengingat bahwa dunia belum sepenuhnya berpaling dari penderitaan mereka.
Baca Juga: Harapan Sekjen PBB: Pilih Perdamaian dan Kerja Sama daripada Kekacauan
Contoh nyata adalah resolusi Sidang Umum PBB yang menegaskan status ilegal permukiman Israel di wilayah pendudukan dan menuntut penghentian pembangunan permukiman baru.
Resolusi seperti ini menjadi bahan bakar bagi perjuangan diplomatik Palestina dan memberi legitimasi bagi gerakan solidaritas internasional.
Bagi banyak rakyat Palestina, setiap kata dalam resolusi tersebut adalah secercah cahaya yang menyinari jalan panjang menuju kebebasan.
Selain itu, Sidang Umum PBB sering menjadi ajang bagi negara-negara yang memiliki hati nurani untuk berdiri bersama Palestina. Indonesia, misalnya, selalu memanfaatkan forum ini untuk menyuarakan dukungan penuh bagi kemerdekaan Palestina.
Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto: Jangan Pernah Akui Kedaulatan Zionis Israel
Dalam Sidang Umum tahun ini, Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara, di mana Palestina merdeka hidup berdampingan dengan Israel dalam keadaan damai dan saling menghormati.
Di Sidang Umum PBB tahun 2025, beberapa pemimpin dari negara besar menyuarakan kritik keras dan harapan yang besar. Raja Felipe VI dari Spanyol dalam pidatonya menyebut aksi militer Israel di Gaza sebagai “massacre” dan “acts abhorrent” yang mencederai nurani kemanusiaan.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan menuntut tindakan konkret dari komunitas internasional, bahwa simpati saja tidak cukup jika darah rakyat sipil terus tumpah.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melalui utusannya berharap “some sort of breakthrough” dalam rencana perdamaian Timur Tengah.
Baca Juga: Mengukur Realitas Solusi Dua Negara Palestina-Israel
Akademisi sekaligus pemerhati masalah internasional, Noam Chomsky berkata, “PBB bukanlah lembaga yang independen. Ia adalah cermin dari struktur kekuasaan global. Jika negara-negara kuat tidak memiliki kemauan politik, maka PBB hanya akan menjadi tempat pertunjukan kata-kata.”
Namun, di balik kata-kata indah itu, kenyataan di lapangan sungguh memilukan. Resolusi demi resolusi dihasilkan, pidato demi pidato disampaikan, tetapi kekerasan di Gaza dan Tepi Barat terus berlangsung.
Setiap hari, rumah-rumah warga Palestina hancur oleh serangan, anak-anak kehilangan orang tua, dan jutaan orang hidup dalam pengungsian tanpa kepastian masa depan.
Baca Juga: Ketika Para Pemimpin Dunia Berbicara tentang Palestina di PBB
Pertanyaannya, mengapa PBB yang memiliki legitimasi global tampak begitu lemah dalam menghadapi tragedi kemanusiaan ini?
Salah satu jawabannya terletak pada struktur PBB itu sendiri. Meski Sidang Umum memiliki kekuatan moral, keputusan yang benar-benar mengikat secara hukum berada di tangan Dewan Keamanan PBB.
Di sinilah masalah besar muncul. Lima negara pemegang hak veto, yaitu: Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis sering kali memanfaatkan kekuasaan ini untuk melindungi kepentingan mereka sendiri atau sekutu mereka.
Dalam konteks Palestina, Amerika Serikat berkali-kali menggunakan hak veto untuk menggagalkan resolusi yang mengkritik Israel atau menuntut gencatan senjata.
Baca Juga: Membungkam Suara Gaza: Serangan Israel terhadap Jurnalis sebagai Senjata Perang
Akibatnya, upaya untuk menghentikan kekerasan sering kali terhenti di meja diplomasi, sementara darah terus tertumpah di Gaza.
Lebih dari itu, banyak negara besar terjebak dalam kepentingan politik dan ekonomi. Mereka mungkin berbicara tentang kemanusiaan, tetapi di balik layar tetap menjalin hubungan militer atau perdagangan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Inilah yang membuat Sidang Umum PBB sering kali dipandang sinis sebagai ajang retorika belaka, tempat di mana para pemimpin dunia berkompetisi menunjukkan kepedulian, tetapi jarang mengambil risiko politik yang nyata.
Pidato Prabowo, Antara Diplomasi dan Kenyataan
Baca Juga: Pacaran Bikin Gelisah, Nikah Mendatangkan Berkah
Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB tahun ini mendapat sorotan besar, terutama karena posisinya yang tegas mendukung Palestina. Dalam pidatonya, Prabowo menyerukan penghentian kekerasan dan mendesak dunia untuk memperjuangkan solusi dua negara yang adil dan berkelanjutan.
Ia juga menekankan pentingnya PBB yang kuat dan efektif, yang tidak hanya menjadi arena perdebatan tetapi juga mampu menghadirkan solusi nyata bagi umat manusia.
Pidato ini mendapat sambutan positif dari banyak negara, terutama negara-negara berkembang yang merindukan kepemimpinan moral di panggung internasional.
Namun, tidak sedikit pula yang menganggap pidato tersebut terlalu normatif.
Prabowo memang berhasil menyampaikan pesan moral yang kuat, tetapi belum memberikan gambaran konkret tentang langkah-langkah yang akan diambil Indonesia untuk mendorong perubahan nyata.
Baca Juga: Semua Orang Sudah Muak dengan Perilaku Biadab Zionis Israel
Misalnya, bagaimana Indonesia akan berperan dalam memediasi konflik? Apakah Indonesia bersedia memimpin koalisi negara-negara yang pro-Palestina untuk memberikan tekanan diplomatik yang lebih besar kepada Israel dan sekutunya? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung tanpa jawaban.
Selain itu, ketika Prabowo menekankan pentingnya keamanan bagi Israel sekaligus kemerdekaan bagi Palestina, sebagian pengamat menilai ini sebagai pernyataan yang terlalu berhati-hati.
Bagi banyak rakyat Palestina, kata “keamanan Israel” sering diasosiasikan dengan legitimasi tindakan represif yang dilakukan terhadap mereka. Jika tidak disertai dengan penegasan tentang tanggung jawab Israel atas pelanggaran HAM, pesan ini bisa ditafsirkan sebagai kompromi yang tidak menguntungkan pihak yang tertindas.
Peran Sidang Umum PBB
Baca Juga: Suara dari Gaza: “Kami Manusia, Masih Layak Hidup”
Meski penuh keterbatasan, penulis berpendapat Sidang Umum PBB tetap memiliki peran yang tidak bisa diabaikan. Pertama, ia menjadi wadah untuk menjaga isu Palestina tetap hidup di mata dunia. Tanpa forum seperti ini, penderitaan rakyat Palestina mungkin akan tenggelam di tengah hiruk pikuk isu global lainnya.
Kedua, Sidang Umum memberi legitimasi hukum dan moral bagi perjuangan Palestina. Resolusi yang dihasilkan dapat digunakan oleh pengacara internasional, aktivis HAM, dan organisasi kemanusiaan sebagai landasan untuk menuntut keadilan di forum internasional lainnya.
Ketiga, Sidang Umum PBB juga berfungsi sebagai panggung diplomasi yang memungkinkan negara-negara kecil dan menengah memainkan peran penting. Dalam sejarahnya, banyak perubahan besar justru dimulai dari suara negara-negara yang tidak memiliki kekuatan militer besar, tetapi memiliki keberanian moral untuk berdiri tegak.
Indonesia, dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dan sejarah panjang dukungan terhadap Palestina, memiliki potensi besar untuk memainkan peran ini jika berani melangkah lebih jauh dari sekadar pidato.
Menyatukan Harapan dan Tindakan
Harapan dunia terhadap PBB tidak boleh padam hanya karena kenyataan yang menyakitkan. Justru, semakin besar tantangan yang dihadapi, semakin penting bagi negara-negara untuk terus memperkuat jalur diplomasi.
Diplomasi bukan sekadar kata-kata manis di atas panggung. Ia adalah seni mempengaruhi kebijakan, membangun aliansi, dan menciptakan tekanan internasional yang nyata.
Dalam konteks Palestina, diplomasi dapat diwujudkan melalui berbagai cara: memperkuat sanksi terhadap pelanggaran hukum internasional, menggalang dukungan kemanusiaan global, memperkuat jaringan advokasi, dan bahkan membangun mekanisme alternatif ketika Dewan Keamanan gagal bertindak.
Negara-negara seperti Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk memimpin upaya ini. Dengan populasi besar dan reputasi sebagai negara yang mengusung perdamaian, Indonesia bisa menjadi motor penggerak diplomasi kolektif di Asia dan dunia Islam.
Langkah-langkah ini mungkin tidak segera menghasilkan kemerdekaan Palestina, tetapi setidaknya dapat mempersempit ruang gerak bagi pihak-pihak yang menghalangi perdamaian.
Di tengah kegelapan yang menyelimuti Palestina, Sidang Umum PBB adalah lilin kecil yang terus menyala. Lilin itu mungkin tampak rapuh, goyah diterpa angin kepentingan politik dan ego negara-negara besar, tetapi ia tetap memberikan cahaya.
Tugas kita bersama adalah menjaga agar lilin itu tidak padam, sambil terus menyalakan lilin-lilin lain melalui diplomasi, solidaritas, dan aksi nyata.
Sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar sering kali lahir dari tekad yang tak pernah menyerah. Meski Sidang Umum PBB belum mampu menghentikan penderitaan rakyat Palestina, forum ini tetap menjadi ruang di mana kebenaran dapat diucapkan dan harapan dapat dipelihara.
Selama ada orang-orang yang berani berbicara, selama ada bangsa yang berani bertindak, mimpi tentang Palestina yang merdeka dan dunia yang damai akan tetap hidup.
Semoga Sidang Umum PBB bukan hanya tentang gedung megah di New York atau pidato-pidato penuh retorika. Tapi, ia adalah cermin bagi kemanusiaan kita sendiri. Jika kita ingin melihat dunia yang lebih adil, maka kita semua—para pemimpin, diplomat, aktivis, dan warga biasa—harus berani menatap cermin itu dan berkata: “Aku akan menjadi bagian dari perubahan.” []
Mi’raj News Agency (MINA)