Oleh : Abati Zidane*
Definisi Kafir
Kata Kafir dalam bahasa Arab berasal dari kata كافر kāfara ; plural كفّار kuffār secara harfiah berarti orang yang menutupi, menolak sesuatu dengan yang lain atau menyembunyikan, mengingkari suatu kebenaran.
Dalam istilah terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat dari Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur).
Baca Juga: Agar Tenang Menghadapi Segala Takdir Allah
Dalam bahasa Inggris ada kata cover yang diartikan ”the act of concealing the existence of something by obstructing the view of it”. Dalam terjemah bebasnya “tindakan menyembunyikan sesuatu dengan menghalangi pandangan.
Pada zaman sebelum Islam, istilah tersebut digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang. Mereka menutup/menguburnya dengan tanah. Sehingga kalimat kafir bisa diimplikasikan menjadi “seseorang yang bersembunyi atau menutup diri”.
Sifat-sifat orang kafir dalam surah Al-Baqarah
Di dalam Al Qur’an, kitab suci agama Islam, kata dan sifat-sifat orang kafir dan variasinya dituliskan dalam beberapa ayat dalam Surah Al-Baqarah, antara lain
Baca Juga: Ahlul Qur’an, Pelita Umat dalam Cahaya Ilahi
1. Tidak mau menerima nasihat
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.” (Surah Al-Baqarah : 6 dan 7).
Ayat ini menyebutkan golongan orang kafir. Sekilas ayat di atas menunjukkan bahwa seolah tidak ada gunanya berdakwah terhadap orang-orang kafir. Toh, hasilnya tetap sama saja. Diberi dakwah atau tidak, diberi peringatan atau tidak, mereka tetap tidak beriman. Karena kekafiran yang begitu mendalamlah sehingga membuat mereka tidak sudi beriman. Di samping itu, Allah memang tidak memberikan hidayah kepadanya.
Baca Juga: Menikah Itu Ibadah, Bukan Ajang Pamer Mahar
Tentang golongan kafir ini, Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manarmengklasifikasikan menjadi tiga macam. Pertama, orang yang mengetahui kebenaran namun ia dengan sengaja mengingkarinya. Jumlah orang kafir inilah yang paling sedikit.
Kedua, orang yang tidak mengetahui kebenaran, namun tidak ingin mengetahuinya dan tidak suka untuk mengetahuinya. Mereka bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebenaran.
Ketiga, orang yang telah sakit jiwa dan hatinya. Ia tidak merasakan nikmatnya kebenaran. Tak ada ketertarikan di dalam hati mereka untuk menemukan kebenaran. Hati dan jiwa mereka telah dipenuhi dengan keinginan-keinginan duniawi dan kenikmatan jasmaniah semata. Akal dan pikiran mereka dicurahkan untuk memperoleh keuntungan material saja. Ketiga macam orang kafir seperti itulah yang hasilnya sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tak beriman.
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang kafir yang telah tertutup hati, telinga, dan mata mereka itu adalah orang-orang Yahudi, seperti Ka’ab bin al-Asyraf, Huyay bin Akhthab, dan Juday bin Akhthab. Namun ada juga yang berpendapat, mereka adalah orang-orang musyrik Mekkah, seperti Utbah, Syaibah, dan al-Walid.
Baca Juga: Korupsi, Dosa dan Bahayanya dalam Islam
Dalam realitas di masyarakat, kita bisa menemukan orang yang telah tertutup mata hati, telinga, dan matanya. Apapun nasihat dan anjuran kebenaran yang diberikan kepadanya, tak juga mempan untuk membuatnya sadar dan kembali ke jalan yang benar. Hal itu terjadi saat seseorang melakukan keburukan dan kemaksiatan secara berulang-ulang dan terus-menerus. Karena begitu seringnya keburukan dan kemaksiatan ia lakukan, hati nuraninya jadi tertutup. Ia tak lagi merasa berdosa dan gundah saat melakukan kejahatan dan keburukan.
2. Berburuk sangka terhadap takdir Allah
Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 26
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مَثَلاً مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُواْ فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيراً وَيَهْدِي بِهِ كَثِيراً وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ
Baca Juga: Doa, Usaha, dan Keajaiban: Rahasia Hidup Berkah
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak segan-segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberinya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahawa Dia tidak keberatan untuk membuat perumpaan dengan seekor nyamuk dan seumpamanya, atau yang lebih kecil lagi. Justru kehebatan sebenarnya terletak pada satu perkara yang unik dan sulit dilakukan penelitian. Yakni tiadalah yang dapat memahami hikmah di balik setiap perumpamaan ayat-ayat Al-Quran melainkan orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Pastinya setiap perumpamaan itu perlu direnungi untuk di ambil pelajaran dan sangat berguna buat kehidupan.
Pada lafaz “tetapi mereka yang kafir mengatakan: Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”, yakni sikap orang-orang kafir yang memandang hina terhadap perumpamaan Allah berupa makhluk-makhluk kecil dan remeh. Mereka berburuk sangka serta mempersoalkannya, sambil berkata: Apakah yang Allah membuat kiasan kepada benda-benda yang remeh ini?. Mereka adalah orang-orang yang keliru dan akhirnya mereka menjadi semakin kufur dan rugi. Mereka tidak memahami rahasia dan hikmah di balik penciptaan itu.
Menurut para ilmuwan, nyamuk akan tetap hidup jika dalam keadaan lapar tetapi apabila kekenyangan maka ia akan mati. Demikian juga manusia, mereka akan sering mengingat Allah ketika dalam keadaan susah dan sempit. Namun jika dalam keadaan yang lapang, banyak harta, berkecukupan maka manusia sering melupakan Allah, zat yang memberinya segala kenikmatan itu. Dengan kata lain, apabila mereka merasa puas dengan harta dunia yang melimpah itu, dan melalaikan Sang Pemberi kenikmatan, maka saat itulah Allah mengazab mereka.
Baca Juga: Mengapa Islam Menekankan Hidup Berjama’ah?
3. Menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaan penerima
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 264 :
بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”
Baca Juga: Yahudi Memusuhi Semua Umat Manusia
Di akhir ayat tersebut, Allah menyebut orang-orang kafir yang memiliki perilaku khusus seperti yang diterangkan pada kalimat sebelumnya. Walaupun ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman, namun mereka diingatkan untuk tidak memiliki sifat dan perilaku orang-orang kafir yang menyebut-nyebut pemberian serta menyakiti hati penerimanya.
Kesibukan dalam mencari kebutuhan hidup di dunia kadangkala membuat manusia menjadi lengah dan terlena. Kebutuhan ekonomi yang kian mendesak juga membuat mayoritas manusia memprioritaskan zakat, infak, dan sedekah sebagai prioritas terakhir setelah pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bahkan mungkin saja malah bukanlah termasuk dalam prioritas pengeluaran.
Hal ini ironis rasanya jika dibandingkan dengan kandungan dalam surah Al Baqarah ayat 264, yaitu yang membahas tentang keutamaan menafkahkan harta di jalan Allah, baik dalam bentuk zakat, infak, ataupun sedekah. Ayat-ayat ini seharusnya dapat dijadikan bahan introspeksi bagi setiap insan manusia untuk lebih giat lagi dan menjadikan zakat, infak, dan sedekah sebagai prioritas utama di tiap anggaran pengeluarannya bukan malah yang terakhir.
Di samping itu, ayat-ayat ini juga menjelaskan tentang bagaimana agar zakat, infaq, shadaqah yang kita keluarkan tidak menjadi sia-sia, sebaliknya dapat memperoleh pahala keberkahan dari Allah.
Baca Juga: Doa-Doa Mustajab dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak contoh nyata tentang keengganan bagi mereka yang berpunya untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah dalam hal ini baik dalam bentuk infak, sedekah, ataupun zakat. Mereka merasa sayang untuk mengeluarkan harta tersebut karena takut akan mengurangi jumlah harta yang mereka miliki.
Kalaupun mereka ingin bershadaqah, mereka ingin banyak orang tahu tentang perilaku sedekahnya itu. Bahkan ada yang ingin mengabadikan momen bersedekahnya itu baik dengan foto ataupun video. Bahkan ada yang lucu dan konyol, yaitu ada yang ingin bersedekah atau berinfak untuk pembangunan masjid misalnya, tetapi sedekahnya itu dalam rangka untuk mencari simpati masyarakat dalam kaitannya dengan pencalonan dirinya sebagai kepala atau wakil kepala daerah misalnya. Dan jika setelah masa pemilihan dia gagal, mereka mengambil kembali barang-barang yang telah diinfakkan tadi.
Hal itu terbukti bahwa tujuan atas infak yang dikeluarkannya tersebut bukanlah untuk Allah, namun hanya untuk kepentingan pribadinya.
Kadangkala apa yang kita keluarkan dengan tujuan infak akan menjadi sia-sia belaka karena perilaku kita sendiri. Padahal jika kita benar-benar memahami dan menerapkan apa yang telah diterangkan Allah dalam ayatnya tersebut, maka kesia-siaan tersebut dapat dihindari dan kita termasuk orang-orang yang beruntung. Namun di tengah kompetisi dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit, manusia terkadang lupa akan hakikat dari infak yang seharusnya dikeluarkannya.
Baca Juga: Tausiyah Pernikahan, Keluarga Sakinah Cermin Kehidupan Berjamaah
Ada yang mungkin terpaksa karena sistem yang telah mengikat mereka, misalnya jika mereka seorang pegawai baik swasta atupun negeri. Maka secara otomatis gaji di tiap bulannya akan dipotong untuk dana zakat, infaq, shadaqah, ada yang menganggap bahwa jika dia sudah keluarkan pajak, maka tidak wajib baginya untuk infak.
Jika kita benar-benar memahami dan menyadari ayat tersebut, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berinfak. Dan pastinya dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak pahala keberkahan dari infak kita tersebut.
Namun terkadang karena kesibukan yang luar biasa dalam mencari dunianya, manusia sudah jarang yang peduli untuk memahami kandungan Al-Quran yang merupakan petunjuk hidup manusia yang sebenar-benarnya. Jangankan untuk memahami isi kandungannya, untuk membaca Al-Quran saja bisa dihitung kuantitasnya. Mungkin saja mereka memiliki Al-Quran, namun hanya untuk pajangan di lemari saja.
Wallahu a’lam. (T/P04/R1).
Baca Juga: The Power of Ikhlas
*Penulis adalah Wartawan Mi’raj News Agency (MINA)
Referensi:
www.iculture.org.uk
www.qtafsir.com
id.wikipedia.org