Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sikap Percaya dan Toleransi dalam Masyarakat Majemuk Tingkatkan Indeks Kebahagiaan

Rana Setiawan - Jumat, 22 Maret 2024 - 22:26 WIB

Jumat, 22 Maret 2024 - 22:26 WIB

4 Views

Jakarta, MINA – Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menyatakan, sikap saling percaya dan toleransi kepada orang lain yang berbeda agama berpengaruh signifikan terhadap tumbuhnya rasa kebahagiaan dalam diri individu.

Menurutnya, Hari Kebahagiaan Internasional yang diperingati setiap tanggal 20 Maret memiliki makna penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.

“Laporan Kebahagiaan Dunia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-bangsa, yaitu World Happiness Report tahun 2023, bahwa orang-orang yang hidup dalam lingkungan yang tingkat kepercayaan sosial dan kelembagaan tinggi ternyata lebih bahagia dibandingkan mereka yang hidup dalam lingkungan yang tingkat kepercayaannya lebih rendah, tidak percaya orang lain alias lebih saling curiga, atau tidak percaya lembaga-lembaga yang ada,” kata Matius dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya, Kamis (21/3) malam.

Webinar bertemakan “Merayakan Keberagaman Agama, Kebahagiaan untuk Semua” diadakan untuk memperingati Hari Kebahagiaan Internasional yang telah ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 2012 lewat Resolusi nomor 66/281.

Baca Juga: [BEDAH BERITA MINA] ICC Perintahkan Tangkap Netanyahu dan Gallant, Akankah Terjadi?

Matius menjelaskan Hari Kebahagiaan Internasional ditetapkan PBB karena menyadari bahwa upaya mencapai kebahagiaan atau “pursuit of happiness” adalah salah satu tujuan mendasar manusia.

Dalam laporan PBB sebelumnya tahun 2013, ditemukan bahwa krisis keuangan tahun 2007-2008 berdampak lebih kecil terhadap kebahagiaan di negara-negara yang tingkat saling percayanya lebih tinggi.

Menurut Matius, temuan-temuan ini konsisten dengan banyak studi lainnya yang menunjukkan komunitas-komunitas yang tingkat saling percayanya lebih tinggi umumnya lebih resiliensi, tahan uji, dan tahan banting, menghadapi krisis dan bencana.

“Kepercayaan, atau trust, dan norma atau kebiasaan, kemampuan bekerja sama akan membuat masyarakat lebih sigap menghadapi tantangan bersama dan lebih siap berbuat baik untuk sesama, yang mana akan meningkatkan kebahagiaan warganya,” ujarnya.

Baca Juga: Cuaca Jakarta Berawan Tebal Jumat Ini, Sebagian Hujan

Matius menambahkan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya, atau LKLB, yang diadakan Institut Leimena bekerja sama dengan 25 lembaga keagamaan dan pendidikan telah diikuti oleh sedikitnya 7.000 pendidik dari 37 provinsi di Indonesia.

Program LKLB berfokus kepada upaya membangun rasa saling percaya atau trust karena LKLB didasarkan pemahaman bahwa dalam masyarakat majemuk, orang-orangnya perlu memiliki kompetensi dan keterampilan, tidak hanya berdialog, terlebih dapat bekerja sama dengan orang-orang berbeda agama dan kepercayaan.

“Kerja sama ini penting karena di situlah trust atau saling percaya dapat dibangun. Satu dari tiga kompetensi LKLB adalah kompetensi kolaboratif, yang intinya walaupun kita berbeda agama dan kepercayaan, kita harus mampu mencari titik-titik temu dan cara untuk bisa bekerja sama, serta tetap berbeda dan saling menghargai perbedaan yang ada,” kata Matius.

Senada dengan itu, Statistisi Ahli Madya Direktorat Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Tri Windiarto, mengatakan salah satu faktor yang memengaruhi kebahagiaan adalah hubungan sosial di lingkungan tempat tinggal. Hubungan sosial tersebut dilihat dari tiga poin yang diukur dari hubungan sosial masyarakat, diantaranya adalah kepercayaan, partisipasi sosial, dan toleransi.

Baca Juga: Kemenag Kerahkan 50 Ribu Penyuluh Agama untuk Cegah Judi Online

Survei Kebahagiaan

Tri mengatakan BPS telah melakukan Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) pada 2014, 2017, dan terakhir 2021. Survei dilakukan berdasarkan amanat Konstitusi Republik Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum (public well-being) yang tampaknya oleh para pendiri bangsa, tidak hanya menggambarkan kondisi kemakmuran material (welfare, prosperity), tetapi juga mengarah kepada konsep kebahagiaan (happiness).

Tri menyampaikan indeks kebahagiaan Indonesia tahun 2021 sebesar 71,49 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2017 yaitu 70,69 persen. SPTK tahun 2021 dilakukan kepada 75.000 sampel rumah tangga yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Indeks kebahagiaan mencakup tiga dimensi atau konsep yang berbeda tapi terkait yaitu kepuasan hidup, afeksi (good life), dan makna hidup (meaningful life), yang mengacu kepada indikator dan kerangka kerja dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Baca Juga: Indonesia Sesalkan Kegagalan DK PBB Adopsi Resolusi Gencatan Senjata di Gaza

“Hasil penghitungan indeks kebahagiaan mendukung pernyataan bahwa sumber kebahagiaan dapat berasal dari dari berbagai faktor, tidak semata materiil, namun juga non-materiil,” kata Tri.

Menurutnya, SPTK menunjukkan toleransi di Indonesia cenderung tinggi, terdiri dari membiarkan orang lain melaksanakan ritual keagamaannya meskipun tafsir kebenarannya bertentangan dengan tafsir yang kita yakini dan sebagai bagian dari penganut mayoritas agama tertentu, maka tidak berhak mengontrol atau membatasi kegiatan warga lain yang minoritas.

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Prof. Inayah Rohmaniyah, sebagai salah satu tokoh yang bermitra dengan Institut Leimena untuk mengembangkan modul lokakarya LKLB, mengatakan program LKLB bukan hanya memberikan cara pandang baru tetapi keterampilan konkret yang bisa diterapkan para guru/pendidik. Tiga kompetensi LKLB adalah pribadi, komparatif, dan kolaborasi, serta keterampilan berupa evaluasi, negosiasi, dan komunikasi.

“Setelah peserta dipastikan menguasai keterampilan itu semua, tidak hanya sampai di situ, kami juga memberikan mereka memiliki pengalaman langsung berinteraksi dengan orang berbeda agama. Bagi sebagian besar guru, ini pengalaman transedental,” kata Inayah.

Baca Juga: Lomba Cerdas Cermat dan Pidato tentang Palestina Jadi Puncak Festival Baitul Maqdis Samarinda

Dua tokoh lintas agama pendiri Multi-Faith Neghbors Network yang berbasis di Texas, Amerika Serikat, Pastor Bob Roberts Jr. dan Imam Mohamed Magid, menceritakan pengalamannya dalam membangun relasi antar pemimpin agama yang berbeda.

Pastor Bob mengatakan jika kita bekerja sama, bekeringat bersama, maka kita bisa memulai pembicaraan-pembicaraan lebih berat karena kita menyadari bekerja untuk tujuan bersama dan tumbuh rasa saling percaya.

“Ketika para pendeta, imam, rabi, dan pemimpin agama lain berkumpul untuk belajar satu sama lain, mereka akan menjadi teladan bagi komunitas agama mereka masing-masing,” kata Pastor Bob.

Wakil Presiden G20 Interfaith Association (IF20) Katherine Marshall mengatakan literasi keagamaan lintas budaya berusaha mengatasi ketakutan-ketakutan masyarakat yang muncul karena ketidaktahuan akan orang lain.

Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga

“Dengan meningkatkan pengetahuan maka orang-orang bisa memahami dengan baik bagaimana berinteraksi dengan pihak lain yang berbeda,” katanya. (R/R1/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas

Rekomendasi untuk Anda

Khutbah Jumat
Indonesia
Kolom
Indonesia
Indonesia
Indonesia