Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KEMATIAN SHARON: OBAMA NYATAKAN “KOMITMEN TAK TERGOYAHKAN” UNTUK ISRAEL

Admin - Ahad, 12 Januari 2014 - 04:01 WIB

Ahad, 12 Januari 2014 - 04:01 WIB

633 Views ㅤ

Washington, 10 Rabi’ul Awwal 1435/12 Januari 2014 (MINA) – Presiden AS Barack Obama mengatakan komitmen ‘tak tergoyahkan’- nya untuk Israel pada Sabtu malam (11/1), menyusul kematian mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon yang meninggal pada hari itu setelah koma selama delapan tahun.

Obama yang menyampaikan bela sungkawa  melalui pernyataan tertulis, mengatakan, akan mengirimkan Wakil Presiden Joe Biden menghadiri upacara pemakaman Sharon.

“Kami terus mengupayakan perdamaian abadi dan keamanan bagi rakyat Israel,” kata Obama, sebagaimana dilaporkan Globe and Mail yang berpusat di Canada dan dikutip Mi’raj News Agency (MINA), Ahad

Sedangkan Biden mengungkapkan kebanggaannya untuk menghadiri upacara pekamanan itu, menambahkan, dirinya menantikan kesempatan untuk memberikan “penghormatan terakhir kepada Sharon dan  menghargai kemitraan tak tergoyahkan antara AS dan Israel.”

Baca Juga: Presiden Venezuela: Bungkamnya PBB terhadap Gaza adalah Konspirasi dan Pengecut

Menteri Luar Negeri John Kerry, mantan presiden Bill Clinton dan George W. Bush,  serta beberapa pemimpin AS lainnya juga ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian Sharon.

Kerry mengatakan dia tidak akan pernah melupakan pertemuan-pertemuan dengan Sharon setelah menjadi perdana menteri.

Sementara Bush, yang memerintah di AS bersamaan dengan Sharon memerintah di Israel, memanggilnya sebagai seorang teman dan “orang yang berani.”

“Dia adalah ‘seorang pejuang’  untuk waktu yang lama dan mitra dalam ‘mencari keamanan’ Tanah Suci, Timur Tengah yang damai,” kata Bush.

Baca Juga: Protes Agresi Israel di Gaza, Mahasiswa Tutup Perpustakaan Universitas New York

Sharon yang dikenal dengan Arik menjabat sebagai Perdana Menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006. Kekuasaannya sebagai perdana menteri kemudian digantikan oleh Perdana Menteri (sementara) Ehud Olmert karena ia terkena serangan stroke pada Januari 2006. Ia mengalami koma dalam waktu yang lama, sehingga tidak memungkinkan untuk dapat kembali menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin pemerintahan.

Dunia internasional memandang Ariel Sharon bertanggung jawab pada tragedi pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953 di mana saat itu 96 orang Palestina tewas oleh Unit 101 yang dipimpinnya dan pembantaian Sabra dan Shatila di Libanon pada 1982 yang mengakibatkan antara 3.000 – 3.500 jiwa terbunuh, sehingga ia dijuluki sebagai ‘Tukang Jagal dari Beirut’.

Ia lahir dengan nama Ariel Scheinermann (Shinerman) dari sebuah keluarga pendukung gerakan Zionis. Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan kelompok mafia Haganah yang aktivitasnya meneror rakyat Palestina. Dalam melancarkan aksi teror, ia secara bergantian berada di bawah komando Perdana Menteri David Ben Gurion, Itzhak Shamir, dan Yitzhak Rabin.

Pada masa perang kemerdekaan Israel tahun 1948, di usianya yang ke-20, ia telah menjadi seorang komandan infantri Israel dalam Brigade Alexandroni. Pada saat ia hendak membakar sebuah ladang, tiba-tiba rentetan peluru pejuang Palestina menembus tubuhnya. Luka itu hampir saja merenggut nyawanya kalau saja ia tak diselamatkan rekannya. Pada tahun itu juga, ia melanjutkan studi di bidang hukum di Universitas Ibrani di Yerusalem. Pada 1953, ia membentuk sekaligus memimpin unit komando khusus “Unit 101” yang bertugas melakukan operasi-operasi khusus tingkat tinggi. Ia diangkat menjadi komandan dari korps para-komando dan terlibat dalam perang memperebutkan Sinai pada tahun 1956. Pada tahun 1957, ia meneruskan pendidikan kemiliterannya di Camberley Staff College, Inggris.

Baca Juga: AS Pertimbangkan Hapus HTS dari Daftar Teroris

Selama tahun 1958-1962, Sharon pernah menjadi komandan Brigade Infantri, memimpin Pusat Pendidikan Infantri dan mengikuti sekolah hukum di Universitas Tel Aviv. Pada Perang Enam Hari (1967) yang melibatkan Israel melawan bangsa Arab, ia menjabat sebagai komandan sebuah divisi tentara dengan Brigadir Jenderal. Kemudian, ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan pada tahun 1972. Ketika terjadi Perang Yom Kippur pada tahun 1973, ia dipanggil untuk memimpin divisi tentara yang harus menyeberangi Terusan Suez. (T/P03/IR)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Baca Juga: Mahasiswa Yale Ukir Sejarah: Referendum Divestasi ke Israel Disahkan

 

Rekomendasi untuk Anda