Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sikapi Viralnya Pacu Jalur, Dosen Unri Ungkap Tantangan Pariwisata Indonesia

Rudi Hendrik Editor : Widi Kusnadi - 51 detik yang lalu

51 detik yang lalu

0 Views

Balapan Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. (Gambar: dok. Go Riau)

Pekanbaru, MINA – Menyikapi viral dan mendunianya budaya Pacu Jalur dan “Anak Coki” dari Provinsi Riau, akademisi pariwisata Universitas Riau (Unri), Firdaus Yusrizal, mengungkap satu kondisi yang dia nilai sebagai tantangan perpariwisataan di Indonesia.

Menurutnya, selama ini Indonesia, termasuk Riau terlalu terpaku pada keunikan dan daya tarik awal tanpa benar-benar memikirkan rangkaian pengalaman yang seharusnya menyertai kunjungan wisatawan.

“Daya tarik wisata itu sebenarnya berada dalam kepala orang, bukan pada bendanya saja. Kita sering menganggap cukup dengan membuat sesuatu jadi viral. Tapi saat wisatawan datang, kita tidak tahu harus memperlakukan mereka bagaimana,” ujar Firdaus saat ditemui media Go Riau di Laboratorium Pariwisata FISIP Unri, Rabu (9/7).

Dosen Program Studi Usaha Perjalanan Wisata FISIP Unri tersebut menjelaskan, dalam konsep pariwisata, yang disebut sumber daya wisata adalah sesuatu yang punya kekuatan memikat. Ia bisa berupa atraksi budaya, keunikan alam, atau kisah masyarakat. Namun, keberhasilan suatu destinasi tak hanya diukur dari seberapa banyak orang datang, tetapi seberapa lama mereka tinggal dan apa yang mereka rasakan.

Baca Juga: BNPB Lakukan Operasi Modifikasi Cuaca untuk Atasi Banjir di Jakarta

“Kalau orang cuma datang, lihat, terus pulang. Itu bukan wisata yang berkelanjutan. Kita tidak menciptakan experience. Sementara wisatawan saat ini datang bukan hanya untuk melihat, tapi untuk mengalami,” kata Firdaus.

Ia mencontohkan Pacu Jalur yang saat ini memiliki nilai budaya yang luar biasa, bahkan memantik kebanggaan lokal. Namun, setelah pengunjung melihat sosok Anak Coki menari atau perahu berpacu, tidak ada aktivitas lanjutan yang ditawarkan.

“Tak ada tempat mereka bisa belajar menari seperti Anak Coki, tak ada wahana interaktif, workshop, atau pertunjukan lanjutan,” katanya.

Akibatnya, kata dia, setelah rasa penasaran terpenuhi, yang tersisa adalah kebingungan. Dalam skenario terburuk: kebosanan.

Baca Juga: Cuaca Tak Menentu di Musim Kemarau, BMKG: Waspadai Hujan Ekstrem

Firdaus menyamakan keadaan tersebut dengan destinasi lain seperti Ombak Bono di Sungai Kampar, yang dulu sempat fenomenal.

Gelombang sungai setinggi 4-6 meter yang bisa diselancari sempat jadi perhatian dunia. Namun, karena hanya terjadi satu atau dua kali sehari, wisatawan yang datang lalu menunggu ombak berikutnya merasa kosong. Tanpa aktivitas penunjang, pengalaman jadi terputus.

“Di laut, kalau orang surfing jatuh, bisa coba lagi. Di Bono, kalau jatuh, ya nunggu besok. Sambil menunggu, orang mau ngapain? Nah, di situlah kita lemah,” tambah Firdaus.

Hal serupa, menurutnya, juga terjadi di Istana Siak dan saat perayaan Bakar Tongkang Rohil. Ritualnya megah, momentumnya kuat, tetapi pengelolaan pengalaman lanjutan lemah. Setelah berfoto dan melihat prosesi, tidak ada yang bisa dilakukan pengunjung.

Baca Juga: Wagub Jambi Ajak Semua Pihak Bersinergi Tingkatkan Mutu Pendidikan

Firdaus menyebut bahwa penyebab utamanya adalah minimnya perencanaan pariwisata berbasis pengalaman. Seharusnya, di sekitar atraksi utama, dibangun sistem aktivitas lanjutan. Misalnya di Pacu Jalur, bisa dibuat panggung pertunjukan musik tradisional, lomba tari anak-anak seperti Anak Coki, bahkan workshop mendayung atau mengenal sejarah jalur.

Selain itu, dokumentasi dan promosi pun perlu dimutakhirkan. Video dokumenter Pacu Jalur yang ada masih berasal dari 2012–2013. Padahal saat ini, media sosial dan konten kreatif sangat menentukan persepsi calon wisatawan.

Sebagai akademisi, Firdaus mengaku para dosen di Prodi Usaha Perjalanan Wisata FISIP Unri sudah banyak membuat laporan, kajian, bahkan desain pengembangan destinasi. Tapi sayangnya, rekomendasi itu sering tak dibaca, apalagi dijalankan.

Firdaus menambahkan, momentum viral Anak Coki adalah peluang langka. Itu bisa menjadi titik balik untuk memikirkan ulang pengembangan pariwisata di Riau, tidak hanya berorientasi pada event, tapi pada ekosistem pengalaman yang menyeluruh. []

Baca Juga: Banjir di Kota Tangerang Surut, Akses Jalan ke Jakarta Kembali Normal

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda