DALAM kehidupan sehari-hari di masyarakat, khususnya umat Islam, kita sering mendengar istilah silaturahim dan silaturahmi. Keduanya digunakan secara bergantian untuk menggambarkan hubungan persaudaraan dan kasih sayang di antara sesama. Silaturahim dan silaturahmi, apa bedanya menurut syariat?
Dalam perspektif Islam, kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Memahami perbedaan ini bukan hanya soal bahasa, melainkan soal bagaimana kita menjalankan ajaran agama dengan lebih mendalam dan benar tentang silaturahim dan silatirahmi.
Mari kita eksplorasi lebih jauh dengan menyelami makna masing-masing istilah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an, hadits dan pandangan ulama.
Definisi Silaturahim dan Silaturahmi
Baca Juga: Keutamaan Haji: Pahala dan Kedudukan Mulia di Sisi Allah
Secara etimologi, silaturahim berasal dari kata “shilah” yang berarti hubungan atau menyambung, dan “rahim” yang berarti rahim atau tempat pertalian darah (keluarga). Dalam konteks syariat, silaturahim mengacu pada menjaga hubungan baik dengan keluarga, terutama kerabat dekat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
…، وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ ،… (النساء [٤]: ١)
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.” (QS. An-Nisa: 1)
Adapun silaturahmi, meskipun sering digunakan dalam bahasa Indonesia untuk merujuk pada hal yang sama, memiliki akar kata yang berbeda. Dalam bahasa Arab, istilah ini tidak dikenal secara spesifik. Ulama menganggap penggunaan kata silaturahmi sebagai bentuk adaptasi budaya yang lebih umum mencakup hubungan baik tidak hanya dengan keluarga, tetapi juga dengan masyarakat luas.
Baca Juga: Panduan Haji, Apa Saja yang Tidak Boleh Dilakukan?
Perbedaan Menurut Syariat
Silaturahim: Fokus pada Keluarga
Dalam pandangan Islam, silaturahim memiliki keutamaan yang besar karena berakar pada hubungan darah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (متفق عليه)
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia menyambung hubungan rahim (keluarga).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Urgensi Jihad Ma’rifi dalam Pembebasan Masjidil Aqsa
Menjaga silaturahim bukan hanya soal berkunjung, tetapi juga mencakup membantu kerabat, mendoakan mereka, dan menjaga hak-hak mereka.
Silaturahmi: Hubungan yang Lebih Luas
Sementara itu, silaturahmi sering digunakan untuk merujuk pada hubungan baik secara umum, termasuk dengan tetangga, teman, dan masyarakat luas. Meskipun istilah ini tidak ditemukan dalam literatur Arab, praktik menjaga hubungan baik dengan orang lain tetap dianjurkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
لَا يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ النَّاسَ(متفق عليه)
Baca Juga: Pemuda dan Tanggung Jawab Pembebasan Al-Aqsa
“Sesungguhnya Allah tidak merahmati orang yang tidak menyayangi manusia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama, seperti Imam Nawawi Rahimahullah menjelaskan bahwa silaturahim adalah kewajiban syariat yang memiliki konsekuensi pahala besar. Sedangkan hubungan baik dengan masyarakat luas merupakan bagian dari akhlak mulia yang juga bernilai pahala tetapi tidak wajib secara khusus.
Meskipun silaturahim dan silaturahmi sering digunakan secara bergantian, keduanya memiliki fokus yang berbeda dalam syariat. Silaturahim adalah menjaga hubungan dengan keluarga dekat, sedangkan silaturahmi mencakup hubungan yang lebih luas.
Memahami dan mengamalkan keduanya adalah wujud nyata dari keimanan dan kepedulian sosial kita sebagai seorang Muslim. Mari jadikan keduanya sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan mempererat ukhuwah islamiyah. []
Baca Juga: Zionis Pencipta Doktrin Antisemitisme
Mi’raj News Agency (MINA)