Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’rajIslamic News Agency (MINA)
Untuk ketiga kalinya dalam beberapa pekan, nelayan Provinsi Aceh, Indonesia, menyelamatkan ratusan pengungsi Rohingya dan Bangladesh di perairan Aceh, Rabu dini hari, 20 Mei.
Perahu migran yang mengangkut sekitar 389 migran tersebut ditemukan di perairan Kabupaten Aceh Timur, setelah terapung-apung di Selat Malaka, terdiri dari anak-anak, wanita, remaja dan juga kaum pria dewasa. Para imigran itu terlihat lemah dan ada yang jatuh sakit.
Berdasarkan informasi dari warga setempat, perahu motor yang membawa imigran ini dalam keadaan tidak berfungsi mesinnya, sehingga harus ditarik dengan perahu motor kecil milik nelayan ke Kuala Geuleumpang, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Saat itu, keadaan para pengungsi sangat lemah karena kehabisan makanan dan minuman.
Sesampainya di darat, para nelayan langsung kembali ke laut dengan lebih banyak lagi perahu untuk menjemput sisa pengungsi yang belum terangkut.
Sementara di daratan, warga desa tanpa pikir panjang mendirikan dapur umum untuk makan para pengungsi yang sudah tiga bulan tidak kenal lauk pauk.
Tidak lama, kabar pendaratan pengungsi Muslim Rohingya tersebar di berbagai desa sekitar melalui pengeras suara di meunasah (musholah). Tergerak rasa kemanusiaannya, warga berdatangan membawa makanan dan pakaian bekas.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sebanyak 29 pengungsi yang mayoritas etnis Rohingya, Myanmar, dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya mengkhawatirkan.
Mirawati, warga Simpang Lhee, sampai menangis saat melihat keadaan warga Rohingya yang tiba di pantai. Sedari malam hingga siang hari, Mirawati bersama warga sekitar 10 desa menyediakan seluruh keperluan hidup warga Rohingya.
“Saya menangis melihat keadaan mereka. Saking laparnya, mereka makan banyak sekali, ada yang hingga muntah. Ada juga yang tidak mau makan karena sakit,” kata ibu berusia 45 tahun ini, sembari menyendok nasi ke piring untuk makan ratusan “tamunya” itu.
Nurjanah pun demikian. Wanita 30 tahun ini sampai tidak sempat memasak makanan untuk keluarganya karena sibuk membuat masakan di dapur umum. Hingga siang, mereka bekerja tanpa henti demi mengisi perut para pengungsi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Saya sendiri belum makan dari pagi. Di rumah tidak ada yang masak, tapi ini demi kemanusiaan,” kata Nurjanah.
Terlihat warga Rohingya, wanita, pria dan anak-anak makan dengan lahap. Warga desa tidak membiarkan para pengungsi itu kehabisan makanan. Lauk ikan, sayuran, dan nasi terus berdatangan.
Beberapa warga Rohingya yang bertemu nasi tidak sanggup menahan tangisnya, diikuti oleh air mata haru warga.
“Tiga bulan saya tidak makan, kini saya makan,” kata warga Rohingya, Hasan Ali (33 tahun), menangis.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Camat Julok, Zainuddin, mengatakan bahwa tindakan masyarakat Aceh ini dimotivasi oleh rasa kemanusiaan dan nilai-nilai keagamaan yang kuat di tengah warga.
“Warga kecamatan lain juga turun tangan membantu,” kata Zainuddin.
Seberkas sinar di Aceh
Selama bertahun-tahun hidup seperti warga asing yang dimusuhi di negeri sendiri, Myanmar, lalu mengalami puncak penindasan dari warga Budha dan militer pada kerusuhan 2012, kemudian bertaruh harta dan nyawa menempuh perjalanan maut menuju Malaysia, hingga mengalami masa-masa “drama horor” di tengah laut, warga Muslim etnis Rohingya akhirnya melihat seberkas cahaya kehidupan di Bumi Rencong, Aceh.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Setelah masa-masa kritis berlalu seiring terus mengalirnya bantuan makanan dan lainnya dari rakyat Inonesia, khususnya masyarakat Aceh, tangis derita dan ekspresi putus asa para pengungsi Rohingya dan migran Bangladesh kini berubah. Senyum yang telah lama hilang kini kembali mekar.
Terlebih ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla, menunjukkan langkah-langkah positif menyikapi kedatangan gelombang pengungsi Rohingya dan migran Bangladesh.
Tidak bisa dipungkiri pula, ada sebagian pengungsi yang masih memendam dendam kepada warga Banglades terkait tawuran massal di atas perahu ketika di Selat Malaka.
Menurut Maynubbin (23) seorang pengungsi Bangladesh, sebenarnya persoalan yang menyulut perkelahian itu hanya sepele. Orang Bangladesh meminta air minum yang tinggal empat botol yang diperuntukkan kepada para bayi, namun tidak diberi.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
“Jika mereka (Myanmar, Red) memberi kami air, hal itu tidak akan terjadi. Sebab, sebelumnya kami berhubungan baik di atas kapal. Sungguh menyedihkan, kami saling membunuh karena hal sepele. Ada sekitar 50 orang Bangla yang tewas gara-gara kejadian itu,” ucap Maynubbin yang mengaku memilih mencebur ke laut daripada bertarung di atas kapal. (Jawa Pos)
Dari peristiwa itu, 93 orang Rohingya tewas terbunuh di tangan warga Bangladesh.
Dendam itu akan menjadi masalah tersendiri di kemudian hari. Namun, jelasnya kini mereka dapat berharap besar untuk kedua kalinya, ketika mimpi ke Malaysia pupus oleh kejahatan para penyelundup manusia di tengah laut.
Jiwa sosial warga Aceh dan Indonesia serta keramahannya, menjadi obat mujarab bagi derita fisik dan batin para pengungsi.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Pengungsi Muslim Rohingya telah menyatakan rasa terima kasihnya kepada penduduk Indonesia atas bantuan tempat tinggal dan makanan yang disediakan untuk mereka.
“Mereka (warga Aceh) memperlakukan kami seperti orang tua memperlakukan anak-anak mereka. Kami sangat berterima kasih,” kata Ramida, pengungsi Rohingya yang sudah tinggal di Aceh selama 17 tahun, Jumat (22/5).
Warga Rohingya lainnya, Mohammad Hasan, menyatakan lega setelah sebulan di sebuah kapal dengan persediaan terbatas, kini di Aceh, mereka tidak lagi harus khawatir kekurangan makanan.
Loyalitas rakyat Indonesia untuk pengungsi Muslim Rohingya terlihat dari bantuan yang berdatangan semakin menggunung di tempat penampungan, di mana ketika pemerintah lokal menyatakan dana sosial untuk pengungsi tidak cukup.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Malaysia pada Rabu, 20 Mei 2015, yang bersedia menampung pengungsi Rohingya sebanyak 7.000 jiwa lagi, menimbulkan harapan baru bagi pengungsi yang masih mengadu nyawa di tengah lautan, meski wacananya hanya satu tahun saja.
Namun waktu satu tahun adalah waktu yang cukup banyak untuk menggantung harapan kepada Allah SWT.
Kepedulian Turki tak lekang
Pemerintah Turki kini menjadi sebuah negara Muslim yang peduli dan ringan tangan dalam mengulurkan bantuan kepada berbagai permasalahan umat Islam dunia.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Negara yang pernah memiliki masa kejayaan Khilafah Utsmaniyah ini juga tidak melewatkan isu penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar.
World Bulletin melaporkan, Jumat, 22 Mei 2015, Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mengatakan bahwa Angkatan Laut Turki sedang berusaha menolong para muslim Rohingya yang terdampar di kapal, di lepas pantai Thailand dan Malaysia.
Davutoglu mengatakan, Turki bersama Organisasi Internasional untuk Migrasi (OIM) berusaha melakukan yang terbaik untuk menolong Muslim Rohingya di laut. Mereka mengerahkan kapal dari Angkatan Bersenjata Turki yang saat ini sudah berlayar di wilayah perairan Asia Tenggara, tempat migran Rohingya berada.
Kapal perang Turki untuk pertama kalinya berhasil menyelamatkan pengungsi di dua perahu terpisah, masing-masing memuat 430 dan 70 orang yang terdiri dari para pria dewasa, wanita dan anak-anak.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Pengerahan armada kapal Angkatan Laut Turki yang dianggap melanggar perairan negara-negara Asia Tenggara, disikapi oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan kalimat: “Negeri saya adalah setiap jengkal permukaan bumi yang dikumandangkan suara adzan”.
Pada 14 November 2013, Menteri Luar Negeri Turki yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu, mengunjungi Muslim Rohingya di Myanmar.
Demikian pula Sekretaris Jenderal Organisasi Kerjasama Islam (OKI ), Ekmeleddin Ihsanoglu yang juga merupakan tokoh asal Turki.
Beberapa bulan kemudian, bantuan pangan dari Turki pun berdatangan untuk Muslim Rohingya di kamp-kamp penampungan di negerinya.
Melalui Turkish Foundation of Religious Affairs (TDV), dalam waktu empat hari belakangan ini, sebuah program bantuan untuk Muslim Rohingya diluncurkan.
Ada beberapa cara yang dipakai oleh TDV.
Pertama, membuka rekening bank langsung. Namun, ternyata cara yang kedua, melalui SMS, paling banyak menjadi pilihan rakyat Turki. Sejauh ini (per 21 Mei 2015) sebanyak 27,000 orang Turki sudah mendonasikan bantuannya.
Turki pun telah berjanji untuk menambahkan bantuan untuk pengungsi Rohingya sebesar 1 juta dolar AS melalui Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Presiden Recep Tayyip Erdogan menyeru Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada 20 Mei 2015, untuk menerima pengungsi yang terdampar di Laut Andaman dan menegaskan bahwa Turki siap untuk mengambil tanggung jawab keuangan atas masalah itu.
Turki pun dengan murah hati menyediakan tanahnya untuk menampung pengungsi Rohingya, sebagaimana mereka telah menampung hampir dua juta pengungsi Suriah.
Filipina buka pintu
Pemerintah Filipina pun telah menyatakan bersedia membuka pintu negaranya untuk minoritas Rohingya yang menyelamatkan diri dari Myanmar dan Bangladesh. Padahal negara ini baru kehilangan sekitar 10.000 warganya dan 600.000 lainnya kehilangan rumah, saat Badai Super Topan Haiyan menghancurkan provinsi Leyte.
Pernyataan 19 Mei 2015 itu adalah wujud komitmen janji Filipina kepada PBB untuk melindungi pencari suaka dan pengungsi.
“Biarkan kami memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan yang diminta dari kami, karena kami bangga menjadi orang yang penuh kasih dan ramah,” kata Senator Paolo Aquino dalam pernyataan itu.
“Kami menyerukan kepada badan-badan internasional yang tepat untuk segera memproses masalah hukum untuk kesejahteraan manusia perahu,” kata Aquino, sepupu dan sekutu politik Presiden Filipina Benigno Aquino.
Pernyataan itu muncul setelah Menteri Kehakiman Filipina Leila de Lima mengatakan pada Senin (18/5), negaranya memiliki kewajiban untuk mengakui dan melindungi pencari suaka, bahkan ketika para pengungsi tidak memiliki dokumen untuk membuktikan status mereka.
“Jika ada manusia perahu yang datang kepada kami mencari perlindungan pemerintah kami, ada proses, ada mekanisme tentang bagaimana menangani para pengungsi atau pencari suaka ini,” kata de Lima dalam sebuah pernyataan.
Di tengah penolakan beberapa negara ASEAN terhadap ribuan pengungsi Muslim Rohingya, Juru Bicara Presiden Filipina mengatakan, para pengungsi bisa berpaling ke Filipina jika mereka tidak memiliki dokumen.
Filipina memiliki sejarah panjang menjadi tuan rumah pengungsi dari negara-negara Asia lainnya, bahkan pengungsi dari Eropa.
Selama Perang Dunia II, Presiden Filipina Manuel Quezon memerintahkan pengakuan terhadap 1.500 pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari Eropa.
Setelah perang dan kemenangan komunis dalam perang saudara di Cina, ribuan pengungsi Cina juga menetap di Filipina.
Pada 1970-an, saat Vietnam terlibat dalam perang saudara, Filipina juga memberikan perlindungan untuk warga “perahu orang” Vietnam dan membangun sebuah desa Vietnam di pulau barat Palawan.
Sebagian besar pengungsi akhirnya relokasi di negara lain, banyak yang tempatkan di Amerika Serikat.
Gambia siap tampung semua
Siapa sangka jika sebuah negara terkecil di daratan Afrika, Gambia, juga membuka pintu yang selebar-lebarnya untuk menampung pengungsi Muslim Rohingya.
Meski memiliki rakyat yang rata-rata penghasilannya hanya AS $ 1,25 per hari, pada 19 Mei 2015, Presiden Gambia mengeluarkan pernyataan yang bersedia menerima seluruh pengungsi Muslim Rohingya.
“Ini adalah tugas suci untuk membantu meringankan penderitaan yang tak terhitung dan penderitaan sesama manusia,” kata Pemerintah Gambia dalam pernyataannya.
Pemerintah Gambia meminta Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Thailand untuk membantu relokasi para migran ke kamp-kamp pengungsi Gambia.
Gambia yang dipimpin oleh presiden termuda di dunia, Yahya Jammeh, juga mendesak “semua negara dengan hati nurani” untuk membantu memberikan tempat bagi para migran yang terkatung-katung di laut dengan bantuan kemanusiaan, termasuk tenda, tempat tidur, selimut, obat-obatan dan makanan. (P001/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)