Oleh: Nur Ikhwan Abadi, Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Jalur Gaza Palestina
Allah berfirman dalam Surat Al- Baqoroh 154 dan Ali-Imron 169:
ﻮﻻ ﺘﻗﻮﻟﻮﺍ ﻟﻤﻦ ﻴﻗﺘﻞ ﻔﻲ ﺴﺑﻴﻞ ﺍﻟﻟﻪ ﺍﻤﻮﺍﺗﺎ ﺑﻞ ﺍﺣﻴﺎﺀ ﻮﻟﻜﻦ ﻻ ﻴﺸﻌﺮﻮﻦ
Terjemahannya : “Dan janganlah kamu sekalian mengatakan bahwa orang yang terbunuh dalam jihad di jalan ALLAH itu dalam keadaan mati, sebenarnya mereka (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
ﻮﻻ ﺘﺣﺴﺑﻦ ﺍﻟﺫﻴﻦ ﻗﺘﻟﻮﺍ ﻔﻲ ﺴﺑﻴﻞ ﺍﻟﻟﻪ ﺍﻤﻮﺍﺗﺎ ﺑﻞ ﺍﺣﻴﺎﺀ ﻋﻧﺪ ﺮﺑﻬﻡ ﻴﺮﺰﻗﻮﻦ
Terjemahannya : “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan ALLAh itu mati, sebenarnya mereka hidup disisi Rabb nya mendapat rezeki.
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidur”. (Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia menshahihkannya).
Dua ayat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 154 dan Ali Imron ayat 169 merupakan ayat yang menunjukan bahwa seseorang yang gugur dalam Jihad di Jalan Allah tidaklah mati, melainkan mereka hidup di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Mereka mendapatkan kenikmatan dari Allah dan hanya Allah sajalah yang mengetahui keadaan mereka. Ini merupakan janji yang benar dari Allah, dua ayat tersebut merupakan janji Allah kepada orang-orang yang beriman yang berjihad di jalan Allah. Tidak ada keraguan sedikit pun terhadap apa yang Allah janjikan terhadap hamba-NYA.
Hadits di atas juga merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tentang orang yang berdoa memohon kepada Allah untuk mati syahid. Jika orang-orang beriman berdoa dan memohon mati syahid dengan sebenar-benarnya maka Allah akan mengabulkan doanya.
Maksud hadits ini tentu tidak saja dengan berdoa, namun juga mengerahkan segala upaya kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai permohonannya tersebut, jika dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mati di jalan Allah namun ternyata Allah menakdirkannya meninggal di atas tempat tidur maka Allah menjanjikan kedudukan syahid untuknya.
Seringkali dalam hidup ini sebagian dari kaum muslimin berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mati dalam keadaan syahid dijalan-NYA. Namun apakah doa tersebut telah diikuti juga dengan usaha maksimal untuk menggapainya. Bagaimana mungkin jika kita berdoa untuk syahid, tapi shalat saja kita malas, mengaji, mempelajari Al-Qur’an saja kita malas.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Sangat tidak mungkin untuk menggapainya, kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang gugur di jalan Allah merupakan seorang yang sangat mulia disi-NYA. Mereka adalah orang-orang yang terpiih di sisi Allah.
Sebuah kesaksian dari warga Gaza bagaimana para mujahid yang berperang di jalan ALLAH tatkala perang furqan agresi Israel ke Jalur Gaza pada tahun 2009 lalu. Puluhan mujahid gugur kala itu, mereka adalah orang-orang yang kesehariannya biasa shalat di shaf pertama di masjid dan orang-orang yang hafidz Al-Qur’an. Mereka sangat dekat dengan ALLAH dalam kesehariannya. Ini merupakan sebuah bukti bahwa kemuliaan syahid hanya diberikan oleh ALLAH kepada orang-orang yang dekat dan mendekatkan diri kepada-NYA.
Begitu juga dengan kesaksian sebuah keluarga yang anaknya mendapatkan syahid di Jalan ALLAH pada perang 2014 yang lalu. Sang syahid adalah anak yang shaleh, hafal Al Qur’an selalu menegakkan Shalat malam, melaksanakan puasa Sunnah, dan berjihad di Jalan ALLAH. Anak ini kemudia Syahid dalam sebuah pertempuran dahsyat melawan tentara Zionist yahudi di Bayt Hanoun , bagian utara Jalur Gaza.
Kali ini akan kami paparkan hasil wawancara dengan keluarga dan kerabat salah seorang mujahid abad ini, seorang yang sangat keras terhadp musuh ALLAH, namun berjiwa lembut terhadap sesama manusia. Abdul Aziz Ar-Rantisi.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
”by killing or by cancer, the same thing, we are all waiting for the last day of our life, nothing will be change, if it is by apatche or by cardiac arrest, I prefer to be by apatche. (Abdul Aziz Rantisi)”
Dalam kesempatan tersebut saya bertemu dengan beberapa orang saudara kandung dari Abdul Aziz Rantisi dan anak kandung beliau Ahmad bin Abdul Aziz Ar-Rantisi yang sehingga kini lumpuh akibat serangan Zionist Israel saat menemani sang Ayah pada juni 2003.
Abdul Aziz-Rantisi merupakan anak ke empat dari sembilan bersaudara. Adapun dari sembilan bersaudara tersebut tiga diantaranya telah meninggal dunia termasuk Abdul Aziz Ar-rantisi. Pada sebuah kesempatan yang terbilang langka tersebut, saya bertemu dengan empat orang kakak beradik dari Al Rantisi bersaudara, mereka adalah Nafiz Ar-Rantisi, Adnan Abu Ali Ar-Rantisi, dr. Shalah Rantisi, dan Dr. Nabhan Ar-rantisi.
Nafiz Ar-Rantisi merupakan anak ke 5 tepat dibawah Abdul Aziz Ar-Rantisi, ini adalah pertemuan pertama kalinya Nafiz dengan saudara-saudara kandungnya setelah 21 tahun terpisah. Karena 21 tahun yang lalu beliau ditangkap dan diusir dari tanah kelahirannya oleh zionist Israel ke Jordan. Selama 21 tahun tersebut Nafiz Ar-Rantisi tinggal di Jordan bersama anak dan istrinya dan bekerja sebagai pedagang di Amman, Jordania.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Mendapat kesempatan untuk kembali ke Gaza dan bertemu dengan saudara-saudaranya tidak disia-siakan oleh Nafiz Ar-Rantisi, walaupun perjalanan yang harus dilaluinya dari Jordan ke Gaza tidak semudah yang dilakukan oleh orang kebanyakan, karena dengan menyandang nama Ar-Rantisi di belakangnya membuat pihak musuh tidak segan-segan untuk menghabisinya.
Sedangkan Adnan Abu Ali Ar-Rantisi merupakan anak ke-6 dari sembilan bersaudara, Adnan Abu Ali Ar-Rantisi adalah seorang da’i, dia biasa berkeliling dari masjid ke masjid untuk mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru Gaza dan negeri-negeri muslimin.
Anak ketujuh dari keluarga Ar-Rantisi adalah dr. Shalah Rantisi, dokter anak, sama seperti kakaknya Abdul Aziz. Bekerja di sebuah klinikal centre di daerah Khan Younis. Sedangkan anak ke tujuhnya adalah Dr. Nabhan Ar-Rantisi yang merupakan PhD lulusan Jerman.
Suasana akrab dan penuh bahagia mewarnai pertemuan keluarga yang Insha ALLAh dipenuhi barakah tersebut. Mereka tanpak saling bercanda ria karena sudah lama tidak saling bertemu. Terlebih dengan Nafiz Ar-Rantisi mereka selalu mencandainya karena sudah lama tidak bertemu dengan mereka.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Mendamba Kematian Dengan Apache
Abdul Aziz Ar-Rantisi, adalah seorang mujahid di abad modern ini, selama hidupnya beliau senantiasa berjuang membela kebenaran atas penindasan dan kesewenang-wenangan penjajah zionist Israel. Tumpahnya darah Abdul Aziz Ar-Rantisi menjadi pupuk keimanan bagi seluruh kaum muslimin di dunia ini yang mendambakan jihad sebagai jalan hidupnya.
Darahnya yang mengalir di bumi Syam penuh berkah, harum mewangi semerbak meneber keseluruh penjuru dunia, serta menggelorakan semangat jihad kepada jiwa-jiwa yang mendamba syahid fie sabilillah.
Janji ALLAH telah ditepati, doa seorang hamba beriman yang tawadhu dan sangat mendambakan kemuliaan kehidupan akhirat yang kekal lagi abadi telah ALLAH kabulkan. Maha benar ALLAH dengan segala firman-NYA lagi Maha Agung.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Lahir dari keluarga yang sangat dekat dengan Islam, Abdul Aziz “Si Singa” Ar-Rantisi ini merupakan seorang hafidz Qur’an. Beliau berhasil menghafalkan Al-Qur’an 30 Juz ketika berada di dalam penjara zionist Israel dalam usia 40 tahun.
Salah satu pernyataannya yang sangat terkenal adalah :
“Dengan terbunuh atau dengan kanker, kita semua sedang menungu hari terakhir dari kehidupan kita, tidak akan ada yang berubah, apakah itu oleh apatche atau oleh serangan jantung, saya lebih suka (kematian) dengan apatche”.
Subhanallah, beliau sangat mendambakan kemuliaan untuk gugur di jalan ALLAH subhanahu wa Ta’ala. Merindunya beliau untuk mati di jalan ALLAH tersebut hingga mengeluarkan pernyataan tersebut. Memang benar, semua kita sedang menunggu detik terakhir malaikat izrail mencabut nyawa kita, tidak sedikitpun hal itu akan berubah, tidak akan mundur dan tidak akan maju.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Tidak akan berkurang umur seseorang ketika dia berangkat ke medan jihad dan berperang di jalan ALLAH, juga tidak akan bertambah usia seseorang ketika dia enggan berperang di jalan-NYA. Inilah yang dimaksudkan oleh Abdul Aziz Ar-Rantisi, kerinduannya untuk syahid, keyakinannya akan janji ALLAH, membuatnya tidak ragu sedikitpun untuk meminta syahid dan gugur di jalan ALLAH. Sebuah keyakinan yang sangat luar biasa dan patut ditiru tentunya.
Sejarah Singkat Abdul Aziz Al-Rantisi.
Ia lahir pada tanggal 23 Oktober 1947, dengan nama lengkap Abdul Aziz Ali Abdul Hafidz Al-Rantisi, di sebuah kota bernama Yibna sebelah barat Al-Quds dari keluarga yang sangat dekat dengan nilai-nilai keislaman.
Saat baru berusia enam bulan, Abdul Aziz kecil sudah harus menjadi pengungsi, karena diusir oleh penjajah Israel pada tahun 1948 dan mengungsi ke Khan Younis, sebelah selatan Jalur Gaza.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Abdul Aziz menjalani masa kecilnya di Kemp pengungsian Khan Younis, hingga kemudian dia menempuh pendidikan dasar dan menengah pada sebuah sekolah khusus untuk pengungsi Palestina. Saat sekolah ia juga harus bekerja untuk ikut memberikan dukungan materi kepada keluarganya.
Setelah menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 1965, Abdul Aziz mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Alexandria, Mesir, berhasil lulus pada tahun 1972 dan kemudian melanjutkan pendidikan Spesialis Kedokteran Anak.
Tahun 1976 dia kembali ke Jalur Gaza dan bekerja di Rumah Sakit Naseer Khan Younis, dan pada tahun 1978 juga menjadi pengajar Ilmu penegetahuan Alam, Genetika dan Parasit di Universitas Islam Gaza yang saat itu baru saja didirikan.
Abdul Aziz juga tercatat sebagai anggota Asosiasi Kedokteran Islam Arab di Jalur Gaza, dan Bulan Sabit Merah Palestina.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Saat menempuh pendidikan di Mesir, pada tahun 1976 Rantisi bergabung dan berbaiat dengan kelompok Ikhwanul Muslimin bersama dengan Dr. Ibrahim Maqadma, seorang pemikir dan tokoh gerakan Hamas. Setelah kembali ke Jalur Gaza, ia kemudian bergabung dengan Ikhwanul Muslimin di Khan Younis dan bersama dengan Shaikh Ahmad Yasin mendirikan Gerakan Perlawanan Islam Hamas pada bulan Desember 1987.
Sejak mendirikan Hamas bersama dengan Shaikh Yasin, Rantisi senantiasa mengedepankan perlawanan bersenjata terhadap penjajah Israel, sehingga meletuslah Intifadhah pertama tahun 1987 yang menyebabkan Rantisi mendekam di penjara Israel.
Sebelumnya Rantisi pertama kali ditangkap oleh penjajah Israel pada tahun 1983 karena menolak untuk membayar pajak terhadap penjajah Israel. Kemudian ditangkap dan dipenjara selama 21 hari pada 15 januari 1988 saat terjadinya intifadhah pertama.
Untuk ketiga kalinya pada tanggal 4 Februari 1988 Rantisi kembali ditangkap dan dipenjara oleh zionist Israel selama 2,5 tahun dengan tuduhan berpartisipasi dalam kegiatan pemberontakan terhadap penjajah Israel, dan dibebaskan pada 4 September 1990. Namun pada 14 Desember 1990 Rantisi kembali ditangkap dan ditahan selama satu tahun.
Kesulitan tak membendung semangat Rantisi dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, penjajah Israel kemudian mendeportasinya bersama dengan 400 aktivis Hamas dan Jihad Islami ke Libanon Selatan. Kemudian Rantisi diangkat sebagai Juru Bicara para deportan yang memprotes pendeportasian tersebut sehingga memaksa Zionist mengembalikan mereka ke Jalur Gaza.
Setalah kembali ke Jalur Gaza, zionist Israel kembali menangkap Rantisi dan mengadilinya pada pengadilan militer Israel. Vonis pengadilan ilegal Zionist Israel tersebut membuat Abdul Aziz Al Rantisi kembali mendekam dalam penjara dan baru dibebaskan pada pertengahan tahun 1997. Setidaknya Abdul Aziz Al Rantisi menghabiskan usianya selama 7 tahun di penjara zionist.
Keluar dari penjara Israel bukan berarti harus menjalani kehidupan yang bebas. Kurang dari satu tahun setelah kebebasannya dari penjara Israel, Otoritas Palestina kembali menangkap dan memenjarakan Rantisi. Setelah 15 bulan dalam penjara, Rantisi untuk pertama kalinya diizinkan keluar penjara karena ibunda tercintanya meninggal dunia. Namun sesudah itu kembali ditangkap Otoritas Palestina dan dijebloskan ke dalam penjara sebanyak tiga kali. Terakhir sesudah ditahan selama 27 bulan, Otoritas Palestina melepaskannya akibat aksi mogok makan dan pemboman tahanan tersebut oleh zionist Israel.
Setelah syahidnya Shaikh Ahmad Yasin, para pengikut Hamas kemudian membaeat Rantisi sebagai pimpinannya pada tanggal 23 Maret 2004. Di masa awal diangkat sebagai Pemimpin Hamas, dia melakukan sebuah operasi penyusupan ke Pelabuhan Ashdood yang dijajah oleh Israel, sebagai balasan terhadap serangan Israel pada Shaikh Ahmad Yasin. Akibat operasi inilah penjajah Israel melaksanakan berbagai operasi untuk membunuh Rantisi.
Detik-detik gugurnya Abdul Aziz Rantisi sebagai Syhuhada
Selanjutnya saya berkesempatan mewawancara langsung Ahmad Abdul Aziz Ar-Rantisi, saksi hidup gugurnya Abdul Aziz Rantisi, yang juga anak kandungnya. Berikut kisah lengkapnya yang diutarakan oleh Ahmad :
“Ayah saya punya teman seorang dokter yang saat itu sedang sakit parah. Sekalipun saat itu kondisi keamanan sangat membahayakan namun ayah saya tetap berniat menjenguk sahabatnya itu.”
“(hari itu, 10 juni 2003-pen) Kemudian kami pun keluar dari rumah dengan mengendarai sebuah mobil sedan yang kami naiki dari dalam rumah. Tentu mobil yang kita kendarai saat itu di-setting untuk mengelabui musuh. Kemudian keluarlah saya, ayah saya dan dua orang murafiq (bodyguard) tanpa seorangpun yang tahu bahwa ayah saya berada di dalam mobil tersebut. Dan sayalah yang saat itu mengemudi sedan tersebut, tapi di tengah perjalanan menuju rumah sakit itulah terjadi serangan bom dari pesawat Apache”.
“Dalam keadaan ini ketika sampai di salah satu perempatan jalan, tidak menghentikan mobil saya dan terus memacu kendaraan dengan sangat cepat, sampai tepat ketika saya melewati perempatan datanglah rudal pertama mengenai bagian depan mobil sedan. Tingginya kecepatan mobil yang saya kendarai tidak menghentikan laju mobil yang sudah terkena rudal tersebut”.
“Akan tetapi gerakan mobil jadi terombang-ambing ke kanan dan kekiri. Kemudan kembali datang rudal kedua, namun kali ini tidak mengenai mobil hanya jatuh dekat dengan mobil kita. Saat itu ayah saya serta murofiqnya segera turun dari mobil disusul oleh murofiq lainnya yang duduk di sebelah saya. Tinggallah saya sendiri dalam mobil yang saat itu sudah berhenti di sisi sebuah gedung tinggi sehingga menghalangi pengelihatan pilot apache saat itu”.
“Mulailah terdengar jeritan masyarakat di sekitar kami mendengar dua dentuman rudal dari Apache. Kemudian, seketika setelah saya membuka pintu depan mobil sedan dan keluar dari mobil, ketika itulah roket ketiga meluncur ke tengah tengah badan mobil sedan yang langsung meluluh lantahkan mobil tersebut.”
“Ayah saya saat itu berlindung di samping bangunan sekolah sambil berlari pincang akibat kakinya yang luka oleh serangan Apache. Para guru di sekolah yang melihat beliau, segera membawanya menuju rumah sakit. Begitu juga saya dilarikan kerumah sakit yang kemudian jatuh koma selama lima hari.”
“Sementara itu murofiq yang saat itu duduk disamping saya di mobil, dengan terlunta-lunta namun masih bisa berjalan sampai ke rumah sakit yang langsung disambut dengan doa oleh para pemuda di rumah sakit dan diarahkan menuju ruang operasi untuk menjenguk ayah saya.”
“Namun saat itu juga sampailah kabar bahwa sang murofiq itu syahid dipanggil ALLAH Subhanahu wa Ta’ala tepat pada saat dia tiba di rumah sakit. Belakangan hari diketahui gugurnya murofiq tersebut akibat pendarahan dalam tubuhnya. Demikian kronologi insiden penyerangan yang pertama.
Penyerangan pertama tersebut membuat tubuh bagian kanan Ahmad Abdul Aziz Ar-Rantisi mengalami stroke dan mati sebelah hingga sekarang, sehingga untuk aktifitasnya Ahmad hanya menggunakan bagian kiri, bahkan untuk bersalaman sekalipun beliau menggunakan tangan kirinya.
Adapun insiden penyerangan yang kedua, di mana ayah saya menemui syahidnya, saat itu kondisi beliau masih dalam suasana pengangkatan kepemimpinan beliau sepeninggal Assyahid Ahmad Yasin Rohimahullah.
Sejak hari pengangkatannya itu, beliau jarang sekali pulang dan kamipun sangat jarang sekali bertemu beliau. Sampai datanglah hari di mana ia syahid, saat itu 17 April 2004, beliau sedang pulang ke rumah kami. Ayah pulang hendak menyelesaikan banyak urusan yang belum terselesaikan yang salah satu urusan terpentingnya adalah pernikahan saya. Dan saya masih ingat bahwa hari itu beliau mengatakan kepada kami, bahwa beliau telah mendapat uang pensiun dari Universitas Islam Gaza tempat ia mengajar.
“Hari ini abi telah melunasi seluruh hutang hutang abi, dan tinggal sisa uang untuk acara pernikahan Ahmad (yaitu saya). Abi harap abi bisa meninggalkan dunia ini tanpa meninggalkan urusan yang belum terselesaikan,” ujar Abdul Aziz. Beliau hendak mencarikan jodoh saat itu juga, dan benarlah, hari itu juga beliau memilih calon pengantin dan hari itu juga ayah mengirimkan saya kerumah besan kami tepatnya setelah shalat asar.
Ketika tiba waktu shalat maghrib, setelah kami menunaikannya secara berjama’ah, ayah mulai bersiap-siap untuk berangkat dari rumah. Kondisi pada waktu itu hanya memungkinkan beliau untuk melakukan perjalanan ke luar rumah pada malam hari saja.
Tidak biasanya, pada malah hari itu ayah mengenakan baju terbaiknya sampai saudara perempuan saya mencandai beliau dengan mengatakan “ayah benar benar seperti seorang pengantin”. Kemudian beliau pun mendendangkan sebuah nasyid “an tudkhilani rabbi al jannah, haadza aqsa ma atamanna” (ku harap Rabb ku memasukanku kedalam al jannah, karena itulah harapanku yang paling utama) dan kalimat inilah yang terakhir kami dengar dari ayah.
Setelah itu aku dan ayah bergerak menuju mobil. Sesampainya kami di mobil kami temui beberapa murofiq di antaranya assyahid Akram Nasshar dan assyahid Ahmad al Gurrah Selanjutnya ayah naik mobil bersama mereka. Sementara saya kembali menuju rumah. Hanya dua menit kemudian terdengar suara dentuman bom. Saat itu saya yakin bahwa mobil yang terkena rudal adalah mobil yang ditumpangi ayah, karena suaranya sangat keras.
Saya berusaha untuk langsung menuju lokasi terjadi nya insiden penyerangan tersebut, namun tidak bisa karena kondisinya sangat tidak memungkinkan. Dan sesampainya saya di rumah, sampailah kabar insiden penyerangan tersebut kepada kami melalui berita di tv. Saat itu ibu sedang menunaikan shalat isya dan berdo’a dan tidak berhenti sampai terdengarnya kabar syahidnya ayah itu.
“Sesampainya berita syahidnya ayah, segera kami mulai mengucapkan selamat satu sama lain atas kabar syahidnya ayah, dan kami mulai menyambut para tetangga yang juga mengucapkan selamat kepada kami.”
Subhanallah, mendengar cerita anaknya tersebut, membuat penulis artikel ini sangat haru, bagaimana kerinduan Abdul Aziz Rantisi menggapai syahid dan bagaimana juga keluarga sangat senang tatkala mendengar kesyahidannya.
Sementara itu di tempat terpisah, penulis juga meminta kesaksian seorang murid binaan langsung Abdul Aziz Ar-Rantisi yang bernama Abu Muhammad. Selama sekitar lima tahun Abu Muhammad senantiasa berasama Abdul Aziz Rantisi. Abu Muhammad menceritakan bagaimana sifat Abdul Aziz Rantisi.
“Satu hal lagi yang sangat penting dikemukakan oleh Abu Muhammad adalah, bahwa Shaikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Ar-Rantisi adalah penentang keras masuknya Hamas ke dunia perpolitikan. Kerena ketika masuk kedunia tersebut maka sama saja kita berada di bawah cengkeraman musuh musuh ALLAH. Yang mereka berdua fikirkan hanyalah Jihad fie Sabilillah mengusir penjajah zionist Israel dan mengembalikan Masjid Al-Aqsha serta Palestina ke pangkuan muslimin”.
Di antara sifat yang terdapat pada Abdul Aziz Ar-Rantisi adalah sangat sabar, dalam artian, beliau menerima dengan ikhlas amanah yang dirasa sangat berat yaitu menggantikan posisi Asy – Syahid Shaikh Ahmad Yasin. Shaikh Ahmad Yasin, memang seorang pemimpin karismatik. Dengan posisinya memimpin Hamas, memimpin Qassam, memimpin semua nya, ia disegani semua orang baik kawan maupun lawan. Untuk itulah Rantisi merasa sangat tidak pantas untuk memimpin Hamas, namun dengan tawadhu merasa ini sebuah amanah, sehingga beliau menerima dengan kesabarannya.
Pertama kali yang difikirkan oleh Rantisi adalah bagaimana membangun kembali Hamas akibat kehilangan Shaikh Yasin, karena sangat berat kehilangan seorang pemimpin seperti Shaikh Yasin. Kemudian di sisi lain Rantisi harus mengkoordinasikan pula pasukan Brigade Izzudin Al-Qassam yang sedang mempersiapkan pembalasan kepada zionist Israel akibat tindakan biadab mereka membunuh Sheikh Ahmad Yasin. Sungguh sebuah beban yang sangat berat yang harus dia pikul seketika. Karena ketawadhuaanya Abdul Aziz Rantisi merasa dirinya sangat sulit menggantikan posisi Shaikh Yasin.
Namun dengan mohon pertolongan ALLAH, beliau melakukan segala persiapan, melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak di internal Hamas sehingga membangkitkan dan menggelorakan kembali semangat untuk berjihad, serta tidak larut dalam kesedihan akibat meninggalnya Shaikh Ahmad Yasin. Hal inilah yang membuat Rantisi dipandang sangat berbahaya oleh zionist Israel sehingga mereka dengan segala upayanya berusaha membunuh Rantisi.
Masih menurut Abu Muhammad, Rantisi merupakan penyayang anak, sebagai dokter anak, beliau sering sekali menolong dan mengobati anak-anak yang membutuhkan tanpa memungut bayaran. Selain itu beliau juga memiliki sifat “qanaah”. Sebagai seorang dokter anak dan petinggi Hamas dan juga dosen pengajar di Universitas Islam Gaza, tentu penghasilan yang beliau dapat sangat besar. Terlebih lagi dari praktek-praktek yang beliau lakukan, namun beliau tidak mau bermegah-megahan dan memiliki prinsip hidup adalah sebuah perjuangan, dan dalam sebuah perjuangan kita harus mengerahkan segenap potensi dalam diri kita, termasuk harta dan jiwa. Untuk itulah hingga akhir hayatnya beliau tidak memiliki rumah, beliau bersama keluarga nya tinggal di sebuah rumah sewaan di Sheikh Ridwan, antara Gaza dan Jabaliya.
Ada dua sifat yang sangat menjiwai setiap langkah Abdul Aziz Rantisi dalam mengambil tindakan, diantaranya adalah, beliau sangat tegas terhadap Haq, tidak ada kompromi, tidak segan-segan menegur seseorang jika seseorang tersbut berbuat kesalahan. namun disisi lain sebagai manusia biasa beliau sangat penyayang dan lemah lembut. Dua sifat inilah yang menyatu dalam jiwa Rantisi, sehingga beliau sangat disegani oleh setiap orang yang berhadapan dengannya.
Satu hal lagi yang sangat penting dikemukakan Abu Muhammad adalah, bahwa Shaikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Ar-Rantisi adalah penentang keras masuknya Hamas ke dunia perpolitikan. Kerena ketika masuk kedunia tersebut maka sama saja kita berada dibawah cengekeraman musuh musuh ALLAH. Yang mereka berdua fikirkan hanyalah Jihad fie Sabilillah mengusir penjajah zionist Israel dan mengembalikan Masjid Al-Aqsha serta palestina ke pangkuan muslimin.
Namun setelah meninggalnya dua mujahid tersebut, Hamas mengambil keputusan untuk masuk ke dunia politik dengan ikut serta dalam pemilu Palestina tahun 2006 yang dimenangkan Hamas secara mutlak dengan perolehan suara sebanyak 60 %. Menurut Abu Muhammad, keputusan ini sebenarnya sebuah keputusan yang sangat sulit. Di satu sisi mereka tidak menginginkan masuk ke dunia perpolitikan, namun di sisi lain jika mereka tidak mengambil alih kekuasaan, maka kekuasaan akan di pegang oleh orang-orang yang tidak amanah dan dhzalim.
Begitulah kesan yang didapat oleh Abu Muhammad selama kurang lebih lima tahun menjadi binaan langsung Abdul Aziz Ar-Rantisi. Abu Muhammad yang dainggap oleh Ar-Rantisi seperti anaknya sendiri tersebut merasa sangat kehilangan beliau karena hingga kini menurutnya, sangat jarang ada orang yang seperti Abdul Aziz Ar-Rantisi. (K01/P2)