Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“SINGA” SURABAYA ITU TETAP SEORANG IBU

Rudi Hendrik - Rabu, 31 Desember 2014 - 19:09 WIB

Rabu, 31 Desember 2014 - 19:09 WIB

2192 Views

Walikota Surabaya Tri Rismaharini. (Foto: JIBI Photo)
Walikota <a href=

Surabaya Tri Rismaharini. (Foto: JIBI Photo)" width="300" height="200" /> Walikota Surabaya Tri Rismaharini. (Foto: JIBI Photo)

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Siapa yang tidak kenal dengan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini? Pada 11 Mei 2014, kemarahannya yang tinggi menggemparkan masyarakat Indonesia. Karena hal itu, sampai-sampai televisi nasional memberitakan dan menayangkan detik-detik kemarahannya yang meluap-luap secara berulang-ulang.

Kemarahan itu dipicu oleh rusaknya Taman Bungkul Surabaya yang pernah mendapat penghargaan PBB, karena terinjak-injak oleh ratusan warga yang ingin mendapatkan es krim gratis dari Wall’s Ice Cream sejak pukul enam pagi.

Dengan penuh amarah, Risma mendatangi stand panitia sambil memarahi mereka, karena telah merusak taman yang dia bangun dengan dana miliaran rupiah dan juga waktu yang tidak sebentar.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

“Kalian tidak punya izin ngadain ini, lihat semuanya rusak! Kami bangun ini nggak sebentar, biayanya juga nggak sedikit. Kalian seenaknya merusak. Saya akan tuntut kalian!” seru Risma sambil meninggalkan panitia Wall’s yang terlihat kaget kala itu.

 

Berani tutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara

Pada Rabu malam, 18 Juni 2014, “Deklarasi Penutupan Lokalisasi Dolly” dibacakan di  Gedung Islamic Center Surabaya.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Risma dengan tegas dan berani, sukses menutup lokalisasi Dolly di daerah Jarak, Surabaya, Jawa Timur, yang dianggap sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Berbagai ancaman dari masyarakat tempat lokalisasi, tak digubrisnya.

Wanita yang biasa disapa “Bu Risma” ini, sadar langkahnya menutup kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu mengundang kontroversi, karena menyangkut hajat hidup banyak orang. Menurutnya, penutupan ini berdasar peraturan daerah yang melarang orang menggunakan bangunan atau tempat untuk berbuat asusila.

Ditengah pro kontra kala itu, Bu Risma tidak gentar. Bahkan ia seperti sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk buat dirinya: dibunuh. Hal ini tampak dari beberapa media yang mengabarkan, ia telah berpamitan kepada keluarganya agar mengikhlaskannya jika dirinya tewas saat menutup lokalisasi Dolly di malam 18 Juni.

“Saya sudah pamit pada keluarga untuk menutup Gang Dolly tanggal 18 besok (daerah pelacuran terbesar di Asia Tenggara) kalau saya mati, ikhlaskan. Bu Risma.”

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

 

Singa itu tetap seorang ibu

Bu Risma datang untuk mendiamkan tangis Umay. (Foto: Farida Hardaningrum)

Bu Risma datang untuk mendiamkan tangis Umay. (Foto: Farida Hardaningrum)

Kegarangan dan keberanian sosok walikota Surabaya yang seperti “singa”, seolah menunjukkan bahwa dia adalah sosok pemimpin yang pemarah tanpa murah senyum. Saya sendiri menyebutnya “Srikandi” di dalam tulisan “Srikandi Risma Akhiri Riwayat Lokalisasi Dolly”.

Penilaian terhadap karakter keras Bu Risma, mungkin akan berubah total ketika mengetahui kisah naturalnya yang satu ini:

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Sebuah akun Facebook bernama Farida Hardaningrum menceritakan sikap mengagetkan Walikota Surabaya Tri Risma di hari dipostingnya cerita itu. Kisah itu diunggah dengan judul “Pelukan Umay untuk Ibu Walikota”.

Hari ini, saya mendapat pengalaman yang sangat mengesankan. Mengikuti acara Penganugerahan Pendamping terbaik bagi para mahasiswa di Surabaya yang telah sukses membina adik-adik asuh untuk kembali bersekolah.

Acara berlangsung meriah. Anak-anak jalanan yang telah berubah menjadi pelajar tampil di panggung. Prestasi mereka beragam. Ada yang juara menyanyi, berprestasi di sekolah, hingga meraih medali perak tingkat nasional untuk balap sepeda. Wali Kota Surabaya, Ibu Tri Risma Harini, yang juga hadir di acara itu, tidak canggung menyebut mereka sebagai “Anak-anak Saya”.

Tapi bukan itu yang membuat saya dan belasan orang mengharu biru. Ketika acara telah berakhir, dan Wali Kota beserta rombongan telah meninggalkan tempat acara, yaitu Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial Kalijudan) yang menampung anak berkebutuhan khusus.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Tiba-tiba dari dalam gedung pertemuan terdengar seorang anak menangis meraung-raung, menyebut ibunya. Cukup lama dia menangis sehingga banyak yang datang padanya, termasuk saya. Ternyata ia adalah seorang anak tuna grahita berusia sekitar 15 tahun. Pada acara pembukaan tadi saya lihat si Umay, nama anak itu, sangat asyik berjoget gembira.

Tangisnya makin menggema sambil terus memanggil-manggil: “Di mana Ibuku… di mana Ibuku?”

Ada apa gerangan? Menurut penjelasan pengurus Pondok, ternyata Umay kehilangan ‘Ibunya’ yang tak lain adalah Wali Kota Surabaya, Tri Risma Harini. Rupanya, saat Bu Risma pulang, dia tengah berada di kamar mandi. Istilah Jawa-nya adalah ‘kelayu’.

Tak seorang pun bisa mendiamkan Umay, sehingga pimpinan Pondok berinisiatif menelpon seseorang. Saya dengar beliau melaporkan bahwa Umay tidak bisa berhenti menangis.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Ternyata yang ditelpon adalah bu Risma! Saya cuma berpikir. Ah, mungkin itu hanya bersifat laporan. Mana mungkin seorang walikota mau kembali hanya untuk menenangkan anak tuna grahita?

Sekitar lima menit kemudian, masuklah sebuah mobil Innova hitam yang tadi membawa Bu Walikota ke dalam halaman Liponsos. Bu Risma pun turun. Orang-orang segera memanggil Umay, dan sejurus kemudian berbaurlah bocah itu ke pelukan “Ibunya”.

Bagaikan sikap seorang Ibu kepada anaknya, Bu Wali Kota mendekap dan bertanya, kenapa tadi Umay tidak ikut mengantar?

Terlihat si Umay begitu manja dan tak mau lepas dari pelukan ‘Ibunya’ itu. Merespon sikap Umay itu, Bu Risma mengatakan: “Ibu harus mencari uang untuk makan kamu, supaya kamu bisa belajar joget dan menyanyi”.

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Akhirnya Umay pun mau melepaskan pelukan disertai senyuman. Sungguh, sebuah kejadian yang sangat jauh dari rekayasa, apalagi pencitraan.

Demikian tulis akun Facebook bernama Farida Hardaningrum.

 

Kasih untuk keluarga korban AirAsia QZ8501

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Walikota <a href=

Surabaya Tri Rismaharini menenangkan keluarga korban pesawat AirAsia QZ8501." width="300" height="199" /> Walikota Surabaya Tri Rismaharini menenangkan keluarga korban pesawat AirAsia QZ8501.

Ketika Anda mengikuti perkembangan pencarian pesawat AirAsia QZ8501 dan korbannya, di sela-sela gambar tayangan televisi ketika menayangkan suasana keluarga korban di Crisis Centre AirAsia Terminal II Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Anda kemungkinan besar akan melihat satu wajah yang sangat terkenal, sibuk di antara para keluarga korban, yaitu Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.

Risma terekam sibuk berulang kali menenangkan dan memotivasi keluarga korban yang shock dan larut dalam kesedihan, bahkan ikut menggotong langsung keluarga yang pingsan ketika salah satu televisi swasta menayangkan secara vulgar korban pesawat yang ditemukan terapung di laut.

Risma selama empat hari (sejak tulisan ini dibuat) all out mendata warga Surabaya yang menjadi penumpang Pesawat AirAsia. Selama empat hari, Wali Kota Surabaya ini pagi hingga malam juga membantu menenangkan keluarga yang shock, termasuk setelah serpihan pesawat dan beberapa jenazah ditemukan.

“Saya tiga hari tidak ngantor, pindah ke sini (Juanda). Saya harus bertanggungjawab karena 50 persen lebih penumpangnya wargaku,” kata Risma, Selasa (30/12/2014) malam.

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

Bahkan Risma menginstruksikan penjagaan 24 jam rumah keluarga korban, khawatir rumah yang ditinggalkan jadi sasaran pencurian atau perampokan.

Beberapa saat setelah Basarnas mengumumkan penemuan jenazah dan serpihan, Risma pun tetap jaga di Posko Pemkot Surabaya.

Dia komitmen untuk membantu mempermudah persyaratan keluarga 81 warganya untuk persyaratan identifikasi tim forensik dan DVI Polda Jatim.

“Saya bantu menyiapkan data sidik jari, kopian KTP dan administrasi yang ada di dinas kependudukan,” terang Risma.

Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud

“Banyak keluarga yang ngajak foto bareng, keluarga itu bukan dari Surabaya saja. Saya senang bisa menyenangkan mereka. Bahkan ada yang bilang ke aku ‘Bu kami bisa senang dan tersenyum setelah foto bareng Ibu’,” ungkap Risma.

Tingginya kepedulian Bu Risma terhadap warganya, bahkan mendapat protes dari keluarga korban non-Surabaya. Mereka cemburu, mengapa hanya warga Surabaya yang diperhatikan walikotanya. Protes itu diterima Risma sendiri, Senin (29/12/2014) sore.

“Saya paham kondisi mereka. Makanya, saya tidak banyak bicara, takut salah,” kata Risma di Crisis Centre Terminal II Bandara Juanda.

Risma lantas menjelaskan, dia memang mengutamakan warga Surabaya untuk diakomodasi segala keperluannya, karena dia merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai walikota. (T/P001/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Disari dari berbagai sumber.

 

Rekomendasi untuk Anda