Jakarta, MINA – Solidarity Indonesian for Refugee (SIR) meminta Pemerintah RI bersikap tegas terhadap Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
Permintaan ini menyusul desakan UNHCR kepada Pemerintah RI agar mengizinkan kapal yang mengangkut puluhan pengungsi Rohingya berlabuh di pelabuhan di Biereun, Aceh.
“Pengungsi yang berpuluh-puluh tahun di Indonesia masih tidak jelas statusnya di Indonesia, sekarang ditimbun pengungsi lain lagi. Pemerintah Indonesia tegas kepada UNHCR yang lamban mengatasi masalah pengungsi,” kata Direktur Eksekutif Komunikasi Hubungan Antar Lembaga SIR, Maryam dalam keterangannya kepada media, Rabu (29/12).
Maryam menegaskan, Indonesia bukan negara yang maratifikasi konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi dan pencari suaka, sehingga tidak ada kewajiban mengurus migrasi mereka.
Baca Juga: Ketua MPR RI Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi
Meski demikian kata dia, sebagai bentuk solidaritas kemanusian, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri.
“Artinya Pemerintah Indonesia sudah tahu hak dan kewajiban terhadap para pengungsi dan wajib diawasi serta ditinjau kembali oleh Pemerintah Indonesia terhadap UNHCR,” ujarnya.
Menurut Maryam, kini saatnya UNHCR serius mengatasi persoalan pengungsi, baik pengungsi yang baru datang di negara transit, maupun pengungsi yang sudah lama tinggal di Indonesia.
Untuk itu, ia menyarankan UNHCR harus melakukan komunikasi dengan negara penerima suaka dan negara transit.
Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi
“Setelah Pemerintah Indonesia menerima pengungsi kembali UNHCR lepas tangan? Perlu ada komunikasi jika ingin mendapatkan soluisi persoalan ini,” katanya.
Maryam berharap, pemerintah dan DPR segera memanggil UNHCR di seluruh Indonesia untuk meminta komitmen dan keseriusannya menangani para pengungsi di Indonesia.
“Jangan sampai kelambanan UNHCR mengurusi para pengungsi dan pencari suaka menjadi beban negara Indonesia,” katanya.
Maryam mengatakan, sudah belasan tahun 18 ribu pengungsi dari berbagai negara transit di Indonesia dan UNHCR tidak dapat menyelesaikan persoalan para pengungsi. Atas kejadian ini membuat mereka depresi melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketertiban umum di negara tempat mereka transit.
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
“Aksi mereka demonstrasi seperti jahit mulut, bakar diri, dan mendirikan tenda-tenda di badan jalan yang sebagai bentuk protes kepada UNHCR mengganggu ketertiban umum di Indonesia. Coba deh dari hati ke hati bertemu salah satu pengungsi. Mereka kewalahan menunggu nasib di Indonesia” katanya.
Maryam menegaskan, Indonesia bukan menjadi negara yang meratifikasi konvensi 1951, sehingga tidak serta merta Indonesia terbebani dengan persoalan para pengungsi. “Artinya prinsip non-refoulement tidak berlaku bagi Indonesia,” katanya.
Seperti diketahui, ada 72 pengungsi di kapal pengangkut dan berada 112 kilometer dari bibir pantai Perairan Bireuen, Aceh. Kapal ini pertama kali terlihat pada Minggu (26/12) dan terombang-ambing di laut terbuka. (R/R6/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Meriahkan BSP, LDF Al-Kautsar Unimal Gelar Diskusi Global Leadership