Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Skandal Spionase Israel atas ICC Ancam Masa Depan Keadilan Global

Rana Setiawan Editor : Arif R - 21 detik yang lalu

21 detik yang lalu

0 Views

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terlihat saat orang-orang membawa bendera dan spanduk Palestina berkumpul di depan ICC, serukan penyelidikan atas serangan di Gaza, di Den Haag, Belanda (Foto: Anadolu)

DEN HAAG tengah disadap. Bukan oleh negara asing musuh dalam perang konvensional, tetapi oleh sebuah entitas yang memproklamirkan secara sepihak sebagai “negara Yahudi”, yang selama ini menolak tunduk pada Mahkamah Pidana Internasional (ICC), bahkan saat institusi itu sedang menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukannya. Entitas itu adalah Zionis Israel.

Sebuah laporan investigatif kolaboratif antara +972 Magazine, Local Call, dan The Guardian, yang kemudian memenangkan penghargaan “Investigasi Tahun Ini” dari Press Awards Inggris, mengungkap operasi rahasia Israel selama hampir satu dekade untuk melemahkan penyelidikan ICC atas kejahatan perang di Palestina.

Operasi spionase tersebut melibatkan pengintaian terhadap jaksa ICC, intimidasi pribadi, manipulasi hukum internasional, dan pengumpulan informasi kompromi. Target utamanya: menggagalkan kemungkinan pertanggungjawaban hukum atas kekerasan sistemik terhadap rakyat Palestina.

Dalam dunia yang sedang mencari keadilan untuk Gaza dan mendesak tanggung jawab atas pelanggaran hukum humaniter internasional, skandal itu adalah peringatan keras, bahkan lembaga peradilan tertinggi pun tidak kebal dari sabotase negara atau entitas.

Baca Juga: Jejak Pertama di Tanah Suci: Haru, Lelah, dan Syukur yang Membuncah

Saat yang Kritis dalam Sejarah Peradilan Internasional

Bocoran informasi yang diperoleh +972 Magazine dan mitra medianya menunjukkan bahwa sejak 2015, Israel mengerahkan Mossad dan Shin Bet untuk mengawasi dan mengintervensi pekerjaan ICC. Ini bukan asumsi. Ini didasarkan pada dokumen, wawancara dengan sumber internal, dan rekonstruksi kronologi kejadian yang menyita perhatian komunitas hukum internasional.

Dua nama jaksa ICC paling disorot dalam laporan tersebut adalah Fatou Bensouda dan penggantinya, Karim Khan. Mereka bukan hanya dipantau secara sistematis, tapi juga menjadi sasaran tekanan langsung.

Yossi Cohen, kepala Mossad saat itu, bahkan disebut mencoba “merekrut” Bensouda melalui pertemuan pribadi, menggunakan informasi pribadi dan pendekatan intimidatif. Bensouda dilaporkan merasa takut terhadap keselamatannya sendiri.

Baca Juga: Setelah Bill Gates Bicara Vaksin, Jakarta Mendadak Siaga TBC, Adakah Hubungannya?

Sasarannya jelas: menggagalkan penyelidikan ICC atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Israel di wilayah pendudukan Palestina.

Operasi spionase tersebut tidak hanya tertuju pada pejabat ICC. Organisasi HAM Palestina, termasuk Al-Haq dan Addameer, juga menjadi target pemantauan sistematis. Dokumen yang mereka ajukan ke ICC pun turut dipantau dan diintervensi.

Informasi yang dikumpulkan dari upaya spionase itu digunakan Israel dalam kampanye diplomatik rahasia di Den Haag.

Dengan bantuan tim pengacara dan diplomat, mereka menyampaikan narasi bahwa sistem hukum Israel mampu menyelidiki pelanggaran yang terjadi secara internal, klaim yang berkali-kali dibantah oleh komunitas HAM internasional sebagai bentuk whitewashing impunitas.

Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani

Ini adalah bentuk sabotase yang canggih namun nyata. Dalam terminologi hukum, tindakan itu dapat diklasifikasikan sebagai upaya menghalangi keadilan (obstruction of justice), yang termasuk sebagai pelanggaran pidana dalam banyak yurisdiksi hukum internasional.

Laporan Tiba di Saat yang Tepat

Laporan investigatif itu muncul tepat ketika Jaksa ICC Karim Khan secara terbuka mengumumkan permintaan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Mereka diduga bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza, termasuk penggunaan kekuatan mematikan yang melanggar prinsip proporsionalitas, serta blokade kemanusiaan yang melanggar Konvensi Jenewa.

Dalam narasi yang disebarluaskan oleh otoritas Israel dan sekutunya, tuduhan ini dianggap bias. Namun dengan laporan tersebut, publik internasional kini memiliki gambaran mengerikan tentang bagaimana Israel tidak hanya berusaha membantah tuduhan itu, tapi juga secara aktif merusak proses hukum yang berupaya membawanya ke meja pengadilan.

Baca Juga: Zionisme: Wajah Kezaliman yang Membungkam Nurani Dunia

Pada Rabu (22/5/2025), Kantor Kejaksaan ICC secara tegas menolak permintaan Israel untuk mencabut surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.

Dalam dokumen setebal sepuluh halaman, Jaksa Karim Khan menegaskan bahwa permintaan Israel tidak memiliki dasar hukum dan tidak seharusnya menghambat jalannya penyelidikan atas dugaan kejahatan perang di Gaza.

Ini bukan sekadar pertarungan dokumen hukum di ruang pengadilan internasional. Ini adalah ujian terhadap keberanian komunitas hukum dunia dalam menegakkan prinsip akuntabilitas atas kejahatan yang tak terperi, yang menurut ICC, dilakukan dalam rentang waktu antara 8 Oktober 2023 hingga 20 Mei 2024.

Permintaan Israel agar ICC menangguhkan penyelidikan dan mencabut surat perintah penangkapan dilayangkan awal bulan ini. Mereka mendalilkan bahwa pengadilan seharusnya menunggu hasil putusan atas tantangan yurisdiksi yang diajukan oleh Israel.

Baca Juga: Al-Jama’ah: Wadah Iman, Ladang Amal, dan Kunci Kejayaan Islam

Namun jaksa Khan menolak mentah-mentah logika itu. Dalam tanggapannya, ia menulis bahwa tantangan yurisdiksi yang diajukan Israel sudah pernah ditolak pada November 2024, dan meskipun dibuka kembali oleh Kamar Banding pada April 2025 karena alasan teknis, hal itu “tidak berdampak” pada validitas surat perintah penangkapan.

Yang menjadi sorotan adalah penegasan ICC bahwa telah ada “alasan kuat dan masuk akal untuk meyakini” bahwa Netanyahu dan Gallant memikul tanggung jawab pribadi atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Ini termasuk serangan tidak proporsional terhadap warga sipil di Gaza, penggunaan kelaparan sebagai senjata perang, dan pelanggaran serius atas Konvensi Jenewa.

Reaksi Internasional: Masih Terlalu Lembek?

Belanda, tuan rumah ICC, langsung memanggil duta besar Israel untuk memberikan penjelasan. Namun reaksi dari negara-negara besar lainnya masih senyap. Di sisi lain, masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia menyerukan penyelidikan menyeluruh atas gangguan terhadap lembaga hukum internasional itu.

Baca Juga: Bersama dalam Ketaatan: Urgensi Hidup Berjama’ah bagi Seorang Muslim

Maka tidak mengherankan jika Israel, yang bukan merupakan pihak dalam Statuta Roma, berusaha menggugurkan langkah-langkah ICC. Namun ironisnya, upaya mereka lebih menyerupai tekanan politik ketimbang argumentasi hukum yang sah. Apalagi, dukungan politis untuk Israel datang dari sekutu utamanya: Amerika Serikat.

Pada Februari 2025, Presiden AS Donald Trump kembali menjadi sorotan ketika menjatuhkan sanksi terhadap ICC. Dalam pernyataannya, ia menyebut ICC sebagai “lembaga ilegal dan penuh bias yang menyerang Amerika dan sekutunya.” Sanksi itu mencakup pembekuan aset, pembatasan visa, dan pelarangan interaksi resmi antara pejabat AS dan ICC, langkah yang mengingatkan dunia pada kebijakan intimidatif era Trump sebelumnya terhadap pengadilan internasional.

Israel bukan satu-satunya negara yang menolak yurisdiksi ICC. Amerika Serikat juga tidak menjadi anggota Statuta Roma dan telah menggunakan pendekatan serupa untuk mendelegitimasi ICC saat menyelidiki tindakannya di Irak dan Afghanistan. Ini menunjukkan sebuah pola yang mengkhawatirkan: negara-negara kuat merasa mereka berada di atas hukum.

Namun terlepas dari tekanan dan retorika keras, jalur hukum tetap berjalan. Kejaksaan ICC menolak untuk tunduk. Dalam kesimpulan tanggapannya, jaksa Khan meminta para hakim untuk “menolak permintaan Israel untuk mencabut atau membatalkan surat perintah penangkapan, serta menolak permintaan penangguhan penyelidikan atas situasi di Palestina.”

Baca Juga: Museum Al-Qur’an Al-Akbar Palembang: Wisata Religi Ikonik di Sumatera Selatan

Ini adalah pernyataan yang kuat dan jelas: hukum tidak boleh tunduk pada diplomasi koersif. Terlebih, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak boleh dibungkam oleh kekuasaan negara.

Penting untuk dicatat bahwa ICC bukanlah lembaga politis, melainkan instrumen hukum internasional yang mengabdi pada prinsip keadilan universal.

Dalam sejarahnya, ICC telah menghadapi berbagai tekanan, namun terus bergerak maju demi korban-korban kekerasan sistemik yang selama ini tidak memiliki jalan keadilan. Palestina, yang sejak 2015 resmi menjadi negara pihak dalam Statuta Roma, berhak mendapat perlindungan hukum yang sama seperti bangsa lain.

Dengan munculnya bukti-bukti baru, termasuk laporan investigatif yang mengungkap sabotase Israel terhadap proses ICC, upaya menunda penyelidikan ini terlihat sebagai strategi mengulur waktu. Namun waktu bukanlah sekutu keadilan, hanya ketegasan hukum yang mampu membawa perubahan.

Baca Juga: Menetapi Al-Jama’ah: Pilar Keimanan dan Penjaga Kesatuan Umat Islam

Jurnalisme: Satu-Satunya Pelindung Kebenaran

Penting untuk menyoroti peran krusial jurnalisme investigatif dalam membongkar operasi tersebut. Tim jurnalis dari +972 Magazine, Local Call, dan The Guardian tidak hanya menunjukkan keberanian luar biasa, tetapi juga dedikasi pada akurasi dan integritas.

Artikel investigasi mendalam berjudul “Surveillance and interference: Israel’s covert war on the ICC exposed” yang dirilis di laman resmi +972 Magazine itu melibatkan tim jurnalis investigasi terdiri dari Meron Rapoport, Yuval Abraham, Harry Davies, dan Bethan McKernan. Mereka bekerja selama berbulan-bulan untuk mengumpulkan dan menyusun informasi yang mendalam dan akurat.

Jurnalisme investigatif sangat penting dalam mengungkap fakta-fakta yang mungkin tidak terungkap dan memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan.

Baca Juga: Hidup Bersama Al-Jama’ah: Kewajiban, Hikmah, dan Jalan Menuju Keutuhan Umat

Ketika banyak media arus utama menghindari isu-isu yang menyudutkan Israel, laporan tersebut muncul sebagai suara perlawanan atas narasi dominan. Penghargaan yang mereka terima bukan sekadar apresiasi atas kualitas kerja mereka, melainkan simbol bahwa kebenaran masih memiliki tempat di dunia yang penuh disinformasi dan manipulasi politik.

Masa Depan Keadilan Internasional di Ujung Tanduk

Jika dunia membiarkan operasi seperti ini berlalu tanpa konsekuensi, kita sedang membuka pintu bagi kehancuran seluruh arsitektur hukum internasional. ICC mungkin bukan lembaga yang sempurna. Namun jika aparatnya dapat diawasi, diintimidasi, bahkan dimanipulasi oleh negara yang mereka selidiki, maka korban-korban perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan akan kehilangan satu-satunya harapan mereka: keadilan.

Skandal spionase ini adalah momen pengujian. Dunia harus memutuskan, apakah hukum akan terus menjadi alat perlindungan bagi yang lemah, atau justru menjadi mainan bagi negara-negara yang kuat.

Baca Juga: Ziarah ke Masjid Al-Aqsa, Kunjungan Spiritual dan Persaudaraan

Israel telah melangkahi batas. Dengan mengintai, menekan, dan berupaya membungkam lembaga peradilan internasional, ia telah menunjukkan sikap terang-terangan terhadap prinsip keadilan universal.

Dunia internasional, khususnya Global South yang selama ini menjadi korban sistem internasional yang timpang, harus bersatu mendesak akuntabilitas.

Jika komunitas internasional gagal menindak skandal tersebut, maka bukan hanya rakyat Palestina yang kehilangan keadilan. Kita semua akan menjadi korban sistem global yang membiarkan kebenaran dikalahkan oleh kekuasaan dan ketakutan.[]

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda