Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنَجَّيْنٰهُ وَلُوْطًا اِلَى الْاَرْضِ الَّتِيْ بٰرَكْناَ فِيْهَا لِلْعٰلَمِيْنَ ٧١ (الانبيآء [٢١]: ٧١)
Baca Juga: Keluarga Sakinah, Tenang Bersama di Tengah Cobaan
“Dan Kami seIamatkan dia (Ibrahim) dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (QS Al-Anbiya [21]: 71)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, kalimat الْاَرْضِ الَّتِيْ بٰرَكْناَ فِيْهَا لِلْعٰلَمِيْنَ merujuk pada Bumi Syam, wilayah yang meliputi Palestina dan sekitarnya. Daerah tersebut dikenal dengan tanahnya yang subur dan menjadi tempat tinggal para nabi dan rasul.
Sementara Sayyid Qutb dalam kitabnya Fi Zilal al-Qur’an menafsirkan berkah pada tanah itu bukan sekadar kesuburan dan keindahan alam, tetapi juga berkah nilai dan risalah. Wilayah itu diberkahi karena menjadi pusat pancaran wahyu dan cahaya iman bagi seluruh umat manusia.
Ulama Nusantara Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa berkah tersebut bersifat berkelanjutan, mencakup aspek spiritual dan material. Beliau menyebut, tanah yang diberkahi dalam ayat di atas, yakni Palestina dan sekitarnya.
Baca Juga: Antara Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata di Gaza
Kata “لِلْعَالَمِينَ” pada ayat di atas menunjukkan bahwa manfaat dari tanah yang diberkahi itu bersifat universal, melampaui batas suku, bangsa, dan zaman. Berkah yang Allah Ta’ala curahkan tidak hanya diperuntukkan bagi satu kaum atau generasi tertentu, melainkan bagi seluruh umat manusia sepanjang zaman.
Para ahli sejarah sepakat bahwa berdasarkan bukti-bukti arkeologis, sebelum Nabi Ibrahim Alaihi Salam datang ke Palestina, wilayah itu sudah dihuni oleh Bangsa Kan’an yang merupakan nenek moyang dari Bangsa Palestina sekarang.
Namun demikian, setelah Nabi Ibrahim Alaihi Salam tinggal di sana, status tanah yang diberkahi itu (Palestina) tidak menjadi milik satu kelompok tertentu, tetapi menjadi anugerah Allah Ta’ala bagi seluruh alam, agar menjadi tempat tumbuhnya kehidupan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tanah yang diberkahi sebagai rahmat dan amanah, sehingga manusia di mana pun berada memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memanfaatkan sumber daya alam di sana, untuk kebaikan seluruh umat manusia.
Baca Juga: Perdamaian di Gaza, Antara Asa dan Realita
Pesan universal dalam ayat di atas juga menegaskan bahwa keberkahan atas wilayah itu juga terkait dengan tanggung jawab dalam menjaga dan melindunginya dari segala tindakan nista, kedzaliman dan penindasan dari sekelompok manusia terhadap manusia lainnya.
Potret Kemajuan Budaya Bangsa Kan’an
Bangsa Kan’an merupakan penduduk asli wilayah Palestina yang telah mendiami tanah itu sejak ribuan tahun sebelum kedatangan Nabi Ibrahim Alaihi Salam. Mereka dikenal sebagai salah satu bangsa tertua di kawasan Levant (mencakup Palestina, Lebanon, Suriah, dan sebagian Yordania.)
Dalam berbagai temuan arkeologis dan catatan sejarah kuno, bangsa Kan’an telah membentuk masyarakat yang teratur dan beradab sejak milenium ketiga sebelum Masehi. Salah satu bukti paling kuat tentang kemajuan bangsa Kan’an terlihat di kota Yerikho (Jericho), yang oleh para arkeolog disebut sebagai salah satu kota tertua di dunia.
Baca Juga: Ketika Sumud Flotilla Tak Sampai Gaza
Berdasarkan penelitian arkeolog Inggris, Kathleen Kenyon (1950-an), lapisan-lapisan tanah di situs Jericho menunjukkan bahwa kota ini telah dihuni sejak sekitar 9000 tahun sebelum Masehi, dan menjadi pusat permukiman permanen dengan tembok pertahanan, menara batu, serta sistem pertanian yang maju.
Selain itu, kemajuan bangsa Kan’an tampak dalam sektor pertanian dan perdagangan. Mereka memanfaatkan kesuburan Lembah Yordan untuk menanam gandum, jelai, zaitun, dan anggur, serta memelihara ternak dalam skala besar.
Letak wilayah Palestina yang strategis di jalur antara Mesopotamia dan Mesir menjadikan bangsa Kan’an bagian penting dari jaringan perdagangan internasional kuno. Barang-barang seperti tembikar, logam, rempah, dan tekstil dari Mesir dan Babel sering ditemukan di situs-situs pemukiman Kan’an, menunjukkan adanya pertukaran ekonomi dan budaya lintas bangsa.
Dalam bidang tata kota, bangsa Kan’an telah mengembangkan sistem urbanisasi yang terencana. Kota-kota seperti Hazor, Megiddo, dan Lachish memiliki benteng, gerbang kota, kuil, dan sistem drainase yang menunjukkan kemajuan teknik sipil.
Baca Juga: Mewaspadai Parasit Bani Israil dalam Tubuh Kaum Muslimin
Menurut arkeolog Amihai Mazar, struktur perkotaan Kan’an menunjukkan adanya otoritas politik dan administrasi yang kompleks, yang mampu mengorganisir tenaga kerja dalam skala besar. Hal itu menandakan bahwa bangsa Kan’an telah memiliki pemerintahan lokal yang berfungsi efektif jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan besar di kawasan itu.
Bahasa dan budaya Kan’an juga berpengaruh besar dalam sejarah dunia kuno. Bahasa Kan’an menjadi dasar bagi bahasa Fenisia dan Ibrani, yang kemudian berkembang menjadi bagian penting dari rumpun bahasa Semit Barat.
Catatan di surat-surat Amarna dari Mesir (sekitar abad ke-14 SM) menyebut nama-nama penguasa Kan’an dan aktivitas diplomatik mereka dengan Fir’aun Mesir, menunjukkan bahwa bangsa ini bukan bangsa terisolasi, tetapi memiliki hubungan politik dan budaya dengan kekuatan besar dunia kuno.
Para sejarawan seperti William F. Albright dan John Bright menyimpulkan bahwa bangsa Kan’an memiliki peradaban tinggi yang menjadi “penghubung antara Timur dan Barat kuno,” karena mereka berhasil memadukan unsur budaya Mesir, Mesopotamia, dan lokal Palestina dalam satu identitas khas.
Baca Juga: Global Sumud Flotilla, Napak Tilas Perjuangan Sahabat Bebaskan Masjidil Aqsa
Temuan-temuan di situs arkeologi seperti Beit She’an dan Gezer memperkuat pandangan ini, dengan ditemukannya artefak logam, prasasti, serta sisa-sisa arsitektur monumental yang mencerminkan kehidupan masyarakat maju dan inklusif.
Dengan demikian, bangsa Kan’an bukan sekadar nama dalam teks-teks kuno, tetapi potret nyata sebuah peradaban pribumi yang telah menorehkan jejak panjang di tanah yang diberkahi itu.
Kedatangan Zionis dan Deklarasi Balfour
Sebagaimana ditegaskan oleh sejarawan Palestina terkemuka, Prof. Rashid Khalidi dalam bukunya The Hundred Years’ War on Palestine, “Konflik ini bukan antara dua bangsa yang memiliki hak sama atas tanah, tetapi antara penjajah yang datang dari luar dengan penduduk asli yang telah menghuni tanah itu selama ribuan tahun.”
Baca Juga: Nabi Musa Pembebas Bani Israil, Menuju Tanah yang Disucikan
Gerakan Zionisme baru muncul pada akhir abad ke-19 sebagai proyek kolonial modern yang bertujuan mendirikan “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina.
Pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour mengeluarkan pernyataan terkenal yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Pernyataan itu menyatakan dukungan Inggris terhadap pendirian tanah air bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina, meskipun saat itu tanah tersebut sudah dihuni oleh masyarakat Arab Palestina.
Deklarasi Balfour menjadi titik awal penjajahan baru atas tanah Palestina. Di bawah mandat Inggris, ribuan imigran Yahudi Eropa didorong untuk datang dan merebut tanah rakyat Palestina. Puncaknya, pada tahun 1948, Zionis Israel secara sepihak memproklamasikan negara Israel dan mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina dari rumah-rumah mereka dalam peristiwa Nakbah (malapetaka besar).
Dengan demikian, jelas bahwa keberadaan Zionis di tanah Palestina bukanlah kelanjutan sejarah, tetapi hasil dari proyek kolonial modern yang didukung kekuatan Barat.
Baca Juga: 5 Keutamaan Membaca Shalawat Atas Nabi
Klaim bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan kepada bangsa Yahudi hanyalah narasi teologis yang diselewengkan untuk kepentingan politik semata. Tidak ada bukti historis atau moral yang membenarkan pengusiran dan pembunuhan atas bangsa lain atas nama janji Tuhan.
Salah satu arsitek utama diplomasi Yahudi internasional, Dr. Nahum Goldmann (1895–1982) mengatakan, bahwa Yahudi memilih Palestina bukan karena memenuhi ajaran Taurat, bukan pula karena kandungan mineral dan nonmineral di Laut Mati yang mencapai miliran dolar, bukan pula karena cadangan minyak di Palstina yang setara dengan 20 kali lipat cadangan AS.
Alasan utama Yahudi ingin menguasai wilayah Palestina adalah kerena wilayah itu terletak di pertemuan jalur Eropa, Asia dan Afrika. Palestina berada di pusat utama kekuatan dunia dan Palestina merupakan makras militer strategis untuk menguasai dunia.
Edward Said, seorang cendekiawan Kristen Palestina terkemuka menyebut “solusi dua negara” sebagai ilusi politik yang menipu, karena selama struktur kolonialisme Zionis Israel masih berdiri, tidak akan ada keadilan bagi rakyat Palestina.
Baca Juga: Kesombongan yang Menyamar Jadi Kebaikan
Said menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya mungkin bila sistem apartheid dan pendudukan dihapuskan. Dalam konteks Islam, perdamaian tanpa keadilan bukanlah perdamaian sejati, melainkan hanya akan mentolelir adanya penjajahan dan kezaliman yang berkelanjutan.
Selain itu, banyak tokoh dan akademisi internasional juga menolak klaim Zionis atas wilayah Palestina. Salah satunya adalah Profesor Richard A. Falk, mantan Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina. Ia menegaskan bahwa pendudukan Israel adalah bentuk kolonialisme pemukim modern yang bertentangan dengan hukum internasional.
Solusi Dua Negara Bukan Jalan Keadilan
Dalam berbagai forum internasional, banyak pihak menawarkan solusi dua negara, yaitu mendirikan negara Israel dan negara Palestina yang hidup berdampingan secara damai. Namun, solusi ini tidak menjawab akar persoalan yang sesungguhnya.
Baca Juga: Menempatkan Seseorang Sesuai Bidangnya
Solusi dua negara berarti melegitimasi pendudukan yang sudah terjadi. Hal itu sama saja dengan mengakui hasil kolonialisme sebagai sesuatu yang sah, sementara bangsa Palestina yang diusir hanya diberi sebagian kecil dari tanah mereka sendiri.
Solusi dua negara tidak akan mungkin menghadirkan perdamaian sejati, karena perdamaian tidak bisa dibangun di atas legitimasi kedzaliman dan penjajahan. Tidak akan ada perdamaian sejati selama kezaliman masih dibiarkan. Maka, solusi yang benar adalah mengembalikan hak kepada pemiliknya yang sah, yaitu bangsa Palestina.
Palestina bukan sekadar persoalan politik dan batas wilayah. Ia adalah persoalan keadilan, kemanusiaan, dan bagi umat manusia merupakan sumber perdamaian, karena dalam teori geopolitik, ada ungkapan yang menyebut “Damai di Palestina, Damai di Dunia (Peace in Palestine, Peace in the World).
Bangsa Palestina berhak hidup di atas tanahnya, sebagaimana bangsa manapun berhak hidup merdeka di negeri mereka sendiri. Keadilan dalam krisis Palestina-Israel saat ini haruslah menolak penjajahan, mengembalikan hak tanah, dan mengakui sejarah yang sesungguhnya.
Negara Palestina tidak boleh hanya menjadi simbol di atas peta atau pemerintahan boneka yang masih dikendalikan pihak-pihak asing. Ia harus memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, sumber dayanya, dan kehidupan rakyatnya.
Semoga kebenaran dan keadilan dapat segera dirasakan rakyat Palestina, menjadikan mereka pewaris sah bumi para nabi, tanah yang diberkahi, dan membawa seluruh umat menuju perdamaian hakiki. Damai di Palestina, damai di dunia. []
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic