Disampaikan dalam program Kuliah Subuh di Masjid Al-Fatah, kompleks Pondok Pesantren Al-Fatah, Bogor.
Krisis Kashmir sudah terjadi selama 72 tahun lamanya hingga saat ini belum menemukan penyelesaian yang paripurna. Ratusan ribu jiwa melayang, puluhan ribu anak menjadi yatim, sementara di sisi lain, para wanita menjadi janda akibat para suaminya yang tak kunjung pulang meski sudah berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya. Mereka semua menjadi korban dari keganasan pasukan rezim sebagai akibat dari kesepakatan yang tak kunjung tiba.
Rupanya, julukan Kashmir yang banyak disebut oleh para penjelajah sebagai “surga dunia” (paradise on earth) tidak cukup membuat rakyatnya hidup aman sentosa. Keindahan alam dan kesuburan tanahnya malah menjadi petaka bagi rakyat Kashmir karena menjadi ajang perebutan wilayah bagi para pejabat yang rakus dunia sehingga krisis berkepanjangan di negeri itu terus terjadi hingga saat ini.
Lantas, sampai kapan krisis Kashmir akan berakhir? Akankah anak-anak tak berdosa terus-menerus merasakan pahitnya hidup, menjadi yatim dan tanpa harapan masa depan? Tidakkah para wanita Kashmir bisa tersenyum menyaksikan suami dan anak laki-lakinya bisa bekerja dan belajar dengan aman dan nyaman? Tanggung jawab siapa itu semua? Akankah para pemimpin dan ulama dunia hanya diam seribu bahasa menyaksikan kepedihan dan penderitaan mereka?
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Sungguh setiap jiwa yang lahir ke muka bumi ini memiliki hak untuk hidup, tanpa penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan, tanpa diskriminasi serta mendapat perlakuan sama di depan hukum. Itu semua dijamin dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah disepakati dunia internasional pada 10 Desember 1948 dalam sebuah risalah Deklarasi Universal. Maka sudah menjadi kewajiban semua ummat\manusia untuk mewujudkan hal itu menjadi nyata, khususnya bagi rakyat Kashmir.
Pada 4-8 Oktober 2019, beberapa ulama Asia Tenggara mengunjungi Kashmir sebagai bagian dari kepedulian mereka terhadap saudara-saudara mereka yang mengalami penderitaan di wilayah itu. Dari Indonesia, Imaam Yakhsyallah Mansur menjadi wakil dari ulama Indonesia yang ikut berkunjung ke sana. Dari hasil kunjungannya, Yakhsyallah menyimpulkan, untuk menyelesaikan krisis Kashmir setidaknya perlu dilakukan tiga hal:
- Pendekatan Kemanusiaan
Fakta bahwa di wilayah Kashmir ada penduduk yang beragama Islam dan Hindu, maka pendekatan humanisme (kemanusiaan) adalah yang paling memungkinkan untuk wilayah itu. Pendekatan kemanusiaan di sini maksudnya adalah bahwa pertolongan harus diberikan kepada siapa saja tanpa memandang suku, agama ras dan golongan. Siapa saja yang membutuhkan, maka merekalah yang harus menjadi prioritas dalam mendapatkan pertolongan dan bantuan.
Siapa pun yang memberikan bantuan, tidak boleh pilih-pilih sesuai dengan seleranya atau sepaham dengan kelompoknya saja, tapi harus secara menyeluruh, adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
- Pendekatan Kesejahteraan
Rakyat Kashmir sudah lama merasakan penderitaan yang tak kunjung reda, maka salah satu kebutuhan medesak mereka adalah mewujudkan kesejahteraan bagi semua penduduknya. Lantas apa saja yang menjadi hal mendasar dalam mewujudkan kesejahteraan? Pertama adalah fasilitas kesehatan. Hal itu mutlak diperlukan oleh masyarakat di sana. Berada dalam zona konflik sudah pasti ada banyak yang terluka, bahkan terbunuh. Maka fasilitas kesehatan itu yang paling utama.
Selain kesehatan, pendidikan juga menjadi hal yang vital bagi masyarakat Kashmir. Para generasi mudanya harus memiliki pendidikan yang cukup sehingga mereka bisa berfikir maju dalam menyelesaikan sebuah krisis, tanpa harus menyedepankan kekerasan, baik fisik, verbal, maupun teror yang bersifat intimidasi.
Pondok pesantren Al-Fatah yang dipimpin oleh Yakhsyallah Mansur saat ini telah mempersiapkan diri untuk bisa mengirim mobil ambulan dan memberikan bantuan beasiswa kepada rakyat Kashmir untuk dapat mengenyam pendidikan, khususnya di Indonesia.
- Pendekatan Politis
Pendekatan politis ini juga menjadi kunci bagi penyelesaian krisis Kashmir. Para cendekiawan Kashmir harus mengangkat pena mereka, menyuarakan aspirasi rakyatnya, mengabarkan kepada dunia tentang apa sebenarnya yang terjadi di wilayahnya, tanpa putus asa.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Suarakan kepada dunia tentang perdamaian sebagai solusi utama menyelesaikan krisis, dan itu bisa didapat jika ada kebebasan bagi masyarakat Kashmir.
Rakyat Kashmir harus diberi kebebasan memilih, menetukan nasibnya sendiri, memilih jalannya sendiri, tanpa ada intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.
Intervensi dan intimidasi hanya akan menimbulkan invasi dan pastinya korbannya adalah rakyat sipil tak berdosa. Mereka akan terus menjadi sasaran keganasan aparat dengan alasan menjada stabilitas keamanan nasional.
Mereka lebih tahu tentang kemana mereka harus bergabung. Kepada siapa mereka akan bermitra, dan siapa di antara pemimpin negeri yang mereka percaya. (A/P2/RI-1)
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Mi’raj News Agency (MINA)