Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Special Envoy dari Seorang Menkes untuk RS Indonesia di Gaza

Ali Farkhan Tsani - Selasa, 29 Agustus 2023 - 08:48 WIB

Selasa, 29 Agustus 2023 - 08:48 WIB

11 Views

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Dr. dr. Siti Fadilah Supari, SpJP(K), adalah Menteri Kesehatan RI periode 2004-2009 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sosok perempuan pemberani, tegas, cinta kepada negaranya dan peduli terhadap kesehatan bangsanya.

Di usianya yang ke-74, perempuan kelahiran Surakarta, 6 November 1949 ini mengisahkan keterpautannya dengan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), sebuah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis.

Berawal dari berita di televisi, serangan pasukan pendudukan ke Jalur Gaza pada Desember 2008. Jalur Gaza dibombardir tiap hari, tidak ada obat, dokter, dan rumah sakit yang memadai.

Baca Juga: Lima Kader Muhammadiyah Perkuat Kabinet Merah Putih

“Kalau diserang, ya sembunyi atau mati. Iran tidak bisa membantu karena embargo,” Dr. Siti Fadilah mengisahkan awal keterpautannya dengan Gaza, dan kemudian nanti keterkaitannya dengan MER-C.

Saat itu, ia menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI. Ia sangat dipercaya oleh Menteri Kesehatan Negara-Negara Islam, terutama karena gagasan beraninya ‘melawan’ ketidakadilan Badan Kesehatan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, WHO (The World Health Organization).

Dr. Siti Fadilah juga sosok Menteri Kesehatan yang sangat dihormati dunia Islam, karena gagasannya bagaimana membuat vaksin sendiri untuk orang-orang Islam.

Dalam sebuah pertemuan Menkes Siti Fadilah dengan Menkes Palestina dan Menkes Iran, diungkapkan bahwa rakyat Palestina di Jalur Gaza ingin mewakafkan tanah kepada Indonesia, untuk pembangunan rumah sakit.

Baca Juga: Di Manakah Jenazah Yahya Al-Sinwar?

“Tetapi siapa yang nanti akan membangun, uangnya dari mana, dan seterusnya. Belum lagi harus Government  to Government (G2G),” ujarnya, ketika bercerita sebagai pembicara kunci dalam Talkshow  dan Launching Buku “Menghimpun Kebesaran Allah” , yang digelar di Hotel Acacia, Jakarta, Ahad, 27 Agustus 2023.

Teringat Dokter Joserizal Jurnalis

Ketika Bu Menkes Siti Fadilah mendengar informasi ada tanah di Jalur Gaza yang mau diwakafkan untuk pembangunan rumah sakit, ia teringat dengan rekan seperjuangannya dalam kemanusiaan, dr. Joserizal Jurnalis.

Dokter Jose, begitu akrab disapa, lahir 11 Mei 1963, wafat 20 Januari 2020, adalah dokter sekaligus aktivis kemanusiaan yang banyak membantu masyarakat korban perang dan bencana.

Baca Juga: Pembunuhan Sinwar “Secara Tidak Sengaja”

Ketika terjadi bencana tsunami Aceh, pada Desember 2004, dr. Siti Fadilah mengenal pertama kali sosok dr. Jose, awal tahun 2005.

“Ada sebuah peristiwa yang menyentuh hati saya, ketika saya mendengar ada seorang dokter yang ‘berantem’ dengan seorang aktivis di lapangan saat menangani korban pasca tsunami,” ujarnya, mengawali perkenalannya dengan almarhum dr. Jose.

Kala itu, dr. Jose menghadang seorang perempuan relawan yang hendak membawa anak-anak kecil, balita, untuk diterbangkan ke luar negeri. Anak-anak Aceh yang kehilangan orang tuanya itu, hendak dibawa orang asing ke luar Indonesia.

Rencana itu dihadang oleh dr. Jose. Dokter Jose marah, dan mencegah anak-anak itu dibawa terbang. Lalu, sampailah insiden itu ke telinga Menkes Siti Fadilah.

Baca Juga: Bullying dan Peran Komite Sekolah

Demi mendengar informasi itu, Bu Menkes kemudian memenangkan dr. Jose, dan menginstruksikan anak-anak balita itu untuk ditangani dr. Jose.

“Jose marah. Dia memilih untuk memeluk anak-anak balita itu, dan untuk memenuhi apa kebutuhannya,” ujarnya.

Bu Menkes terharu dan salut atas alasan dr. Jose, yang menyatakan, “Generasi muda kita, akan dibawa ke mana? Bagaimana, apakah tetap akan menjadi seorang Muslim?”.

“Saya melihat Jose, saya pun memenangkan Jose, anak-anak diselamatkan. Langsung hati saya terpaut. Ini orang benar yang jalan di jalan Allah,” ujar Dr. Siti, penuh haru mengingat pertemuan pertamanya dengan dr. Jose.

Baca Juga: Yahya Sinwar “Tidak Mati”

Maka, begitu dirinya melihat di televisi, Palestina dibombardir lagi tahun 2008. Dirinya pun langsung telepon dr. Jose, penggagas MER-C.

“Bagi saya dokter Jose ya MER-C, MER-C ya dokter Jose. Tidak bisa dipisahkan,” lanjutnya, tentang sosok dokter Jose.

Ia saat itu meminta dokter Jose dan Tim MER-C untuk berangkat ke Jalur Gaza, dengan membawa obat-obatan. Ada stok obat-obatan bencana, lanjutnya.

Sekaligus menyampaikan bahwa ada informasi warga Palestina di Gaza hendak mewakafkan lahannya untuk pembangunan rumah Sakit di sana.

Baca Juga: Selamat Datang Implementasi Wajib Sertifikat Halal

Special Envoy

Doker Jose, waktu itu melalui dr. Sarbini Abdul Murad, kini Ketua Presidium MER-C, datang menghadap Bu Menkes dr. Siti Fadilah, melalui salah satu staf Departemen Kesehatan, Rustam Syarifuddin Pakaya.

Dalam pertemuan dengan Menkes Siti Fadilah, dr. Sarbini meminta sepucuk surat atas nama Menkes untuk dibawa ke Gaza.

Maka, Bu Menkes pun membuat sepucuk surat Special Envoy untuk dr. Sarbini Abdul Murad, surat resmi sebagai utusan pemerintah.

Baca Juga: Zionis Terus Nodai Masjidil Aqsa di Tengah Perang

Surat ini menjadi rangkaian awal pembangunan Rumah Sakit di Gaza, ketika dibawa dr. Sarbini ke Palestina.

“Special envoy (dari Menkes0 untuk dibawa ke Gaza ini satu-satunya di dunia, untuk menyambungkan dengan pihak-pihak terkait di Palestina,” tuturnya.

Menkes Siti Fadilah waktu itu sudah menyeru WHO untuk memikirkan juga Palestina. Sebab menurutnya, waktu itu belum pernah ada bantuan WHO untuk Palestina.

Israel dan Amerika Serikat tidak setuju untuk membantu penanganan medis Palestina. Tapi Menkes Siti Fadilah ‘berani melawan arus’, dengan mendukung upaya medis ke Palestina.

Baca Juga: AS Katanya Penegak HAM, Tapi Mendukung Pelanggar HAM

“PBB bersedia membantu Palestina, tapi bantuan harus atas nama PBB. Saya tidak mau,” ujarnya menambahkan.

Ia merasa berterima kasih bisa berjumpa dengan dr. Jose dengan MER-C-nya. Dia baru kemudian merasakan, setelah Rumah Sakit Indonesia berdiri megah di Jalur Gaza, dengan bendera merah putihnya, bahwa Allah ‘memaksa dirinya’ menjadi Menteri Kesehatan dalam periode 2004-2009.

Masa yang bertepatan dengan bencana tsunami Aceh, serangan pasukan pendudukan Israel, hingga awal informasi wakaf tanah di Jalur Gaza.

Masalah pun terjadi di internal Departemen Kesehatan waktu itu. Awalnya MER-C belum menjadi mitra Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan).

Baca Juga: AS Katanya Penegak HAM, Tapi Mendukung Pelanggar HAM

Sebelum dirinya menjadi menteri, MER-C tidak boleh masuk ke Depkes. “Aneh juga. Padahal tenaga mereka di bidang kemanusiaan medis kita butuhkan,” komentarnya.

Stafnya mengatakan, bahwa selama ini, menteri-menteri kesehatan sebelumnya, mereka tidak memasukkan MER-C sebagai ‘pasukan’ kesehatan.

“Lho siapa yang melarang? Sekarang Menterinya saya, ya saya bolehkan,” jawabnya.

Kini hikmah itu baru terasa, ujar dr. Siti Fadilah, mengenang awal dirinya diangkat menjadi Menteri Kesehatan, sekaligus awal perkenalannya dengan dr. Jose dan MER-C.

Baca Juga: Orang Beriman dalam Perspektif Al-Qur’an

Dirinya diangkat menjadi Menteri Kesehatan oleh SBY. Padahal dirinya bukan aktivis dan bukan orang partai, dan bukan siapa-siapa.

“Saya tidak minta. Saya dipaksa untuk menjadi Menkes. Dipaksa oleh Allah,” ujarnya terharu.

“Ternyata memang, saya mempunyai sesuatu pekerjaan yang harus dikerjakan, terutama dengan MER-C,” kenangnya.

“Saat itu, banyak sekali bencana, dan setiap ada bencana, saya selalu langsung telepon Jose. MER-C pun dengan profesionalitas dan amanahnya, semakin eksis dalam menghadapi penanganan kebencanaan,” imbuhnya.

Hasbunallah Wani’mal Wakil

Setelah dirinya tidak lagi menjabat sebagai Menkes, karena habis masa kerjanya. Siti Fadilah diangkat oleh Presiden SBY sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Saat menjadi anggota Wantimpres, Siti Fadilah tetap berkomunikasi dengan Jose. Termasuk ketika Jose mengusiknya untuk ikut dalam misi kemanusiaan membuka blokade Jalur Gaza, bersama tim pelayaran Mavi Marmara, Turki, Mei tahun 2010.

Namanya pun tercantum dalam rombongan misi kemanusiaan tersebut, bersama ajudan setianya dari MER-C, dr Zackya, sosok relawan tangguh.

Siti Fadilah waktu itu berpamitan dengan Presiden SBY untuk berangkat ke Jenewa, menghadiri sidang Menteri Kesehatan Dunia. Sekaligus akan ia gunakan untuk mengikuti misi kemanusiaan ke Gaza. Presiden SBY pun mengizinkannya.

“Namun, tiba-tiba sehari sebelum bertangkat ke luar negeri, Presiden SBY mendadak memerintahkannya untuk tidak boleh berangkat. Padahal tiket sudah ditangan, persiapan sudah. Saya sebel, marah, aduh. Tapi karena perintah Presiden, ia pun membatalkan keberangkatannya,” ujarnya.

Beberapa hari kemudian, Siti Fadilah terhenyak, begitu mendengar kabar dan melihat di televisi, berita tentang kapal misi kemanusiaan yang seharusnya ia tumpangi ditembaki pasukan pendudukan Israel. Ada korban tewas 10 orang, warga Turki. Salah satu kamar yang ditembaki pasukan pendudukan Israel, tertera namanya, Siti Fadilah.

“Kita ini memang jangan su’udzan kepada Allah. Kadang-kadang sesuatu yang tidak menyenangkan itu, justru itulah pertolongan Allah. Kalau Allah berkehendak apapun, tidak ada sesuatupun yang dapat mencegahnya. Saya tentu berterima kasih kepada SBY yang telah melarang saya waktu itu. Tentu beliau punya informasi tersendiri tentang situasi saat itu,” imbuhnya.

Tekanan dunia internasional yang besar pasca insiden Mavi Marmara, membuat pintu perbatasan menuju Gaza menjadi agak longgar. Maka Juli 2010 Tim MER-C dengan sejumlah media pun akhirnya bisa masuk ke Jalur Gaza. Setelah sebelumnya pernah masuk tahun 2009.

Bendera merah putih pun berkibar di Jalur Gaza, Palestina, tepatnya di tanah wakaf lokasi pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Bayt Lahiya, Gaza Utara. Lokasi ini terletak sekitar 70 km dari Kompleks Masjidil Aqsa di Yerusalem, Tepi Barat.

Siti Fadilah melanjutkan ceritanya, ketika suatu sore ia diundang Presiden SBY untuk evening tee di kediamannya. Banyak jenderal hadir, dengan seragam jenderal mereka.

Rupanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hendak memberikan apresiasi kepadanya, yang telah memberikan dukungan kepada tim medis MER-C untuk mendirikan Rumah Sakit di Gaza, dan untuk mengibarkan bendera merah putih di sana.

“Bendera merah putih berkibar di Gaza. Dan yang mengibarkan bukan tentara baju hijau, tapi seorang ibu-ibu, yang waktu itu Menkesnya. Berpuluh-puluh pejabat dari berbagai negara di dunia telepon saya, congratulation, congratulation,” kenangnya.

Menurutnya, SBY percaya Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza. Maka, ketika dirinya meminta bantuan untuk mendukung pembangunan rumah sakit tersebut, SBY atas nama pemerintah pun memberikan bantuan senilai Rp20 miliar.

Dirinya saat itu dalam kapasitas sebagai anggota Wantimpres yang membidangi kesehatan, sudah bukan lagi Menteri Kesehatan. Tapi terus memantau agar bantuan tersebut bisa turun ke Gaza. Pengiriman bantuan ditangani Menkes sesudahnya.

Dalam pengirimannya, mengalami berbagai kendala. Terkendala di Departemen Luar Negeri Mesir, tidak bisa. Ia pun mencoba menghubungi pihak-pihak terkait, seperti Menkes Mesir dan Menkes Palestina. Namun ternyata tetap tidak bisa. Ia kemudian mendengar informasi, bantuan itu malah disumbangkan ke Tepi Barat, yaitu ke Rumah Sakit Jantung milik Israel.

“Kita butuh elit-elit yang betul-betul Muslim, yang mempunyai kewenangan, untuk memperjuangkan Palestina,” katanya.

“Ya, sekarang Rumah Sakit Indonesia di Gaza itu telah berdiri dengan megah. Semuanya rahasia Allah. Kita tidak boleh goyah dengan pilihan kita. Skenario serumit apapun yang terjadi, bisa dimudahkan oleh Allah. Kalau Allah sudah berkehendak,” lanjutnya.

“Alhamdulillah Rumah Sakit Indonesia di Gaza telah berdiri, dengan perantaraan tangan-tangan kita, yang disatukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” ujarnya.

Ia berprinsip kuat, tawakkal penuh kepada Allah, “Hasbunallah wan’imal wakil, ni’mal maula wani’mannasir”. (Cukuplah bagi kami Allah, sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong kami).

“Saya bersyukur Allah telah melibatkan saya pada kegiatan sangat mulia ini, yakni pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Palestina. Saya bersyukur terlibat dalam urusan Allah ini. Semoga Allah meridhai perjuangan kita semua di jalan Allah,” ujarnya.  Subhanallah ! Allahu Akbar !

Sehat berkah selalu, Bu Siti Fadilah Supari. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan berlipat ganda kepada Ibu. Aamiin. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda