TAHUN 1976 menjadi titik awal perjalanan hidup seorang perempuan bernama Sri Aminah yang penuh liku. Di usianya yang baru 19 tahun, ia meninggalkan kenyamanan keluarga untuk mengikuti suaminya, Adjie Muslim sebagai seorang dai di Muhajirun, Lampung Selatan.
Dari sana kisahnya bermula, ia dan muslimah lain belajar menempa diri di dunia dakwah hingga pada tahun 1980 Sri Aminah menyusul suaminya yang lebih dulu hijrah ke Cileungsi, merintis lahan Pesantren Al-Fatah. Saat itu, masuk ke Al-Fatah masih berupa hutan bambu dan belantara tanpa akses jalan yang memadai.
Kehidupan di belantara hutam bambu memaksa mereka untuk bertahan dengan segala keterbatasan. Tidak ada listrik, fasilitas umum, atau kemewahan hidup seperti di kota. Bu Sri, begitu ia biasa disapa, dan beberapa keluarga perintis awal lainnya tinggal dalam satu rumah kecil.
“Jalannya hanya setapak kecil, rumah pun masih berupa gubuk. Kalau mau ke Bekasi, angkot hanya ada sore hari, itu pun terbatas,” katanya mengenang tahun 1980 saat pertama kali ke Cileungsi.
Baca Juga: Abu Ishaq Al-Amiry; Sufi Pendiri Dayah Ulee Titi Aceh Besar
Semua kegiatan hampir dilakukkan secara bersama-sama, dari tidur, memasak, dan makan. Jika ada yang sakit, semua akan ikut merasakan sakit itu dan berusaha merawat tetangganya hingga benar-benar sembuh.
Makanan yang tersedia pun hanya seadanya. Dengan uang 500 rupiah menjadi bekal mereka memenuhi semua kebutuhan, mulai dari makan hingga keperluan lainnya selama satu pekan.
“Ikan asin dan sayur adalah menu utama kami. Tapi karena kebersamaan, semua terasa cukup,” ungkapnya dengan senyum penuh keikhlasan.
Selain menjadi ibu rumah tangga, perempuan muda yang saat itu tengah mengandung anak ketiganya serta mengurus dua anak kecil juga aktif membantu berbagai kegiatan pesantren. Mulai dari memasak untuk tamu hingga mencuci pakaian para santri menjadi tugas sehari-harinya, ia tetap sigap membantu urusan pesantren.
Baca Juga: Thohriyah, Keluar dari PNS Berdakwah Menemani Suami
“Saya pernah terpeleset sambil membawa piring kotor. Nah karena kejadian itu ternyata beberapa tahun kemudian menyebabkan sakit yang cukup serius,” ceritanya.
Penyakit tulang yang dideritanya hanyalah salah satu ujian dari banyaknya ujian dalam berjihad. Setelah menahan rasa sakit beberapa tahun, ia memutuskan untuk berobat dan dokter memvonis bahwa harus menjalani operasi besar.
“Rasanya berat, tapi saya merasa tenang. Saya menganggap ini bagian dari jihad saya,” ujar Sri.
Selama masa perawatan, tetangga-tetangganya memberikan dukungan penuh. Mereka membantu merawat anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca Juga: Sutradara Palestina Vin Arfuso Melawan Narasi Bias Hollywood
Semangat juang dari Sri dan para perintis lainnya mulai membuahkan hasil. Pesantren yang awalnya hanya sebuah masjid kecil dengan beberapa bangunan sederhana perlahan tumbuh menjadi komunitas yang lebih besar. Jumlah santri bertambah, bangunan mulai berdiri, dan suasana pesantren menjadi lebih hidup.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Tantangan berupa keterbatasan dana, fasilitas, dan tenaga kerja sering kali menguji ketangguhan mereka.
Medan yang sulit dan lingkungan yang serba terbatas juga menjadi hambatan. Rumah-rumah di pesantren saat itu masih berupa gubuk, dan jalannya hanya tanah setapak. Meski begitu, semangat mereka tidak pernah surut.
Situasi sulit, gak punya pemasukan. Semua tinggal nunggu arahan, semua tidak pegang uang. Kalau sudah masak di dapur ya makan bersama-sama. Para ustaznya tidak ada pekerjaan lain, semua fokus dakwah gak cari duit.
Baca Juga: Izzuddin bin Abdissalam, Sultan Para Ulama yang Menginspirasi Perjuangan Melawan Penjajahan
”Di sini lah kerjanya amal soleh. Ada uang 500 rupiah untuk belanja, minyak tanah dua liter untuk kompor sumbu. Uang 500 itu bertahan sampai seminggu, jadi cukup nggak cukup ya segitu. Dulu awal di sini prihatin, semuanya prihatin,” katanya.
Kini, pesantren di Cileungsi telah berubah menjadi kompleks megah yang dilengkapi berbagai fasilitas. Sri Aminah merasa bangga melihat bagaimana usaha keras mereka di masa awal telah membuahkan hasil. Namun, di balik kebanggaan itu, ia merasakan ada suasana yang hilang, yang berubah dari cara bertentangga dan bagaimana berkasih sayang antarsesama.
“Dulu, kami sangat akrab. Rasanya seperti saudara kandung. Kalau ada yang sakit, yang lain pasti ikut membantu. Sekarang, hubungan itu terasa berbeda, lebih individualis,” ungkapnya dengan nada haru.
Sri merindukan suasana kebersamaan yang dulu begitu erat. Ia berharap generasi muda dapat mengambil pelajaran dari masa lalu. Perubahan zaman memang tak terelakkan, tapi nilai-nilai kebersamaan yang pernah ada diharapkan tetap terjaga. Sri percaya bahwa kebersamaan adalah kunci utama dalam membangun komunitas yang kuat.
Baca Juga: Sheikh Raed Salah, Penjaga Al-Aqsa dan Ikon Perlawanan Palestina di Zaman Kontemporer
“Saya ingin semua kembali seperti dulu, saling peduli dan mendukung, meski hanya makan ikan asin, ” katanya.
Kisah perjuangan Bu Sri bukan hanya tentang mendirikan sebuah pesantren, tetapi juga tentang membangun jiwa-jiwa yang tangguh. Dari belantara hutan bambu, ia bersama perintis awal yang lain menciptakan tempat yang menjadi pusat ilmu dan dakwah. Apa yang ia lakukan adalah cerminan dari semangat jihad, keikhlasan, dan kerja keras.
Di akhir ceritanya, Sri menyampaikan pesan mendalam untuk generasi muda. Ia berharap semangat kebersamaan yang dulu ada dapat kembali ditanamkan.
“Bersatulah. Jadilah seperti satu tubuh. Jika ada satu yang sakit, yang lain ikut merasakan. Dengan begitu, kita bisa menjaga apa yang telah kita bangun bersama,” katanya.
Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina
Kisah ini adalah bukti nyata bahwa dari kesederhanaan dan keikhlasan, lahir sesuatu yang besar dan bermakna. Perjalanan Sri Aminah yang kini telah berusia 65 tahun akan selalu menjadi inspirasi tentang arti sebenarnya dari perjuangan dan pengorbanan.
”Mungkin jika bisa balik lagi kayak dulu ya, bersatulah dan jadilah merasa diri kita itu ya sama dengan saudara yang lainnya, diri kamu diri saya juga. Sakit kamu, sakit saya juga. Satu, satu. Satu badan. Walaupun makan hanya sama sambal, sama ikan asin. Hatinya satu, bersaudara,” pesannya. [annisa novi alifa, dini istiqomah]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun