Bandung, MINA – Suasana terlihat dramatis saat sejumlah perempuan peserta aksi di depan pusat perbelanjaan Bandung Indah Plaza (BIP), mengangkat gelas bertuliskan Starbucks, bukan berisi kopi, melainkan cairan merah menyerupai darah.
Simbol itu menjadi pernyataan visual dalam protes damai yang digelar pada Ahad (20/4) siang, bahwa segelas kopi bisa menjadi simbol persekongkolan dengan genosida.
Aksi tersebut merupakan bagian dari long march Solidaritas dan Doa untuk Palestina yang diikuti lebih dari 25.000 warga Jawa Barat.
Kawasan BIP, salah satu titik krusial dari aksi ini adalah tempat berdirinya sejumlah gerai dari perusahaan yang dinilai memiliki afiliasi atau mendukung ekonomi rezim penjajahan Zionis Israel, seperti Starbucks, Burger King, dan KFC.
Baca Juga: FIFA Jatuhkan Denda Rp 400 Juta kepada PSSI Akibat Aksi Diskriminatif Suporter
“Boikot adalah bahasa paling konkret yang bisa kita gunakan! Ini bukan lagi soal pilihan, tapi kewajiban moral,” seru Netty Prasetiyani, Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, dalam orasinya.
Ia menegaskan bahwa aksi boikot adalah bentuk perlawanan paling efektif dari masyarakat sipil global, terutama bagi mereka yang tidak bisa langsung turun ke Gaza.
Perwakilan Persatuan Islam (Persis) turut memperkuat seruan tersebut dengan merujuk pada fatwa ulama internasional, bahwa boikot adalah strategi sah untuk menghentikan aliran dana menuju mesin perang Israel.
Sementara perwakilan dari Nahdlatul Ulama (NU) mengajak publik untuk sadar akan alternatif lain di pasar. “Move on, guys! Masih banyak makanan dan kopi enak di luar sana yang tidak menodai nurani,” ungkap perwakilan NU tersebut.
Baca Juga: BMKG Imbau Warga Waspadai Hujan Lebat Selama Libur Waisak
Lebih dari sekadar boikot makanan cepat saji, aksi ini menyoroti keterlibatan korporasi besar dalam mendukung infrastruktur militer Israel. Microsoft, misalnya, diketahui menyediakan layanan komputasi awan dan AI untuk militer Israel, termasuk dukungan teknis senilai lebih dari USD 10 juta.
Google dan Amazon juga disorot melalui keterlibatan mereka dalam Project Nimbus, program yang membantu Israel dalam pengenalan wajah dan analisis biometrik, alat yang digunakan dalam operasi militer dan pengawasan di wilayah pendudukan.
Tak hanya perusahaan teknologi, pemerintah Amerika Serikat juga dikritik dalam aksi ini. The Guardian melaporkan bahwa AS telah menyetujui penjualan senjata senilai USD 7,4 miliar kepada Israel.
Persetujuan tersebut datang langsung dari Departemen Luar Negeri AS, yang menyatakan penjualan ini bertujuan untuk membantu Israel “mempertahankan perbatasannya”, istilah yang secara luas dikecam sebagai legitimasi penjajahan dan blokade terhadap rakyat Palestina.
Baca Juga: Polda Jateng Gelar Operasi Pemberantasan Premanisme, Ratusan Orang Diamankan
Seruan moral dari Bandung ini menjadi bagian dari gelombang global boikot yang terus menguat, terutama sejak agresi brutal Israel terhadap Gaza yang menyebabkan lebih dari 51.000 korban jiwa.
Para peserta aksi menegaskan bahwa dukungan terhadap Palestina tak cukup hanya dalam bentuk doa dan seruan kosong. Mengalihkan uang dari kantong pendukung penjajahan adalah bentuk solidaritas nyata.
Dari gelas kopi ke sistem cloud, dari waralaba makanan cepat saji hingga server data warga Bandung menyuarakan bahwa setiap pilihan konsumsi adalah sikap politik. Dan hari ini, mereka memilih berdiri di sisi kemanusiaan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jawa Barat Tempatkan Psikolog Klinis di Puskesmas untuk Tangani Kesehatan Jiwa