SUARA lirih Dr. Nagham Abu Hamila menembus tembok blokade dan bisingnya dentuman bom yang tak pernah henti di Gaza. Seorang dokter yang seharusnya hanya sibuk di ruang perawatan, kini terpaksa menjadi saksi hidup dan juru bicara penderitaan rakyatnya.
“Dengan hati yang hancur, kami harus meninggalkan Kota Gaza dan bergerak ke selatan setelah pemboman tanpa henti dan pembantaian begitu dekat dengan kami,” kata Dr. Nagham dalam laporannya yang dibagikan melalui jaringan Global Sumud Flotilla, Sabtu (20/9).
Dalam satu kalimat, ia menggambarkan kepedihan yang sulit ditampung kata-kata. Rumah-rumah yang ia dan tetangganya bangun dengan jerih payah kini hanya tinggal puing. Foto keluarga, mainan anak, buku-buku yang dulu menemani belajar, semuanya tertimbun di bawah reruntuhan.
“Kami meninggalkan rumah, kenangan, dan kehidupan sehari-hari. Kini kami bergerak tanpa tujuan, tanpa kepastian, tanpa keselamatan,” ungkapnya.
Baca Juga: Reffleksi 108 Tahun Deklarasi Balfour, Pendudukan Semakin Brutal
Kesaksian Dr. Nagham bukanlah kasus terisolasi. Menurut data Kementerian Kesehatan Palestina, lebih dari 65.000 warga Gaza telah meninggal sejak perang kembali berkobar Oktober 2023, sementara ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Infrastruktur penting, termasuk rumah sakit, sekolah, hingga jaringan air bersih, hancur atau lumpuh.
Gaza kini mengalami krisis air bersih akut. Lebih dari 75% sumur hancur dan jaringan air sepanjang 120.000 meter rusak. Warga dipaksa antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan beberapa liter air yang belum tentu layak konsumsi. Rumah sakit penuh dengan pasien yang menderita diare akut, infeksi usus, dan penyakit kulit akibat air tercemar.
“Orang-orang tidak hanya kehilangan rumah. Mereka kehilangan akses paling dasar, yakni air, makanan, dan obat-obatan,” jelas Dr. Nagham.
Di tengah tragedi itu, ia menegaskan bahwa suara Gaza tidak akan hilang. “Hati kami hancur, tetapi kami tetap membawa suara kami untuk memberi tahu dunia bahwa kami masih ada, kami masih manusia, dan kami masih layak mendapatkan kehidupan serta perlindungan.”
Baca Juga: Ketika Dunia Riuh, Tapi Hati Masih Sepi
Pesan ini menyatu dengan misi Global Sumud Flotilla, armada internasional yang berlayar dari Eropa dan Afrika Utara untuk menembus blokade laut Israel atas Gaza. Kapal-kapal itu tidak hanya membawa beras, gandum, atau obat-obatan, tetapi juga pesan moral, dunia tidak boleh diam melihat genosida.
Namun, seperti diungkap Dr. Nagham, rakyat Gaza merasa sering ditinggalkan. Normalisasi hubungan antara sebagian negara Arab dengan Israel, di mata rakyat Palestina, hanyalah bentuk pengkhianatan. Sementara itu, banyak pemerintahan Barat memilih bungkam atau bahkan terus mendukung Israel dengan senjata.
“Normalisasi itu adalah jalan pengkhianatan. Tapi rakyat tidak akan pernah diam,” ujar seorang delegasi Global Sumud Flotilla Abdella dari Teluk dalam armada flotilla, sejalan dengan suara Dr. Nagham.
Di pantai Gaza, anak-anak menanti kedatangan armada flotilla sambil menabuh rebana dan melantunkan syair. Meski tubuh mereka kurus dan wajah mereka letih, suara mereka penuh harapan: “Gaza menanti kalian. Tuhan bersama kalian.”
Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an
Dr. Nagham tahu betul, harapan itulah yang membuat rakyat Gaza tetap hidup. Meski rumah hancur, meski jalan penuh reruntuhan, meski langit terus dihiasi drone dan pesawat tempur, semangat untuk tetap berdiri tidak pernah padam.
“Kami masih di sini,” katanya. “Dan selama kami masih di sini, kami akan terus hidup dan melawan dengan cara kami, meski hanya dengan suara, meski hanya dengan doa.”
Misi Global Sumud Flotilla kini menghadapi ancaman nyata setelah beberapa kapal diserang drone di perairan Tunisia. Namun, para relawan dari 44 negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Italia, hingga Amerika Serikat, menegaskan tekad mereka untuk terus berlayar.
Mereka membawa suara Dr. Nagham dan jutaan rakyat Gaza. Mereka berlayar bukan sekadar untuk mengirim bantuan, tetapi untuk mengingatkan dunia, blokade atas Gaza adalah kejahatan kemanusiaan, dan diam berarti ikut bersalah.
Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina
Kesaksian Dr. Nagham adalah panggilan nurani. Gaza bukan sekadar berita perang di layar kaca. Gaza adalah rumah, keluarga, dan manusia yang layak hidup dengan damai.
“Kami masih di sini. Kami masih manusia. Kami masih layak hidup.” Pesan itu seharusnya menggema di setiap hati nurani. Dunia boleh diam, tapi suara Gaza tidak akan pernah padam.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: 78 Tahun Penantian, Keadilan yang Belum Kunjung Datang ke Lembah Kashmir




															
								







															
															
															
															
															
															
															
															
															



															
Mina Indonesia
 Mina Arabic