Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suara dari Jalanan Florence: Truk Kesadaran Palestina dan Pergulatan Solidaritas di Eropa

Rana Setiawan Editor : Ali Farkhan Tsani - Sabtu, 20 September 2025 - 05:45 WIB

Sabtu, 20 September 2025 - 05:45 WIB

17 Views

Truk putih dengan huruf-huruf besar hitam dan merah melintasi jalan-jalan kota Florence, Italia. Aksi tersebut merupakan bagian dari upaya jaringan aktivis Florence for Palestine untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai situasi di Gaza dan mendorong masyarakat mendukung boikot terhadap Israel.(Foto: Eksklusif untuk MINA/FFP)

Florence, Italia, MINA – Beberapa hari terakhir, sebuah truk putih dengan huruf-huruf besar hitam dan merah melintasi jalan-jalan kota Florence. Aksi tersebeut merupakan bagian dari upaya jaringan aktivis Florence for Palestine untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai situasi di Gaza dan mendorong masyarakat mendukung boikot terhadap Israel.

Pesannya jelas dan keras bertuliskan “Israel:Boycott and Sanctions! with Palestinian Resistance. Silence Means Complicity! (israel: boikot dan sanksi! dengan perlawanan palestina. diam berarti keterlibatan).”

Kampanye jalanan tersebut bertujuan menggugah publik kota seni dan budaya itu tentang krisis kemanusiaan yang membelenggu Gaza. Namun, seperti banyak aksi solidaritas Palestina di Eropa, resonansinya di ruang publik tidak sepenuhnya diterima tanpa gesekan.

Insiden di Piazzale Michelangelo

Baca Juga: AS–Israel: Koalisi Setan Pembantai Rakyat Tak Berdosa

Pada Selasa (16/9/2025) sore, truk berhenti di Piazzale Michelangelo, titik populer wisatawan dengan pemandangan indah kota Firenze. Tak lama kemudian, dua orang asing mendekat, melontarkan kritik keras kepada aktivis yang menjaga truk, dan salah satunya mencoba merobek poster kampanye.

Upaya itu berhasil digagalkan, tetapi cukup menjadi peringatan bagi para aktivis akan risiko provokasi di hari-hari berikutnya.

“Kami sadar bahwa upaya ini bisa memancing reaksi keras, tetapi diam di tengah genosida berarti menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri,” tegas pernyataan Florence for Palestine setelah insiden tersebut.

Florence bukan kota pertama di Italia yang menyaksikan solidaritas semacam ini. Sejak awal perang di Gaza pada Oktober 2023, puluhan ribu orang turun ke jalan di Roma, Milan, dan Bologna, menuntut gencatan senjata serta menekan pemerintah Italia agar berhenti memasok senjata ke Israel.

Baca Juga: Zionisme: Iblis Modern dalam Jas Kenegaraan

Namun, solidaritas terhadap Palestina di Italia dan Eropa sering berbenturan dengan dua arus besar: pertama, dukungan historis sebagian pemerintah Eropa terhadap Israel; kedua, tuduhan antisemitisme yang kerap dilekatkan pada kritik terhadap kebijakan Israel. Hal ini menciptakan ruang publik yang kompleks, di mana kampanye boikot bisa dipandang sebagian sebagai ekspresi kemanusiaan, tetapi sebagian lain sebagai provokasi politik.

Tren Solidaritas di Eropa

Apa yang terjadi di Florence hanyalah satu potongan dari gambaran lebih besar yang kini tengah berkembang di Eropa. Gelombang solidaritas terhadap Palestina tidak hanya hadir di jalan-jalan, tetapi juga merasuk ke ruang-ruang akademik, budaya, dan ekonomi.

Di ranah akademik, universitas-universitas di Inggris, Prancis, dan Belanda menghadapi gelombang protes mahasiswa. Mereka menuntut pemutusan kerja sama dengan institusi pendidikan Israel, yang dinilai terlibat atau berafiliasi dengan kebijakan apartheid dan penjajahan. Aksi ini mencerminkan kesadaran generasi muda Eropa bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh digunakan sebagai alat legitimasi penindasan.

Baca Juga: Deklarasi New York, Hukuman bagi Pejuang dan Hadiah bagi Penjajah

Dalam dunia budaya, seniman dari Berlin, Paris, hingga Barcelona menyatakan boikot terhadap festival yang disponsori lembaga resmi Israel. Bagi para seniman ini, seni tidak bisa dipisahkan dari etika: menampilkan karya dalam panggung yang berafiliasi dengan rezim penjajahan dianggap sama dengan memberi pembenaran simbolik atas ketidakadilan.

Sementara itu, pada ranah ekonomi, gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) semakin sering hadir di ruang publik. Label “BDS” tidak lagi asing di toko, kampus, bahkan ruang digital. Meskipun beberapa pemerintah Eropa mencoba membatasi gerakan ini melalui regulasi, popularitasnya terus tumbuh sebagai ekspresi konsumen yang menolak keterlibatan bisnis dengan negara yang melakukan kejahatan perang.

Fenomena ini menunjukkan bahwa solidaritas untuk Palestina di Eropa bukan sekadar tren sesaat, melainkan bagian dari perubahan opini publik yang lebih dalam. Solidaritas itu kian menemukan bentuknya melalui aksi nyata—dari kelas universitas, panggung seni, hingga kantong belanja masyarakat sehari-hari.

Florence: Kota Seni, Kota Suara

Baca Juga: Jebakan Pemikiran Kolonial Rencana 20 Poin Trump tentang Gaza

Bagi jaringan aktivis di Florence, menggunakan truk sebagai media kampanye memiliki nilai simbolis. Ia bergerak, menembus ruang publik, dan tidak bisa diabaikan. Dari Piazza della Signoria hingga Piazzale Michelangelo, pesan solidaritas Palestina kini ikut mewarnai lanskap kota yang dikenal sebagai pusat Renaisans.

Namun, risiko juga nyata. Insiden di Piazzale Michelangelo menunjukkan bagaimana isu Palestina tetap menjadi titik rawan ketegangan sosial di Eropa. Para aktivis menyatakan siap menghadapi provokasi dengan komitmen non-kekerasan, seraya menegaskan bahwa tujuan mereka bukan menciptakan konflik, melainkan menyalakan nurani.

Aksi truk di Florence mencerminkan wajah solidaritas Eropa yang rapuh: di satu sisi, kepedulian moral yang makin meluas; di sisi lain, resistensi sosial dan politik yang tak kalah kuat.

Pertanyaan mendasar tetap sama: apakah Eropa, benua yang kerap berbicara tentang hak asasi manusia, siap mengakomodasi solidaritas rakyat terhadap Gaza, atau akan terus terbelah oleh kepentingan geopolitik dan narasi keamanan?

Baca Juga: Janji Gizi Murah, Kenyataan Pahit: Kasus Keracunan MBG Meningkat Drastis

Sementara itu, di jalan-jalan Florence, sebuah truk terus berputar, membawa pesan sederhana tapi menusuk: “Silence means complicity (Diam berarti keterlibatan kita pada penjajah dan genosida).” []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Proposal Trump untuk Gaza, Harapan Baru bagi Palestina atau Strategi Geopolitik Semata?

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Indonesia
Palestina