“Kami telah dibakar, dimutilasi, dan kini membeku hingga mati. Berapa banyak cara lagi kami harus dibunuh agar dunia bergerak nyata menghentikan berbagai kebiadaban ini?”
Kalimat memilukan dari seorang jurnalis Palestina, Abubaker Abed, yang diucapkan mewakili sesama rekannya yang masih bertugas, menjadi cerminan betapa sunyinya respons dunia terhadap penderitaan yang dialami rakyat Gaza. Di tengah derasnya arus informasi global, suara-suara dari Gaza justru seakan tenggelam di lautan apatisme dan bias pemberitaan.
Pernyataan Abubaker Abed itu disampaikan pada jumpa pers Kamis (9/1/2025), untuk berbagi pengalaman mereka meliput langsung perang genosida Israel di Gaza selama satu setengah tahun terakhir. Dalam rekaman video dipublikasikan Middle East Eye (MEE), Jumat, mereka mengkritik masyarakat internasional karena kurangnya dukungan dan advokasi selama masa-masa paling sulit ini.
Sejak dimulainya konflik perang genosida Oktober 2023, lebih dari 201 jurnalis dan pekerja media Palestina telah menjadi korban kebrutalan serangan Israel di Gaza. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret betapa berbahayanya upaya mereka dalam menyuarakan kebenaran.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-38] Menjadi Wali Allah
Mereka bukan hanya kehilangan rekan kerja dan keluarga, tetapi juga menghadapi ancaman langsung terhadap nyawa mereka. Meski demikian, mereka tetap teguh menjalankan tugasnya: menyampaikan fakta dari medan perang.
Abubaker Abed dan jurnalis lainnya di Gaza memilih bertahan di tengah puing-puing dan api, melawan ketakutan, untuk memastikan dunia tahu bahwa genosida sedang terjadi. Mereka terus menulis dan melaporkan, meskipun tubuh mereka lemah, kurus, dan kelelahan. Mereka tidak pernah berhenti.
Terbaru, seorang jurnalis dan beberapa warga Palestina tewas pada Jumat (10/1/2025) malam akibat serangan bom jet tempur Zionis Israel di Kamp Pengungsi Nuseirat, Jalur Gaza tengah. Koresponden Berita Nasional Palestina WAFA melaporkan bahwa jurnalis Saed Nabhan menjadi korban setelah kelompok jurnalis dan pekerja media terkepung di kamp tersebut oleh pasukan penjajah Zionis Israel.
Selain itu, sebuah jet tempur penjajah Zionis Israel melancarkan serangan udara yang menyasar sebuah rumah di lingkungan Shuja’iyya, Gaza timur. Serangan tersebut menyebabkan setidaknya satu warga sipil tewas dan beberapa lainnya luka-luka. Korban tewas dan luka-luka segera dilarikan ke Rumah Sakit Arab Al-Ahli, yang juga dikenal sebagai al-Ma’madani, di pusat kota Gaza.
Baca Juga: Menyambung Silaturahmi di Tengah Luka: Ujian Kesabaran yang Menghadirkan Pertolongan Allah
Serangan tersebut terjadi di tengah berlanjutnya agresi genosida bar-bar penjajah Zionis Israel di Jalur Gaza, meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) telah mengeluarkan keputusan hukum yang mengikat agar Israel menghentikan serangan militernya di Rafah. Keputusan tersebut menyebutkan bahwa aksi militer Israel dapat melanggar kewajibannya di bawah Konvensi Genosida.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah melancarkan perang yang menghancurkan di Gaza, menurut otoritas kesehatan yang berpusat di Gaza, serangan genosida penjajah Zionis Israel juga telah menewaskan sedikitnya 46.006 warga Palestina dan melukai lebih dari 109.378 lainnya. Selain itu, lebih dari 10.000 orang dilaporkan hilang dan diduga tertimbun reruntuhan rumah mereka di seluruh Jalur Gaza.
Organisasi Palestina dan internasional melaporkan bahwa mayoritas korban tewas dan luka-luka adalah perempuan dan anak-anak. Agresi genosida penjajah Zionis Israel ini juga telah menyebabkan hampir dua juta penduduk Gaza mengungsi secara paksa, dengan sebagian besar terpaksa menuju kota Rafah di selatan yang kini menjadi wilayah pengungsian terbesar sejak peristiwa Nakbah pada 1948 lalu.
Situasi kemanusiaan di Gaza kian memburuk, sementara dunia internasional didesak untuk mengambil tindakan nyata menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan bagi warga sipil serta jurnalis yang menjadi target serangan.
Baca Juga: Keutamaan Menyampaikan Informasi Bencana dengan Prinsip Communication Risk
Kegagalan Komunitas Internasional dan Media Global
Ironisnya, di tengah tragedi kemanusiaan ini, komunitas internasional dan media global justru gagal menjalankan perannya. Alih-alih menjadi penyalur informasi yang objektif dan adil, banyak media besar terjebak dalam narasi yang bias dan tidak berimbang. Dukungan dan advokasi yang diharapkan pun tak kunjung datang.
Ketiadaan respons tegas dari dunia internasional menunjukkan lemahnya solidaritas global terhadap kebebasan pers dan hak asasi manusia. Padahal, tragedi ini bukan hanya tentang Palestina, tetapi juga tentang bagaimana dunia memperlakukan kebenaran dan kemanusiaan.
Pers bukan sekadar perekam peristiwa, melainkan penggerak perubahan. Dalam konteks Gaza, jurnalis Palestina adalah saksi hidup dan penyampai fakta atas tragedi kemanusiaan. Mereka berjuang melawan sensor dan propaganda, demi menyuarakan kebenaran yang kerap dikaburkan.
Dukungan global terhadap kebebasan pers di Palestina harus menjadi prioritas. Bukan hanya melalui pernyataan solidaritas, tetapi juga dengan mendorong media global untuk memberitakan secara adil dan menekan pemerintah untuk mengambil tindakan nyata menghentikan kekerasan.
Baca Juga: Mengenal Hydroclimate Whiplash, Tantangan dalam Memadamkan Kebakaran Hutan di Los Angeles
Mengembalikan Nurani Dunia
Abubaker Abed mengingatkan kita semua tentang pentingnya nurani. Di balik angka korban, ada kisah-kisah manusia yang hancur. Dunia harus bangun dari ketidakpedulian. Setiap suara yang dibungkam di Gaza adalah cermin kegagalan kita sebagai masyarakat global.
Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita akan tetap diam, atau memilih berdiri di sisi kemanusiaan? Membela kebenaran bukan hanya tugas jurnalis Palestina, tetapi juga tugas kita semua.
Kini, saatnya dunia mendengar. Saatnya media global menjalankan tugasnya dengan integritas. Saatnya komunitas internasional bertindak tegas. Suara-suara dari Gaza tidak boleh lagi dibungkam. Kita harus bergerak. Demi kemanusiaan. Demi kebenaran.[]
Baca Juga: Membongkar Kebusukan Deklarasi Balfour: Sebuah Analisis Sejarah
Mi’raj News Agency (MINA)