Oleh: Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA., Wakil Ketua MPR RI
72 tahun yang lalu, bangsa Indonesia menghadapi peristiwa genting yang nyaris melumat Proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu, 19 Desember 1948, pemimpin nasional Indonesia seperti, Ir. Soekarno, Mohamad Hatta dan Muhamad Syahrir ditangkap Belanda, setelah mereka berhasil melancarkan agresi militer ke dua, di Yogyakarta.
Keberhasilan tersebut digunakan oleh kolonialis melancarkan propaganda kepada dunia, dengan mengatakan bahwa negara Indonesia sudah mereka kalahkan dan kuasai kembali.
Belanda tidak sadar, beberapa saat sebelum menawan Dwi Tunggal, para pemimpin Indonesia, itu sudah melakukan pertemuan membahas masa depan Indonesia. Dalam kesempatan sempit itu Soekarno Hatta mengambil dua keputusan penting. Pertama memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Kedua, jika gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A. A. Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Mandat tersebut dikirimkan oleh Abdurrahman Baswedan dalam bentuk telegram. Sehingga pada sore hari 19 Desember, Mr. Sjafruddin sudah tahu bahwa Yogyakarta dan para pemimpin nasional ditawan Belanda.
Selanjutnya, pada 22 Desember, Mr. Sjafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera, sesuai mandat yang diterima.
Dalam pemerintahan darurat, itu Mr. Syafruddin Prawiranegara, duduk sebagai Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim. Dalam PDRI, itu juga bergabung, antara lain Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, serta Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan.
Sehari setelah PDRI berdiri, pekerjaan yang dilakukan Mr. Sjafrudin adalah membalas propaganda Belanda dengan mengatakan, Indonesia masih tegak berdiri melalui Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Dengan tegas, Sjafruddin mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak bergantung hanya pada Soekarno Hatta. Banyak pemimpin Indonesia yang siap menggantikan Soekarno Hatta, memimpin barisan melawan Belanda.
Propaganda melalui stasiun RRI, itu berhasil mengubur propaganda Belanda yang disampaikan sebelumnya. Akhirnya seluruh dunia tahu, negara Indonesia masih tegak berdiri dalam bentuk PDRI.
Untuk melancarkan propaganda PDRI dan menghindari sergapan penjajah, Mr. Sjafruddin melakukan gerilya. Bersama koleganya, Mr. Sjafruddin keluar masuk hutan sambil membawa pemancar radio.
Laiknya hidup di hutan, Sjafruddin juga kerap diterpa kelaparan karena tidak ada sesuatu pun yang bisa dimakan. Ia juga kerap diguyur hujan karena tidak ada tempat berteduh. Dan selama bergerilya, para pemimpin PDRI selalu memerintahkan seluruh sisa kekuatan TNI melakukan perlawanan hingga waktu yang belum ditentukan.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Berkat keberhasilan Mr. Sjafruddin mendirikan PDRI, klaim dan propaganda Belanda yang menyatakan Indonesia telah bubar serta dapat mereka kuasai gugur dengan sendirinya. Selain itu dunia internasional juga mengecam agresi militer dan memaksa Belanda kembali ke meja perundingan.
Keberhasilan Mr. Sjafruddin mendirikan PDRI, mampu menyelamatkan Proklamasi 17 Agustus dari kehancuran. PDRI juga berhasil memaksa Belanda duduk dalam perundingan Roem-Royen. Setelah itu, tepatnya pada 13 Juli 1949 Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat yang diterimanya kepada Soekarno Hatta.
Keberhasilan Mr. Sjafruddin yang juga pimpinan Partai Masyumi menyelamatkan NKRI menambah panjang daftar ulama, pemimpin ormas keagamaan dan parpol berbasis Islam yang berkontribusi menyelamatkan NKRI.
Kisah-kisah sukses, ini seharusnya disampaikan kepada generasi muda agar Mereka mengenal jasa pahlawannya, dan makin mencintai Indonesia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Masih ada kelompok umat Islam yang menganggap bahwa Indonesia merupakan hadiah dari penjajah Belanda dan tidak ada kaitannya dengan umat Islam. Makanya mereka sering mengkafirkan apapun tentang Indonesia. Karena dianggapnya, Indonesia ini adalah warisan dari orang-orang kafir.
Padahal sejak dulu kala, antara umat Islam dan Indonesia sudah menyatu, dan tak bisa dipisahkan. Teramat banyak pengorbanan serta darma bakti umat Islam dan ulama dalam tegaknya NKRI.
Sejak dari zaman perjuangan fisik, proses lahirnya kesepakatan Pancasila 18 Agustus, lahirnya resolusi jihad hingga kembalinya NKRI setelah sempat berganti menjadi Republik Indonesia Serikat.
Indonesia ini adalah hasil jihad, ijtihad dan mujahadah umat Islam, khususnya para ulama. Sudah semestinya jika umat Islam menjadi garda terdepan penjaga NKRI untuk diwariskan pada generasi mendatang, sebagaimana para ulama dahulu mewariskannya kepada kita saat sekarang.(AK/R1/P2)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Mi’raj News Agency (MINA)
*Artikel ini disampaikan Hidayat Nur Wahid secara daring pada acara Temu Tokoh Nasional-Keagamaan, kerjasama MPR dengan Forum Masjid dan Mushollah se-Jakarta Pusat di Masjid Jami Al-Huda, Jalan Duri, RT. 3/RW.2, Duri Pulo, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Jumat (18/12/2020).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang