Oleh: Rendi Setiawan, wartawan MINA
Palestina menjadi satu-satunya negara yang masih terjajah di abad modern ini. Tidak ada negeri lain yang diperlakukan semena-mena seperti apa yang terjadi di Palestina. Semua sendi kehidupan dibatasi. Bahkan, sekedar untuk ibadah pun dibatasi. Padahal, ibadah adalah upaya manusia menghubungkan dirinya dengan Tuhannya. Mencari ketenangan jiwanya.
Meski pada dasarnya jika kita lihat dalam skala yang lebih besar, Timur Tengah, Palestina bukan satu-satunya negara yang tengah kacau balau. Irak, Suriah, Yaman, hingga Pakistan. Semua negara yang disebutkan itu tengah mengalami masa puber di mana mereka suka berkelahi. Mirip sekali dengan anak-anak remaja yang suka tawuran.
Penjajahan atas Palestina cukup memprihatinkan, mengingat sejarah panjang yang diukir wilayah itu. Bukan saja panjang, melainkan juga sarat makna dan edukasi serta hikmah bagi manusia-manusia yang hidup pada abad-abad setelahnya. Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kisah yang terjadi di Palestina.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Selama 72 tahun, Israel terus tumbuh besar. Dia laksana pohon yang awalnya hanya berupa biji-bijian. Biji tersebut tidak akan menjadi pohon yang besar apabila tidak ada yang merawatnya. Umat Islam di mana pun berada bertanggung jawab penuh atas kehadiran Israel di bumi Palestina. Dunia Islam, dunia Arab, bahkan masyarakat internasional pun bertanggung jawab penuh.
Khusus dunia Arab. Penulis tidak mengerti mengapa mereka sepertinya setengah hati mengerahkan pasukan ketika terjadi pertempuran Arab-Israel tahun 1948. Koalisi Suriah, Yordania, Mesir, dan Arab Saudi itu hanya mengirim pasukan 40 ribu, yang sesungguhnya bisa kekuatan mereka saat itu bisa mencapai 400 ribu tentara. Apalagi pasukan elit Arab Saudi sudah mendapat latihan dari tentara Inggris yang baru saja memenangi pertempuran di Eropa.
Padahal, ibarat perang Badar, perang Arab-Israel tahun 1948 adalah perang penentuan masa depan Palestina. Namun pada akhirnya, kejadian mengerikan berupa terusirnya ratusan ribu rakyat Arab-Palestina menjadi bukti bahwa mereka seperti tidak perduli dengan masa depan Palestina. Setelah 72 tahun lamanya, kita baru merasakan betapa jahatnya Israel. Mereka tak henti-hentinya menyebarkan teror. Paling baru, mereka berencana menganeksasi Tepi Barat, 1 Juli mendatang.
Mari kita perhatikan bersama bahwa sejarah Israel tidaklah panjang. Hanya 72 tahun. Itupun hasil merampas hak orang lain. Bahkan sebelum itu, tidak ada yang memperjuangkan Israel. Negara itu tidak lahir dari persiapan matang. Dia lahir dari keterburu-buruan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Dalam buku “Jerusalem: The Bigraphy”, Simon Sebag Montefiore mengungkapkan detik-detik hadirnya nama Israel. Adalah dari mulut Ben Gurion yang secara sepintas muncul di benaknya sesaat setelah perdedabatan panjang mengenai nama negara yang akan didirikan di atas tanah Palestina itu. Kira-kira begini kisahnya:
Pada pukul 04.00 waktu Palestina, tepat tanggal 14 Mei 1948, di luar Yerusalem, Rabin dan tentara Palmach-nya (pasukan bawah tanah Yahudi), yang bersusah payah menjaga jalan agar tetap terbuka (mengiringi kepergian tentara Inggris dari Palestina) sedang mendengarkan satu pengumuman dari David Ben Gurion, ketua Jewish Agency. Berdiri di samping potret Herzl, di hadapan audiens sekitar 250 orang di Museum Tel Aviv, Ben Gurion memproklamasikan, “Aku akan membacakan dari gulungan Deklarasi Pendirian Negara…”
Dia dan para pembantunya berdebat apa nama negara itu. Sebagian menyarankan Yudea atau Zion–tapi nama-nama ini terasosiasi dengan Yerusalem, dan Zionis masih berjuang untuk memegang bahkan bagian dari kota itu. Yang lain menyarankan Icriya atau Herzliya, tapi kemudian setelah berpikir sejenak, Ben Gurion mengusulkan Israel, dan itulah nama yang disetujui: “Tanah Israel”, dia membacakan, “adalah tempat kelahiran Yahudi.” Lalu mereka bersama-sama menyanyikan lagu yang kini menjadi lagu kebangsaan mereka.
Hanya sebelas menit setelah pernyataan sepihak itu dilontarkan, Presiden AS Harry S. Truman mengakui secara de facto negara Israel. Atas restu pucuk tertinggi negeri paman sam itulah Israel terus berkembang sampai hari ini. Dan Chaim Weizmann, kepala Organisasi Zionis Dunia, menjadi presiden pertama Israel setelah mendapat dukungan dari Ben Gurion dan koleganya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Kisah yang diungkapkan Simon Sebag Montefiore memperjelas, orang-orang yang sekarang mengakui diri sebagai warga negara Israel, mereka bukanlah penduduk lama wilayah itu, melainkan hanya menempati tempat kosong yang ditinggalkan Inggris. Jika kita tarik sedikit ke belakang, tepat perang dunia pertama berkecamuk, baik Amerika, Inggris, maupun sekutu mereka telah menyiapkan Palestina sebagai rumah bagi orang-orang Yahudi di Eropa.
Persiapan pembentukan negara Israel itu tertuang dalam Deklarasi Balfour yang ditandatangani pada 1917. Deklarasi Balfour disampaikan dalam sebuah surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour yang ditujukan kepada Lord Rothschild Walter, seorang anggota terkemuka komunitas Yahudi Inggris.
Dalam surat itu, Balfour menyatakan Inggris akan mendukung aspirasi Zionis dengan memfasilitasi pembentukan “sebuah rumah nasional bagi orang-orang Yahudi” di Palestina. Dengan menyatakan Inggris menjadi pelindung Zionisme, tanda tangan Balfour menyelesaikan proses yang dimulai 20 tahun sebelumnya di Kongres Pertama Zionis pada 1897 di Basel, Swiss.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Deklarasi Balfour memimpin Liga Bangsa-Bangsa untuk mempercayakan Inggris dengan Mandat Palestina pada 1922. Berikut ini isi surat Balfour.
Kantor Luar Negeri
2 November 1917
Yang Terhormat Lord Rothschild,
Saya dengan senang hati menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintah Yang Mulia, deklarasi simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
“Pemerintah Yang Mulia mendukung dengan senang hati Palestina sebagai sebuah kampung halaman bagi orang-orang Yahudi. Dan Pemerintah Yang Mulia akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini. Sudah dipahami dengan jelas tidak akan dilakukan hal yang mungkin merugikan hak masyarakat sipil dan agama atau nonYahudi di Palestina, atau hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara lain.”
Saya berterima kasih jika anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.
Hormat saya,
Arthur James Balfour
Jika kita jeli melihat sejarah, Turki Utsmani baru mengakui kekalahannya pada tahun 1918, dan baru mengadakan perjanjian Sevres dengan Sekutu di Istana Versailles, Paris, Perancis, pada 1920. Turki Utsmani berubah menjadi Republik Turki pada tahun 1924, setelah gerakan muda Turki dan mahkamah agung negara itu membubarkan sistem kerajaan yang berganti menjadi republik sekuler.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Lalu, mengapa Deklarasi Balfour, sebuah kesepakatan antara Inggris dan Yahudi ini bisa terjadi sebelum semua itu terjadi? Padahal, Palestina saat itu masih menjadi wilayah administratif Turki Utsmani. Bahkan, ketika Sultan Abdul Hamid masih berkuasa, sekitar tahun 1901-an, Theodore Herzl meminta kepada Sultan untuk membiarkan tanah Palestina menjadi milik Yahudi.
Tapi, Sultan justru menyuruh utusan Herzl kembali dan jangan pernah berani kembali lagi membahas masalah Palestina, seraya mengatakan bahwa Palestina adalah wakaf untuk Umat Islam. Semakin jauh kita menarik sejarah ke belakang, semakin jelas pula wilayah Syam, termasuk Palestina di dalamnya adalah wilayah yang berabad-abad lamanya selalu berada di bawah kekuasan Islam.
Keadilan bagi Palestina
Baru beberapa pekan yang lalu kita dihebohkan dengan aksi polisi Amerika yang mengunci leher George Floyd, seorang kulit hitam yang dikabarkan telah mencuri. Kejadian itu menarik perhatian dunia karena Floyd meninggal dunia beberapa menit setelah insiden penguncian itu. Tak lama berselang, demo besar-besaran terjadi di berbagai tempat di Amerika, padahal masih dalam situasi corona.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Di waktu hampir bersamaan, muncul pula gerakan ‘Black Lives Matter’ yang kurang lebih artinya ‘kehidupan orang hitam itu penting’. Jika kita penikmat sepak bola, khususnya Liga Inggris, kita juga akan menemukan kalimat yang sama pada punggung kaos yang seharusnya diisi nama-nama si pemain itu. ‘Black Lives Matter’ seperti sebuah kalimat ajaib yang mampu menyihir masyarakat dunia.
Bahkan, dalam pertandingan Manchester City vs Burnley, muncul gerakan tandingan dengan kalimat hampir mirip, ‘White Lives Matter’. Dari dua kalimat berseberangan ini, ‘White Lives Matter’ lebih banyak memiliki hatters ketimbang lawannya. Ini bisa dipahami sebab kalimat tersebut hadir tanpa alasan yang jelas. Sementara ketidakadilan terhadap orang berkulit hitam hampir terjadi di wilayah Amerika, apalagi jika orang tersebut adalah Muslim.
Dari sini saya mulai berpikir mengapa selama ini tidak muncul gerakan ‘Palestinian Lives Matter’? Kejahatan yang terstruktur dan nyata terjadi setiap hari di Palestina. Bahkan, Floyd-Floyd lain di Palestina jumlahnya sangat banyak. Negara yang mengaku sebagai polisi dunia, mengaku demokratis, justru menjadi penyokong utama kejahatan di Palestina.
Benar saja seperti apa yang diucapkan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun. Dalam konferensi pers menolak aneksasi yang diselenggarakan Aqsa Working Group di Jakarta, Kamis (25/6) lalu, Al Shun mengatakan, satu orang Israel yang terbunuh, maka mereka akan berbela sungkawa dan mengecam pembunuhnya. Tetapi puluhan orang Palestina terbunuh, mereka diam bahkan menganggapnya sebagai teroris.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Ini pula yang terjadi baru-baru ini terhadap seorang pemuda Palestina yang hendak pergi ke pernikahan saudaranya. Dia dibunuh oleh tentara Israel. Ironisnya, jasadnya mereka tahan tanpa boleh anggota keluarganya mengurusi untuk kemudian dikebumikan. Benarlah apa yang diungkapkan seorang Palestina yang melihat kejadian itu, ‘In Israel, if you are Palestinian, they simply shoot you dead in the street and leave you there to bleed to death. Then, they say that you were a terrorist.’
Sudah saatnya masyarakat dunia adil terhadap Palestina. Jika kalimat ‘Black Lives Matter’ saja mampu mengguncang Gedung Putih, seharusnya kalimat ‘Palestinian Lives Matter’ mampu merobohkannya. Tidak hanya sekali dua kali diucapkan, tetapi digaungkan hingga keadilan hadir bagi Palestina. (A/R2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital