Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk hidup bagi umat Islam memuat berbagai arahan yang menjadi solusi bagi problematika kehidupan, baik secara spiritual, sosial, maupun individu. Salah satu pesan mendalam Al-Qur’an adalah perintah untuk bersujud dan mendekat kepada Allah, sebagaimana terkandung dalam ayat terakhir Surah Al-‘Alaq, yaitu
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
“Dan bersujudlah dan mendekatlah (kepada Allah).” (QS. Al-‘Alaq: 19). Ayat ini singkat, namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa, terutama dalam membentuk hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Allah sebagai Sang Pencipta.
Sujud dalam Islam bukan sekadar gerakan fisik, melainkan simbol ketundukan, penghambaan, dan keintiman spiritual seorang mukmin dengan Rabb-nya. Ketika seseorang bersujud, ia tidak hanya menundukkan jasadnya, tetapi juga menyerahkan hatinya sepenuhnya kepada Allah. Oleh karena itu, perintah “sujud” dalam ayat ini menjadi pintu untuk memahami esensi ibadah dan kedekatan sejati seorang hamba dengan Tuhannya.
Ayat ini juga memiliki konteks historis yang penting. Turun pada masa awal dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Surah Al-‘Alaq mencerminkan tantangan besar yang dihadapi Nabi dari kaum Quraisy. Keteguhan Rasulullah dalam beribadah, meski dihadang ancaman dari tokoh-tokoh seperti Abu Jahal, menjadi pelajaran bagi umat Islam sepanjang zaman tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Allah, terutama melalui sujud dan pendekatan spiritual.
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Makna mendalam dari sujud dan kedekatan ini juga diperkaya dengan penjelasan para ulama dan mufasir. Para ulama klasik hingga kontemporer memberikan pandangan yang mendalam tentang bagaimana sujud tidak hanya menjadi bagian dari ritual shalat, tetapi juga sarana mencapai ketenangan jiwa dan kebahagiaan hakiki. Ayat ini mengajarkan bahwa dalam setiap kesulitan, pendekatan diri kepada Allah adalah solusi utama.
Dari segi linguistik, ayat ini mengandung keindahan dan ketegasan bahasa Arab yang mencerminkan pesan spiritual yang mendalam. Analisis nahwu dan sharaf pada kata-kata “wasjud” dan “waqtarib” mengungkap dimensi perintah ilahi yang mengarahkan manusia untuk menundukkan diri secara total kepada Allah. Hal ini menunjukkan keistimewaan Al-Qur’an sebagai mukjizat dalam hal bahasa dan makna.
Selain itu, ayat ini relevan dalam kehidupan modern, di mana banyak individu merasa terasing, gelisah, dan kehilangan arah. Sujud dan pendekatan spiritual kepada Allah yang ditunjukkan dalam ayat ini menjadi solusi universal untuk meraih ketenangan hati. Ibadah bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi juga terapi jiwa dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan.
Pendekatan multidisiplin terhadap ayat ini, mulai dari tafsir, tadabbur, kajian linguistik, hingga pandangan ulama, memberikan gambaran yang utuh tentang pentingnya sujud dan kedekatan dengan Allah. Melalui tulisan ini, diharapkan pembaca dapat memahami lebih dalam makna dari perintah “Wasjud Waqtarib” serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kedekatan spiritual dengan Allah dan kebahagiaan sejati.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu
Tafsir ayat
Ayat ini merupakan bagian penutup dari Surah Al-‘Alaq, yang turun pada masa awal kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersujud sebagai bentuk ibadah, penghambaan, dan pendekatan diri kepada Allah. Ini juga merupakan respons terhadap ancaman kaum Quraisy yang menghalangi Nabi dari shalat di sekitar Ka’bah.
Sujud adalah simbol kerendahan hati manusia di hadapan Allah. Dalam sujud, manusia berada pada posisi paling rendah secara fisik tetapi paling dekat secara spiritual kepada Allah. Sementara, mendekat dalam ayat itu tidak hanya berarti secara fisik, tetapi lebih pada mendekatkan hati, jiwa, dan amal kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan pengabdian.
Ayat ini juga merupakan respons terhadap ancaman Abu Jahal yang berusaha menghalangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dari beribadah. Allah menegaskan bahwa kekuasaan sepenuhnya ada pada-Nya dan Rasulullah diperintahkan untuk terus bersujud dan mendekat kepada-Nya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah
Kandungan ayat
Ayat ini mengandung beberapa pelajaran penting antara lain; pertama, kedekatan dengan Allah. Kedekatan yang sejati dengan Allah dicapai melalui ibadah, terutama sujud. Sujud menjadi momen puncak kedekatan spiritual manusia dengan Pencipta. Kedekatan dengan Allah adalah kondisi spiritual di mana seorang hamba merasakan hubungan mendalam dengan Penciptanya melalui hati, jiwa, dan amal. Hal ini dicapai melalui ketaatan, ibadah khusyuk, dan keikhlasan. Sujud menjadi simbol puncak kedekatan, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa sujud adalah momen terdekat seorang hamba dengan Tuhannya (HR. Muslim).
Kedekatan ini juga berarti menjadikan Allah sebagai pusat hidup dan tempat bergantung. Hamba yang dekat dengan Allah merasakan ketenangan, kekuatan, dan bimbingan dalam hidup. Selain ibadah formal, kedekatan ini terwujud melalui amal shaleh, akhlak mulia, dan menjauhi dosa, yang semuanya membawa kebahagiaan sejati dan solusi atas segala masalah.
Kedua, keteguhan dalam beribadah. Walaupun ada ancaman atau gangguan, seorang mukmin tetap teguh dalam beribadah dan menyerahkan segala urusan kepada Allah. Keteguhan dalam beribadah adalah konsistensi seorang hamba dalam menjalankan kewajiban kepada Allah, meskipun menghadapi rintangan dan cobaan. Keteguhan ini mencerminkan iman yang kokoh, seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tetap beribadah meski mendapat ancaman dari Quraisy.
Baca Juga: Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya
Keteguhan ini juga berarti menjaga kualitas ibadah, bukan sekadar rutin melaksanakannya. Dalam menghadapi ujian, ibadah yang teguh menunjukkan keikhlasan dan keyakinan bahwa Allah adalah tempat bergantung, serta membentuk karakter yang sabar, kuat, dan penuh harap kepada-Nya.
Ketiga, ibadah sebagai solusi. Dalam berbagai kesulitan, solusi sejati adalah memperbanyak ibadah, karena ibadah mendekatkan diri kepada Allah dan membawa ketenangan jiwa. Ibadah sebagai solusi berarti ibadah bukan hanya kewajiban, tetapi juga cara untuk mengatasi masalah dan mendapatkan ketenangan. Dengan beribadah, seseorang mendekatkan diri kepada Allah, yang memberikan kekuatan dan petunjuk hidup. Ibadah membantu seseorang menghadapi ujian dengan sabar dan mencari solusi, baik untuk masalah duniawi maupun ketenangan batin.
Penjelasan Ulama Kontemporer
Pertama, Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi. Beliau menjelaskan bahwa perintah “sujud” di sini adalah simbol kehambaan tertinggi. Dalam sujud, seseorang merasakan kehinaan dirinya di hadapan Allah, yang justru menjadi sarana paling efektif untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-15] Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu, dan Tetangga
Kedua, Syekh Yusuf Al-Qaradawi. Menyebut bahwa ayat ini adalah pesan mendalam untuk menanamkan bahwa kekuatan spiritual dalam sujud lebih besar daripada ancaman fisik dari manusia manapun.
Ketiga, Sayyid Qutb (dalam Fi Zhilalil Qur’an). Sayyid Qutb menyoroti dimensi keberanian yang ditanamkan oleh ayat ini. Dalam konteks Nabi yang menghadapi tekanan Quraisy, ayat ini menjadi dorongan untuk tetap kokoh dalam beribadah tanpa rasa takut.
Jadi, sujud bukan sekadar gerakan fisik dalam shalat, tetapi merupakan momen paling dekat secara spiritual antara seorang hamba dengan Allah. Dalam posisi sujud, seseorang menundukkan diri sepenuhnya kepada Allah, mengekspresikan kerendahan hati, dan menyerahkan segala perasaan, kebutuhan, serta harapan kepada-Nya. Ini adalah puncak kedekatan karena dalam sujud, seorang hamba berada di posisi paling rendah secara fisik, namun paling dekat dengan Allah secara spiritual.
Keteguhan dalam beribadah menunjukkan bahwa meskipun seorang muslim menghadapi tantangan atau hambatan dalam hidup, ia tetap menjaga hubungan dengan Allah. Ibadah bukan hanya sekadar aktivitas rutin, tetapi wujud dari komitmen dan keikhlasan untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan. Konsistensi ini mencerminkan iman yang kuat, di mana seorang hamba tetap beribadah meskipun dihadapkan pada ujian atau kesulitan hidup.
Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?
Dalam dunia yang sibuk dan penuh tekanan, sujud dan ibadah kepada Allah menjadi sarana untuk mendapatkan kedamaian hati dan kebahagiaan sejati. Ketika seseorang merasa terjebak dalam rutinitas atau kesulitan hidup modern, sujud mengingatkan mereka untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, mencari ketenangan melalui ibadah, dan mendapatkan solusi spiritual. Sujud menjadi momen untuk menenangkan pikiran dan hati, serta menemukan keseimbangan dalam kehidupan yang penuh tantangan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan 47 Tahun Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina