Jakarta, 9 Syawwal 1437/14 Juli 2016 (MINA) – DR. Sukamta, anggota Komisi I DPR RI, mengatakan bahwa dalam menangani masalah penyanderaan-penyanderaan WNI yang terjadi saat ini diperlukan pendekatan baru yang komprehensif.
Hal itu disampaikannya untuk menanggapi penyanderaan tiga WNI di perairan Malaysia pada 9 Juli 2016. Aksi penyanderan yang diduga dilakukan oleh Abu Sayyaf ini tercatat sudah berulang kali dalam enam bulan terakhir. Sebelumnya ada penculikan tujuh WNI, ABK kapal TB Charles dan tongkang Robby pada 20 Juni 2016 lalu.
“Membebaskan sandera itu jangka pendek. Ibaratnya menyembuhkan sakit, fokus kepada pembebasan sandera itu cuma menyembuhkan gejalanya. Maka perlu kita sembuhkan penyebab utama penyakitnya sebagai solusi jangka panjang. Penyebab utamanya adalah soal politik internal Filipina, mungkin ada ketidakadilan dan kesenjangan pembangunan di sana. Karenanya kita desak pemerintah Filipina untuk bisa meredam konflik ini, bahkan kalau bisa “berdamai” dengan mereka. Mungkin Indonesia bisa dijadikan contoh saat menangani konflik GAM di Aceh,” kata Sukamta dalam keterangan persnya kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Rabu (13/7).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan faktor penyebab berikutnya adalah kurang amannya kawasan. Wilayah perairan perbatasan seringkali menjadi wilayah yang rawan aksi perompakan. Sehingga perlu dilakukan kerjasama lintas negara untuk sama-sama menjaga keamanan perbatasan.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Sukamta pun melanjutkan, pendekatan komprehensif jangka pendek yang bisa dilakukan adalah operasi militer bersama secara reguler yang melibatkan tentara gabungan trilateral Indonesia-Filipina-Malaysia.
“TNI dan Polri memiliki pasukan elit yang mumpuni untuk membebaskan sandera. Tapi perlu diingat bahwa tugas utama TNI dan Polri adalah membebaskan sandera. Sebisa mungkin meminimalisasi penggunaan senjata pembunuh, kecuali memang tidak ada jalan lain,” ujarnya.
Menurut Sukamta, selain operasi militer gabungan, untuk jangka panjangnya perlu dilakukan kerja sama pertahanan antarnegara, khususnya kerjasama trilateral tentang keamanan maritim.
“Dengan Malaysia, Indonesia memiliki kerjasama pertahanan bilateral bernama Elang Malindo. Demikian juga dengan Filipina, Indonesia memiliki hubungan bilateral dalam bidang pertahanan. Nah, ini diperkuat dengan kerjasama trilateral tadi,” imbuhnya.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Doktor lulusan Salford University, Manchester, Inggris ini menekankan bahwa pendekatan komprehensif jangka panjang bisa dilakukan dengan second track diplomacy maupun diplomasi dilakukan lewat pemerintah, misalnya antara Kementerian Luar Negeri, dan Pertahanan RI dengan kementerian serupa di Filipina dan Malaysia.
Selain itu diplomasi juga dilakukan lewat parlemen antara tiga negara. Tujuan perjuangan kita dengan diplomasi ini adalah kestabilan kawasan. Sebagai sesama anggota ASEAN, kita mendorong dan memberi masukan kepada pemerintah Filipina agar bisa menyelesaikan konflik dengan MNLF, MILF dan kelompok Abu Sayyaf yang sudah berkepanjangan ini.
“Tapi kita musti tetap waspada, jangan sampai kita terseret arus perang yang bukan perang kita. Jangan sampai kasus-kasus penyanderaan yang berulang ini mengalihkan fokus perhatian kita dari potensi konflik yang sesungguhnya lebih besar seperti Natuna, Laut Tiongkok Selatan, dan seterusnya,” tambah wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini. (T/R05/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka