Jakarta, 28 Shafar 1438/28 November 2016 (MINA) – Rancangan Undang-undang perbaikan terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elekronik (RUU ITE) yang telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI hari Kamis (27/10), sudah berlaku mulai hari ini 28 November 2016.
Sukamta, anggota Komisi I DPR RI, menyatakan, revisi UU ITE ini lebih manusiawi dan dapat membentuk bangsa yang beradab. Dia menilai spirit utama dari revisi UU ITE ini ada dua, yakni dari sisi masyarakat dan dari sisi pemerintah.
“Dari sisi masyarakat adalah agar kebebasan mereka dalam mengeluarkan pendapat secara sopan dan santun serta menikmati internet sehat tetap terjaga dengan baik. Kebebasan berpendapat dijamin, tetapi tetap tidak boleh melanggar hak orang lain, berperilaku buruk dengan memfitnah orang, dan sbagainya. Sedangkan dari sisi pemerintah, agar negara tidak dengan mudah menahan seseorang lantaran sikap kritisnya kepada kebijakan publik,” kata Sukamta di Jakarta, sebagaimana keterangan pers yang diterima Mi’raj Islmaic news Agency (MINA), Senin (28/11).
Sekretaris FPKS ini menjelaskan revisi UU ITE ini manusiawi karena menjamin hak-hak masyarakat dalam hal ini para netizen. Ancaman pidana diperingan untuk pencemaran nama baik dari maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 750 juta. Demikian juga dengan pasal 29 tentang ancaman kekerasan diperingan pidananya dari maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 2 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.
Baca Juga: Syeikh El-Awaisi: Cinta di Balik Nama Baitul Maqdis
“Implikasi hukumnya, jika sebelumnya ancaman penjara maksimal 6 tahun menjadikan pasal pencemaran nama baik dan pasal ancaman kekerasan sebagai tindak pidana yang masuk dalam kategori KUHAP Pasal 21 ayat (4a) bahwa untuk tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun lebih, pelaku terduga dapat langsung ditahan oleh aparat penegak hukum, maka dengan UU ITE yang baru penahanan tidak dapat dilakukan sampai ada putusan tetap dari pengadilan bahwa ia divonis bersalah. Jadi dengan UU ITE yang baru, pemerintah tidak bisa main tahan saja seperti sebelumnya,” ujarnya.
Sukamta melanjutkan, di dalam revisi UU ITE Pasal 26 juga diatur soal right to be forgotten, semacam rehabilitasi nama dalam dunia ITE. Misalnya seseorang yang namanya diberitakan negatif karena diduga melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, lalu pengadilan memutuskan bahwa dia tidak bersalah, maka semua berita yang menyatakan bahwa dia diduga melanggar hukum wajib dihapus oleh penyedia konten internet, sehingga rekam jejaknya kembali bersih.
“Ini kan lebih manusiawi,” kata Sukamta. Selain itu, lanjut dia, masyarakat lebih dijamin untuk dapat menikmati internet sehat karena dalam UU ITE Pasal 40 diatur juga soal pemblokiran konten-konten ilegal. Sehingga dengan begitu diharapkan masyarakat hanya tersuguhi informasi-informasi yang sehat, mencerdaskan, membangun, valid dan bermanfaat.
“Pasal pencemaran nama baik memang menjadi topik utama dalam revisi ini, tapi jangan lantas itu mengesampingkan hal-hal penting lain yang lebih besar, bahwa revisi UU ITE adalah bentuk respon DPR dan pemerintah atas perkembangan dunia teknologi yang demikian pesatnya, khususnya teknologi informasi. Kemajuan teknologi memang tidak bisa dibendung, tapi bisa diatur. Pengaturan ini dilakukan agar dunia maya, sama dengan dunia nyata, yaitu sama-sama sehat. Semoga dunia maya kita menjadi dunia yang beradab, bukan seperti rimba raya,” harap wakil rakyat Dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta ini. (L/R05/R03)
Baca Juga: Tinjau Program Bantuan di Herat, MER-C Kirim Tim ke Afghanistan
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)