Oleh: Rifa Berliana Arifin, Kared MINA Arab
Pemimpin Negara Oman Sultan Qaboos bin Said wafat, Sabtu (11/1), setelah berkuasa selama hampir 50 tahun sejak tahun 1970 melalui kudeta tak berdarah. Dengan bantuan Inggris, Qaboos yang adalah alumnus Royal Military Academy Sandhurst, Inggris, mengudeta ayahnya sendiri, Sultan Said bin Taimur. Ia adalah satu-satunya anak sang sultan.
Kudeta itu dilakukan karena Sultan Said dianggap sangat lelet, tidak tegas, dan tidak visioner dalam memajukan dan memakmurkan masyarakat serta dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial-politik yang menimpa Oman.
Oman atau saat itu disebut Muskat di bawah kendali sang ayah menghadapi sejumlah problem akut; kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan perang. Kemelaratan merajalela, kebodohan, pengangguran di mana-mana, sarana-prasarana pendidikan tidak ada, infrastruktur minim, fasilitas kesehatan nyaris tak ada.
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun
Jalan aspal hanya membentang sepanjang enam kilometer. Kehidupan masyarakat tergantung pada pertanian dan perikanan yang ala kadarnya plus bantuan Inggris. Sudah begitu, kekacauan dan pemberontakan meletus di mana-mana. Yang paling besar adalah “Pemberontakan Dhofar” (1962-1976) yang didukung oleh kaum Komunis Yaman Selatan.
Setelah sukses mengudeta damai ayahnya pada usia 30 tahun, Qaboos yang lahir pada tahun 1940 itu kemudian melakukan berbagai gebrakan penting. Ia menggunakan duit minyak untuk memodernkan, memajukan, dan memakmurkan Oman.
Infrastruktur digarap, sekolah dan kampus didirikan, rumah sakit dibangun, jaringan telekomonikasi dikerjakan, pusat-pusat perekonomian dikerjakan dengan serius, bandara & terminal digarap dengan seksama, jalan raya dibangun hingga ribuan kilometer.
Bukan hanya itu saja, Qaboos yang pecinta musik klasik dan orkestra itu juga mengubah nama Kesultanan Muscat dan Oman menjadi Kesultanan Oman, membuat mata uang nasional, menginisiasi landasan konstitusi bagi negara, dan masih banyak lagi pembaharuan dan prestasi yang dibuatnya. Qaboos juga terkenal sebagai figur yang dermawan. Pula, ia sukses mengakhiri pemberontakan komunis Yaman dan Perang Sipil.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Visi keagamaan Qaboos dinilai sangat toleran & pluralis. Banyak gereja Katolik maupun Protestan yang ia bangun lantaran banyak populasi Kristen di Oman. Begitu pula pura karena banyak juga migran Hindu dari India di sini. Dan juga umat agama lain seperti Budha, Bahai. Tak heran jika Oman menjelma menjadi rumah bagi beragam kelompok agama dan sekte keagamaan.
Kepergian Sultan Qaboos bin Said bukanlah berita besar bagi orang Indonesia. Tapi bagi pemerhati dunia Timteng, perkembangan ini akan berpengaruh pada situasi geopolitik.
Oman menjadi negara “friend of all, enemy of none”. Oman tidak ambil bagian dalam perang dingin Arab Saudi vs Iran, bahkan ia menjadi mediator bagi banyak konflik karena Oman menjadi teman bagi semua negara Arab Teluk.
Semua itu adalah hasil darr upaya yang membuahkan keberhasilan Sultan Qaboos yang memerintah sejak 1970, setelah mendapat kemerdekaan dari Inggris. Oman mempunyai hubungan baik dengan Saudi, baik dengan Iran, baik dengan India, baik dengan Pakistan, baik dengan Qatar, baik dengan UEA, baik dengan Turki, baik dengan Israel, baik dengan AS, baik dengan Rusia.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Karena jerih payahnya Sultan Qaboos, Oman menjadi negara yang relatif damai dan makmur, tak ada gejolak sosial yang berarti.
Sayang, Sultan Qaboos tak punya keturunan, meskipun sudah menikah dua kali. Menjadi teka-teki siapa gerangan yang akan ditunjuk oleh “keluarga Al Said” untuk menggantikannya. Desas-desus Haitham bin Tariq Al Said yang akan menggantikannya.
Apakah penerus Sultan Qaboos memiliki kebijaksanaan yang sama dalam menjaga hubungan dengan kekuatan regional masih merupakan tanda tanya. Tapi yang pasti Oman perebutan pengaruh antara negara-negara seperti Arab Saudi, Iran dan Turki akan terlihat dalam waktu dekat ini di Oman.(A/RA-1/P1)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham