Sultan Qaboos Sosok Penyeimbang di Kawasan Teluk

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA 

Umat Islam dan dunia turut berduka atas wafatnya Sultan Qaboos bin Saeed Al-Saeed (79), pada Jumat malam (10/1/2020).

Pernyataan Kesultanan menambahkan, dengan kemurahan hatinya dan pengaruhnya yang luas ke dunia Arab, Muslim dan seluruh dunia.

Keluarga Kerajaan Sabtu mengumumkan Haitham bin Tariq al-Said sebagai Sultan baru, seorang sepupu mendiang. Qaboos tidak mempunyai putra.

Masa berkabung selama tiga hari telah diumumkan di Oman, dan bendera negara itu akan dikibarkan setengah tiang selama 40 hari.

Dia telah sakit dalam beberapa waktu terakhir, dan diyakini menderita kanker usus besar. Dia sebelumnya sempat berobat ke Jerman dan Belgia untuk menjalani perawatan medis.

Masa Muda

Sultan Qaboos, adalah raja Arab yang paling lama berkuasa. Dia memerintah Oman sejak tahun 1970, atau sekitar 50 tahun.

Qaboos bin Saeed bin Taymur bin Saeed Al Busaidi lahir pada 18 November 1940 di Salalah, Provinsi Dhofar, di bagian selatan Oman.

Ia adalah Sultan kedelapan dari dinasti Al-Busaid, dan garis keturunannya dikaitkan dengan pendiri pertama Kesultanan Oman, Imam Ahmed bin Saeed.

Dia mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Saidiya di kota Salalah. Ia juga dididik secara privat oleh para profesor yang mengkhususkan diri dalam pengajaran bahasa Arab dan prinsip-prinsip agama Islam.

Sultan Qaboos kecil mempunyai hobi menunggang kuda, memanah, membaca dan fotografi.

Setamat sekolah menengah atas, ayahnya mengirimnya pada tahun 1958 ke Inggris, untuk menempuh pendidikan perwira militer di Sandhurst dan bergabung dengan Angkatan Darat Inggris.

Setelah lulus dengan pangkat letnan dua, ia ditugaskan ke Batalyon 1 The Cameronians (Scottish Rifles) dan bertugas di Jerman selama setahun.

Ia kembali ke Inggris, dan melanjutkan belajar tentang sistem administrasi pemerintahan.

Dia kembali ke Oman pada tahun 1966. Namun oleh ayahnya Qaboos muda justru ditempatkan di rumah saja dan dijauhkan dari urusan pemerintahan.

Berseberangan dengan kepemimpinan ayahnya dan dengan keinginannya mengadakan reformasi, ia melancarkan kudeta damai terhadap sang ayah pada tahun 1970. Media menyebutkan, ia naik tahta direncanakan oleh pasukan keamanan Inggris dan Perdana Menteri Harold Wilson.

Ia berkuasa mulai tanggal 23 Juli 1970. Sementara ayahnya mengasingkan diri ke London, hingga wafat di sana tahun 1972.

Kebijakan Sultan

Kebijakan awal Qaboos saat menjadi Sultan adalah segera mengubah bendera dan mata uang. Sultan juga memanggil beberapa diplomat lokal dan yang tinggal di luar negeri, untuk kembali dan berkontribusi pada pemerintah.

Ia menunjuk Perdana Menteri untuk pertama kalinya pada periode 1970-1971

Ia fokus pada pengembangan negara yang selama ini kurang dalam hal infrastruktur, seperti pembangunan jalan, sekolah, dan rumah sakit.

Sultan seringkali terjun langsung dari desa ke desa, dan dia menyampaikan pidato mingguan melalui radio, untuk menjangkau semua segmen masyarakat.

Pada awal pemerintahannya, ia menghadapi revolusi komunis Marxis di Dhofar di selatan. Hingga ia melenyapkannya pada tahun 1975 dengan dukungan Shah Iran Reza Pahlevi yang mengirim sekitar tiga ribu tentara ke Oman.

Penyeimbang Kawasan

Oman terletak di Selat Hormuz yang strategis, sehingga rentan terhadap peningkatan ketegangan regional, terutama setelah Presiden Trump secara sepihak menarik AS dari perjanjian nuklir 2015 dengan Iran.

Di bawah Sultan Qaboos, Oman mengatasi ketegangan itu dengan tetap netral, menghindari beberapa sikap yang lebih konfrontatif dari para mitranya di Dewan Kerjasama Teluk dan menjunjung tinggi hubungan dengan Iran dan pemerintah Assad di Suriah.

Oman juga lebih memilih tidak bergabung dengan koalisi Arab Saudi saat memerangi pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman.

Ia lebih berperan sebagai mediator untuk pembicaraan antara kedua pihak pada 2018.

Oman juga berfungsi sebagai tempat untuk pembicaraan rahasia antara Iran dan AS pada tahun 2013 yang mengarah pada perjanjian nuklir 2015.

Pada Oktober 2018, Sultan Qaboos menjamu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Muscat, sebuah kunjungan yang jarang dilakukan oleh seorang pemimpin Israel ke salah satu negara Teluk, yang sebagian besar menghindari hubungan diplomatik dengan Israel.

Sultan Qaboos berbincang dengan Raja Saudi Abdullah bin Abdul Aziz Al Saud dan dengan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada upacara pembukaan Dewan Kerjasama Teluk ke-28 di Doha, Qatar, pada bulan Desember 2007.

Tidak seperti beberapa Negara tetangganya, ia tidak menghadapi konflik sektarian atau pertempuran dengan ekstrimis Islam. Di Oman, negara berpenduduk sekitar empat juta, Muslim Sunni dan Syiah hidup berdampingan dengan damai, dan perbedaan antara keduanya tidak dibesar-besarkan.

Dalam pidato Oktober 2011, Sultan Qaboos berbicara tentang pentingnya stabilitas dan keamanan, serta memastikan generasi muda tidak jatuh ke “jurang gagasan yang menyerukan kekerasan, ekstremisme, kebencian dan fanatisme.” Seperti dikutip Times of Oman.

Sultan Qaboos juga aktif jadi pemersatu suku-suku dan komunitas yang terpecah belah dari pedalaman pegunungan, wilayah pesisir dan Dhofar.

Akhir Hayat

Ia menikah pada tahun 1976, tetapi hingga akhir hayatnya ia tidak memiliki anak.

Kerabat terdekatnya saat ini adalah sepupunya, dan ia sudah menunjuk lima pejabat tinggi ke dewan yang akan terlibat dalam mengkonfirmasi sultan baru jika dirinya wafat.

Di bawah undang-undang Oman disebutkan, jika keluarga kerajaan gagal menyepakati penggantinya, posisinya kemudian akan jatuh kepada orang yang namanya ada dalam surat wasiat tertutup yang ditulis oleh Qaboos.

Pengamat Oman mengatakan tiga sepupu sultan, Assad, Shihab dan Haitham bin Tariq al-Said, memiliki peluang untuk menjadi Sultan Oman penerus Qaboos.

Ternyata Qaboos memilih Haitham seperti ditulis dalam surat wasiatnya. T/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.