DI TENGAH hiruk-pikuk Surabaya yang modern hari ini, ada sebuah tempat yang masih menyimpan ketenangan spiritual mendalam—Kompleks Makam Sunan Ampel. Di sinilah dimakamkan seorang tokoh besar, ulama pembawa cahaya Islam yang mengubah wajah spiritual Nusantara: Raden Rahmat, lebih dikenal dengan Sunan Ampel. Namanya tidak sekadar dikenang dalam sejarah, tetapi hidup dalam denyut dakwah, pendidikan, dan akhlak yang ia tanamkan berabad-abad silam.
Sunan Ampel lahir di Champa—sebuah kerajaan yang kini termasuk wilayah Vietnam—sekitar awal abad ke-15. Ia merupakan keturunan bangsawan dan ulama besar; ayahnya, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), adalah penyebar Islam pertama di Jawa. Sejak muda, Raden Rahmat sudah dibekali ilmu agama, bahasa Arab, dan kemampuan berdakwah. Tapi bukan hanya ilmu yang menjadi kekuatannya—melainkan akhlak mulia dan kelembutan hatinya. Dakwah baginya bukan hanya soal kata-kata, tapi juga tentang teladan dan kasih sayang.
Ketika Raden Rahmat tiba di Jawa, ia disambut oleh masyarakat yang masih kental dengan adat Hindu-Buddha. Namun, bukannya menentang atau mencela keyakinan mereka, Sunan Ampel memilih jalan yang halus: mengajak dengan hikmah dan kelembutan. Ia mendekati masyarakat lewat budaya, bahasa, dan kehidupan sehari-hari. Ia tahu bahwa hati manusia tidak bisa dibuka dengan pedang, tetapi dengan kasih dan kebijaksanaan. Inilah yang menjadikan dakwahnya begitu berpengaruh.
Salah satu warisan terbesar Sunan Ampel adalah pendirian Pesantren Ampel Denta di Surabaya. Di tempat inilah cikal bakal sistem pendidikan Islam di Nusantara bermula. Santri-santrinya tidak hanya belajar membaca Al-Qur’an dan fiqih, tetapi juga belajar tentang tanggung jawab sosial, akhlak, dan kepemimpinan. Dari pesantren inilah lahir para ulama besar, termasuk Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga—tiga di antara Wali Songo yang kemudian meneruskan estafet dakwah Islam di Jawa.
Baca Juga: Atif Dudakovic; Bosnia dan Gaza
Metode dakwah Sunan Ampel dikenal sangat visioner. Ia menanamkan konsep “Moh Limo”—tidak melakukan lima hal tercela: ora madat, ora main, ora maling, ora minum, ora madon (tidak memakai narkoba, tidak berjudi, tidak mencuri, tidak minum khamr, dan tidak berzina). Prinsip ini menjadi gerakan moral dan sosial yang membentuk fondasi akhlak masyarakat muslim di Jawa. Dakwahnya bukan hanya mengislamkan individu, tetapi juga membangun peradaban berbasis moral dan keadilan.
Sunan Ampel juga dikenal sebagai arsitek spiritual Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Ia menjadi penasihat utama Raden Patah, sultan pertama Demak yang juga merupakan murid sekaligus menantunya. Dengan kebijaksanaan dan ketegasan moralnya, Sunan Ampel menanamkan nilai-nilai Islam dalam pemerintahan: keadilan, kesejahteraan rakyat, dan kepemimpinan yang berorientasi ibadah. Ia tidak haus kekuasaan, tapi berjuang agar kekuasaan menjadi sarana menegakkan kebenaran.
Di balik perannya sebagai ulama dan guru bangsa, Sunan Ampel juga seorang pembaharu sosial. Ia melihat bahwa untuk menegakkan Islam, masyarakat harus memiliki ekonomi yang mandiri. Maka ia mengajarkan kemandirian, perdagangan jujur, dan etika bisnis Islami. Santri-santrinya didorong untuk berusaha, bukan bergantung. Dalam pandangan beliau, dakwah bukan hanya di mimbar, tetapi juga di pasar. Islam harus hidup dalam kerja keras dan kejujuran sehari-hari.
Yang membuat sosok Sunan Ampel begitu menyentuh adalah kerendahan hatinya. Meski memiliki pengaruh besar, ia hidup sederhana, bersahaja, dan selalu bergaul dengan rakyat kecil. Ia tidak membangun istana, tetapi membangun hati manusia. Ia tidak mencari pujian, tetapi ingin agar Islam tumbuh di bumi Jawa dengan damai dan bermartabat. Dalam setiap nasihatnya, selalu terselip kalimat yang menggetarkan: “Aja adigang, adigung, adiguna — jangan sombong dengan kekuasaan, kebesaran, atau kepandaian.”
Baca Juga: Abu Paya Pasi; Ulama Kharismatik Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Aceh
Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M, seluruh murid dan masyarakat Jawa berduka. Namun, ajarannya tidak mati. Ia meninggalkan warisan yang lebih berharga dari emas dan permata: peradaban Islam yang berakar kuat dalam budaya Nusantara. Dari pesantren kecil di Ampel Denta, lahirlah jaringan ulama dan pesantren yang hingga kini menjadi benteng moral bangsa.
Kini, lebih dari lima abad kemudian, setiap peziarah yang datang ke makamnya merasakan keteduhan yang sama—seolah ruh dakwahnya masih menyapa setiap hati yang datang dengan niat mencari ilmu dan petunjuk. Di tengah dunia yang kian materialistis dan penuh fitnah, keteladanan Sunan Ampel mengingatkan kita bahwa perubahan besar selalu dimulai dari hati yang ikhlas dan amal yang tulus.
Ia bukan hanya “Wali” dalam arti spiritual, tapi juga guru bangsa—yang mengajarkan bahwa ilmu harus melahirkan akhlak, kekuasaan harus menegakkan keadilan, dan dakwah harus menebar kasih. Sunan Ampel telah menanam benih iman dan peradaban di tanah Jawa, yang hingga kini masih tumbuh subur di hati umat Islam Indonesia.
Sosoknya mengajarkan bahwa menjadi pejuang agama tidak selalu dengan pedang atau politik, tapi dengan kesabaran, pendidikan, dan cinta. Ia adalah cermin bahwa kebijaksanaan bisa menaklukkan zaman, dan akhlak mulia mampu menembus batas sejarah. Dari Surabaya hingga seluruh Nusantara, sinar dakwah Sunan Ampel akan terus hidup—menuntun setiap jiwa yang rindu kepada Allah dan kebenaran.[]
Baca Juga: Raden Ipik Gandamanah, Pejuang yang Hidup Bersahaja
Mi’raj News Agency (MINA)