DI ANTARA deretan Wali Songo yang menjadi cahaya penyebaran Islam di bumi Nusantara, nama Sunan Bonang — atau Makhdum Ibrahim — bersinar dengan keindahan yang khas. Ia bukan hanya seorang penyebar agama, tetapi seorang seniman ruhani, yang mengubah hati manusia bukan melalui pedang atau paksaan, melainkan lewat nada, tutur, dan cinta. Sosoknya mengajarkan bahwa dakwah sejati bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang menyentuh jiwa manusia dengan kelembutan dan kebijaksanaan.
Sunan Bonang lahir dari rahim keluarga mulia. Ayahnya adalah Sunan Ampel, sang pembimbing para wali, dan ibunya adalah putri dari kerajaan Tumapel. Sejak kecil, Makhdum Ibrahim tumbuh dalam lingkungan ilmu dan iman. Namun, yang membuatnya berbeda adalah jiwanya yang halus dan kontemplatif. Ia tak hanya mempelajari ilmu syariat dan tasawuf, tetapi juga menggali seni dan budaya masyarakat Jawa. Baginya, dakwah harus bisa dirasakan, bukan hanya didengar. Maka ia pun memadukan keindahan Islam dengan harmoni budaya lokal tanpa mengurangi kemurnian aqidahnya.
Nama “Bonang” berasal dari alat musik tradisional Jawa — semacam gamelan kecil — yang kerap ia gunakan untuk berdakwah. Melalui seni gamelan dan tembang suluk, ia menyampaikan pesan-pesan tauhid dengan cara yang lembut dan menggetarkan. Lagu-lagunya bukan sekadar hiburan, melainkan doa yang berirama, yang mengundang orang untuk merenung dan kembali kepada fitrahnya. Banyak orang Jawa kala itu mengenal Islam melalui lantunan suluk ciptaannya, seperti “Tombo Ati”, yang hingga kini masih sering dinyanyikan di surau dan pesantren.
Makhdum Ibrahim bukan hanya seorang ahli ilmu dan seni, tetapi juga seorang penuntun hati. Ia tahu betul bahwa manusia tidak cukup digerakkan oleh logika; manusia harus disentuh hatinya. Karena itu, dalam dakwahnya, ia mencontohkan kasih sayang, kesabaran, dan ketulusan. Tak heran jika banyak orang dari berbagai latar belakang — bangsawan, rakyat jelata, hingga para penganut kepercayaan lama — jatuh hati pada ajaran Islam yang ia sampaikan. Dakwahnya mengalir seperti air, menyejukkan tanpa memaksa.
Baca Juga: Prof. Omar Yaghi, Seorang Pengungsi Palestina yang Menangkan Hadiah Nobel Bidang Kimia
Sunan Bonang juga dikenal sebagai sosok yang mendidik para muridnya dengan penuh hikmah. Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Raden Paku (Sunan Giri), yang kelak menjadi tokoh besar penyebaran Islam di Jawa Timur. Dalam mendidik, Bonang tidak sekadar memberikan ilmu, tetapi juga membangun karakter spiritual. Ia menanamkan keyakinan bahwa seorang da’i sejati harus memiliki kesucian niat dan keteguhan hati. Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab adalah gelap, dan dakwah tanpa cinta hanyalah suara tanpa jiwa.
Keagungan Sunan Bonang terletak pada kemampuannya mengharmonikan dua dunia: dunia lahir dan batin, dunia Islam dan budaya Jawa. Ia mampu menunjukkan bahwa Islam bukan ancaman bagi budaya, tetapi penyempurna bagi tradisi yang luhur. Ia menyaring budaya lokal, mengambil yang baik dan membuang yang bertentangan dengan tauhid. Dari tangan dan hatinya, lahirlah wajah Islam yang ramah, lembut, dan menenangkan.
Dalam pandangan spiritual, Sunan Bonang adalah simbol ulama yang berjiwa sufi — zuhud terhadap dunia, namun aktif di tengah masyarakat. Ia hidup sederhana, tapi pikirannya luas. Ia lebih suka menghabiskan waktu dalam zikir, tafakur, dan mendampingi rakyat kecil. Ia tak haus pujian, karena yang ia cari hanyalah ridha Allah. Ketika dunia tergoda oleh kemegahan, Bonang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati ada dalam ketenangan hati yang mengenal Allah.
Sosok Sunan Bonang mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan dakwah tidak terletak pada suara lantang, tetapi pada ketulusan yang tak tergantikan. Ia adalah teladan bagi setiap pendidik, penulis, dan da’i zaman ini: bahwa untuk mengubah manusia, kita harus terlebih dahulu menghidupkan cinta dalam hati. Karena cinta yang bersumber dari Allah akan menembus segala perbedaan, dan menjadikan dakwah sebagai jembatan kasih, bukan tembok pemisah.
Baca Juga: Sunan Ampel: Pelita Peradaban Islam di Tanah Jawa
Kini, berabad-abad setelah kepergiannya, ajaran dan nilai-nilai Sunan Bonang masih bergema di bumi Nusantara. Dari pesantrennya di Tuban, dari syair-syair suluknya yang dilantunkan dalam malam sunyi, hingga dari hati orang-orang yang merindukan kedamaian, kita seolah mendengar pesan lembutnya: “Hidup bukan untuk dihormati, tapi untuk memberi manfaat. Dakwah bukan untuk menundukkan manusia, tapi untuk menundukkan ego agar tunduk kepada Allah.”
Warisan Sunan Bonang bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi cahaya bagi jiwa yang mencari arah. Ia adalah teladan abadi tentang bagaimana ilmu, seni, dan cinta bisa berpadu menjadi kekuatan dakwah yang menembus zaman. Semoga semangat dan keikhlasan Makhdum Ibrahim menginspirasi setiap hati untuk terus berjalan di jalan kebenaran, dengan lembut, sabar, dan penuh cinta.[]
Mi’raj News Agency *MINA)
Baca Juga: Atif Dudakovic; Bosnia dan Gaza