Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sunan Drajat: Dakwah Kasih Sayang yang Menyentuh Hati

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 3 jam yang lalu

3 jam yang lalu

9 Views

Ilustrasi foto Sunan Drajat (Foto: ig)

DI TENGAH semilir angin pesisir utara Jawa, tepatnya di daerah Paciran, Lamongan, berdiri sosok ulama agung yang dikenal dengan nama Sunan Drajat, atau Raden Qasim. Ia bukan hanya seorang penyebar Islam, tetapi juga pelita bagi kaum miskin, penyejuk bagi hati yang gersang, dan guru bagi jiwa yang haus akan kasih sayang. Dakwahnya lembut, namun menghunjam. Ia tidak berteriak di mimbar, tapi berbicara lewat tindakan nyata yang menyentuh kalbu.

Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel, seorang wali besar dari Surabaya. Ibunya adalah Dewi Candrawati, yang terkenal lemah lembut dan penyayang. Sejak kecil, Raden Qasim telah menyerap nilai-nilai kasih, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial dari kedua orang tuanya. Ia tumbuh bukan hanya dengan ilmu agama, tetapi juga dengan kepedulian mendalam terhadap penderitaan sesama.

Saat remaja, Raden Qasim berguru kepada ayahandanya, Sunan Ampel, bersama kakaknya, Raden Paku (Sunan Giri). Keduanya dikenal sangat cerdas dan berakhlak mulia. Namun ada yang berbeda dari Raden Qasim: ia lebih banyak diam, mengamati, dan menolong secara diam-diam. Ia menemukan bahwa dakwah bukan hanya kata, tetapi perbuatan yang menghidupkan hati.

Ketika dewasa, ia memilih menetap di daerah pesisir Lamongan, tempat masyarakat hidup miskin dan terpinggirkan. Tanah yang tandus, laut yang tak selalu bersahabat, serta kesenjangan sosial yang tinggi menjadi tantangan dakwahnya. Namun, di situlah Sunan Drajat membangun peradaban dengan kasih dan kerja nyata.

Baca Juga: Tiga Ulama, Satu Napas Keilmuan Pesantren Lirboyo

Ia tidak memulai dakwah dengan dalil-dalil rumit atau ancaman azab. Sebaliknya, ia mendekati rakyat dengan amal sosial. Ia mendirikan lumbung pangan bagi fakir miskin, mengajarkan keterampilan bertani, berdagang, dan melaut. “Orang lapar tak bisa diajak berzikir,” katanya. Baginya, menyantuni yang lemah adalah bagian dari tauhid sosial, bukti keimanan yang hidup.

Falsafah hidupnya begitu sederhana namun dalam maknanya, “Wenehana wong kang wuto, wenehana pangan wong kang luwe, wenehana sandang wong kang wudo, pitulunga wong kang kesrakat, tulungana wong kang kapiran.”

Artinya: “Berilah makan orang yang lapar, pakaian bagi yang telanjang, tolonglah yang lemah, dan bantu mereka yang tertimpa musibah.”

Inilah ajaran Islam sosial yang diwariskan Sunan Drajat — ajaran yang menumbuhkan cinta, bukan rasa takut.

Baca Juga: Sunan Bonang, Sang Penuntun Jiwa yang Mengharmonikan Cahaya Islam dan Budaya Nusantara

Sunan Drajat mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari hartanya, tetapi dari sejauh mana ia bermanfaat bagi sesama. Ia sering turun langsung membantu masyarakat membangun rumah, memperbaiki perahu, bahkan memikul beras untuk fakir miskin. Dari keteladanannya, masyarakat belajar bahwa Islam bukan agama yang eksklusif, melainkan rahmat bagi seluruh makhluk.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai inovator pendidikan sosial. Ia membuat papan piwulang, semacam media dakwah berbentuk papan kayu bertuliskan ajaran moral. Di antaranya tertulis, “Mulat sarira hangrasa wani” — artinya, “Introspeksi diri sebelum menilai orang lain.” Dengan cara ini, ia menanamkan akhlak mulia dengan metode sederhana tapi efektif.

Pendekatannya dalam berdakwah sangat berbeda dengan sebagian wali lainnya. Jika Sunan Kalijaga menggunakan seni dan budaya, maka Sunan Drajat menekankan pemberdayaan sosial dan ekonomi. Ia mengajarkan bahwa keimanan harus tercermin dalam kehidupan nyata — dalam kerja keras, kejujuran, dan kepedulian.

Masyarakat pesisir yang awalnya miskin dan putus asa, perlahan bangkit menjadi umat yang berdaya. Mereka mulai mengenal Islam bukan hanya sebagai ritual, tapi sebagai sistem hidup yang memuliakan manusia. Sunan Drajat menanamkan bahwa sedekah bukan sekadar memberi, tetapi cara untuk menyucikan hati dari keserakahan.

Baca Juga: Prof. Omar Yaghi, Seorang Pengungsi Palestina yang Menangkan Hadiah Nobel Bidang Kimia

Dalam pandangan Sunan Drajat, dakwah tanpa cinta adalah kosong. Karena itu, ia selalu mendahulukan kelembutan daripada kecaman. Saat ada yang berbuat salah, ia tidak menghukumnya dengan marah, melainkan membimbing dengan kasih. “Air kasih dapat memadamkan api dosa,” begitu prinsip hidupnya. Dari sinilah muncul istilah Dakwah kasih sayang yang menjadi warisan moralnya.

Ia juga sangat menghormati perempuan dan anak-anak. Dalam setiap majelisnya, ia selalu menekankan pentingnya pendidikan keluarga, terutama bagi kaum ibu. Menurutnya, ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Bila perempuan kuat dalam iman dan ilmu, maka bangsa akan terangkat derajatnya. Pandangan ini jauh melampaui zamannya.

Meski dikenal lembut, Sunan Drajat tegas terhadap kemungkaran. Ia menentang perbudakan, penindasan, dan perilaku tamak para bangsawan. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sejati bukan pada tahta, tapi pada kemampuan menebar manfaat. “Kaya yang sejati adalah yang kaya hati,” ujarnya suatu kali di hadapan murid-muridnya.

Hingga kini, makam Sunan Drajat di Lamongan tak pernah sepi peziarah. Bukan karena ia dianggap keramat secara mistik, melainkan karena nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayangnya yang abadi. Orang datang bukan hanya berdoa, tapi juga belajar bagaimana menjadi manusia yang lebih peduli, lebih lembut, lebih berarti bagi sesama.

Baca Juga: Sunan Ampel, Pelita Peradaban Islam di Tanah Jawa

Sunan Drajat meninggalkan warisan yang tak lekang oleh waktu — warisan cinta, amal, dan kepedulian. Ia mengajarkan bahwa dakwah bukan sekadar mengubah keyakinan, tetapi menghidupkan nurani. Dalam dunia yang semakin individualistik, ajaran Sunan Drajat adalah oase: bahwa Islam sejati bukan hanya di lisan dan ibadah, tapi di tangan yang memberi dan hati yang mengasihi.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Atif Dudakovic; Bosnia dan Gaza

Rekomendasi untuk Anda

Khutbah Jumat
Sosok
MINA Edu