Sunnah Puasa Syawwal dan Tatacaranya

Ansaf Muarif Gunawan (Foto: MINA/Lajnah Wilayah Jambi)

Oleh: , Wartawan Kantor Berita MINA

Alhamdulillah kita baru saja menyelesaikan puasa , pada bulan penuh berkah yang baru saja meninggalkan kita. Tentu kita berharap seluruh rangkain ibadah kita diterima Allah, baik ibadah wajib maupun sunnah dengan penerimaan yang terbaik.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima segala amal-amal kebaikan, mengampuni segala dosa-dosa kita dan menaikkan derajat kita menjadi derajat yang muttaqin.

Sebagaimana ini tujuan dari ibadah puasa yang baru saja kita tinggalkan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Pada akhir ayat ini, dalam menjelaskan tujuan puasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala  menggunakan kata la’alla (لعلّ) yang secara bahasa berarti semoga, supaya atau agar. Artinya agar orang beriman memperoleh ketakwaan, haruslah melaksanakan puasa dengan keimanan dan hanya mengharapkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Selanjutnya, setelah kita menuntaskan puasa Ramadhan, saat ini kita memasuki bulan Syawwal 1445 H. Ada rangkain ibadah di bulan Syawwal, khususnya ibadah sunnah yang kita awali dengan shalat Idul Fitri di hari pertama, senantiasa memperbanyak takbir dan tahmid serta membangun silaturrahim, kemudian puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal.

Cara dan Keutamaanya

Pertama, niatkan puasa syawwal atau puasa enam hari setelah hari raya idul fitri yang hukumnya sunnah. Namun Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat menganjurkan karena mendatangkan pahala selama setahun penuh. Keutamaan dari puasa Syawal tersebut disebutkan dalam hadist.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka baginya (pahala) puasa selama setahun penuh.” (HR Muslim).

Hadits lain:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ وَ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا .

“Barangsiapa berpuasa Ramadan dan enam hari sesudah Idul Fitri, maka itu sama pahalanya dengan puasa genap setahun. Dan barangsiapa melakukan satu kebaikan, maka ia akan memperoleh (pahala) sepuluh kali lipat.”

Meskipun puasa syawal tidak bersifat wajib, alias memiliki ketetapan hukumnya sunnah, puasa syawal yang berlangsung enam hari ini bisa memberikan banyak sekali pahala yang berlimpah bagi siapapun yang menjalankannya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, pahala dari puasa syawwal yang kita jalankan selama enam hari di bulan syawal ini setara dengan puasa selama satu tahun.

Kedua, diutamakan dikerjakan secara berurutan. Puasa syawal diutamakan dijalankan secara berurutan. Namun, jika tidak bisa dikerjakan secara berurutan, maka niat puasa syawal bisa dikerjakan secara terpisah-pisah.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata bahwa “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.”

Dai Kondang Ustaz Adi Hidayat (UAH) dalam channel You Tobe Adi Hidayat Official mengatakan “Puasa syaawal di utamakan dilakukan secara beruntun, tapi kalau belum mampu melaksanakan secara berturut-turut mungkin ada kegitan lain yang belum bisa kita tinggalkan, misalnya membangun kembali silaturrahim, ada acara halal bil halal karena mempertemukan banyak kalangan untuk mempererakan kembali silaturrahim, membangun sosial yang tingkatanya cukup tinggi maka boleh di jeda kesempurnaanya sampai akhri syawwal.”

Ketiga, diutamakan untuk mengganti hutang puasa Ramadhan terlebih dahulu.

Kalau kita mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka disarankan untuk menggantinya terlebih dahulu (puasa qadha).

يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ۝١٨٤

“Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Hal ini berdasarkan pada penjelasan dari Ibnu Hambali dalam kitabnya Lathoiful Ma’arif. Ibnu Rajab Al Hambali berkata: “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Ia juga mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

Semoga hasil puasa Ramadhan sampai ke hati dan ada bekas untuk terus diamalkan di sebelas bulan setelahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan kembali kita dengan bulan Ramadhan tahun depan. Aamiin. (A/R8/RS2)

Wallahu a’lam bishshowwab

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.