Sabtu malam, 9 Juli 2024 terasa hening, hanya sebagian orang terlihat hilir mudik beraktivitas di jalan sepanjang Sukolegok, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur. Deretan toko sebagian sudah tutup, beberapa di antaranya masih terlihat melayani pembeli.
“Maju sedikit lagi,” suara Superna (69) di ujung telepon genggam mengarahkan titik lokasi Ia berdiri. Superna adalah sosok pengusaha di kawasan itu yang telah lama berjibaku di dunia bisnis.
Di Gang Mangga, tempatnya tinggal, berdiri bangunan Masjid Al Muhajirin, pekarangannya cukup luas. Fasilitas tempat wudhu, kamar mandi, dan ruang istirahat tersedia di masjid itu.
Tahun 1998 Superna untuk pertama kalinya menginjakan kaki di kawasan itu, dulu hanya rawa-rawa, semak belukar, dan kebun tak berpenghuni. Jika hujan tiba, kata Superna, kawasan itu terendam air dan susah dilalui.
Baca Juga: Rahasia Komunikasi Lebih Asyik dan Efektif
Ia bersama istri dan beberapa orang lainya, semula menetap di Kota Surabaya, kepindahannya ke kawasan itu tak lepas dari kegiatannya sebagai pedagang. Tahun 1998 saat reformasi, situasi masih tidak menentu, Superna termasuk yang terkena imbas krisis dan pernah hanya makan singkong saat beras tak terbeli.
“Kerja di Surabaya saat itu serabutan, yang penting kerja apa saja asal bisa cari uang untuk makan,” ujar Superna.
Naluri bisnis Superna memang terasah sejak kecil, lelaki kelahiran tahun 1959 asal Karangnunggal, Tasikmalaya ini semula berjualan barang kreditan, usaha yang melekat pada kebanyakan orang Tasikmalaya.
Di Gang Mangga, Sukolegok, tempat itu dirancang Superna dan kawan-kawan para aktivis dakwah sebagai lokasi hijrah, di mana selain berdagang, orang-orang yang menetap di sekitar Masjid punya tugas mulia, yaitu berdakwah mengajak umat kepada kehidupan berislam sesuai tuntunan sunnah Nabi Muhammad.
Baca Juga: Berdaya Guna
Kegiatan keagamaan, mengaji, shalat berjamaah, dan berbagai kegiatan keislaman dihidupkan di masjid tersebut.
“Dulu, pokoknya ke sini, ke Sukolegok, harus punya niat mau beribadah memakmurkan masjid dan berdakwah. Ke sini kita harus mau diatur dalam jalan dakwah meski hari-hari kita berjualan,” kata Superna mengenang masa awal ia pindah ke lokasi tersebut.
Perjalanan hidupnya di Sukolegok pernah membuatnya bimbang, saat saudaranya dari Jakarta datang dan melihat keandaan Sukolegok ketika itu. Saudara Superna mengajak kembali ke Jakarta dan meningalkan Sidoarjo.
Dalam keadaan seperti itu, sosok Ustaz Abu Salman tidak bisa dilupakan oleh Superna. Abu Salman adalah dai yang selalu memberinya nasihat agama dan perhatian saat kondisinya tidak seberuntung saat ini.
Baca Juga: Memperbarui Azzam
“Saat itu orang yang telaten meneguhkan Saya adalah Ustaz Abu Salman, ia seperti mentor ruhiyah bagi Saya. Almarhum menjadi teladan yang selalu menguatkan dengan nasihat-nasihat agama untuk Saya dan yang lain yang menetap di sini,” ujarnya.
Keadaan sulit ketika itu tak membuatnya putus asa, Superna mencari peruntungan dengan mencoba berjualan bumbu dapur. Ia keliling rumah warga bersama istrinya berjualan bumbu masak beragam jenis.
Saat itu, kata Superna, Ia bisa menghabiskan 1 kwintal bawang putih dan aneka bahan bumbu masak yang biasa diperlukan warga. Superna juga pernah mencari perungtungan membuat tempe, namun gelomban PHK massal membuat bisnis tempe Superna meredup.
Tak tinggal diam, ia mencari peruntungan dengan berjualan es rumput laut. Superna cukup teliti menghitung musim untuk menjalankan usaha es rumput laut tersebut. Delapan bulan musim panas, Superna manfaatkan dengan keliling mendorong gerobak es rumput laut.
Baca Juga: Zona Nyaman
“Saya dorong roda setiap hari di musim panas pergi ke stasiun kereta di Surabaya, di sana banyak orang. Alhamdulillah ketika itu 200 mangkok laku setiap hari.” Kata Superna
Ibarat pepatah usaha tak mengkhianati hasil, itu juga yang dialami Superna. Dalam proses berjualan es rumput laut, berkeliling Surabaya, ia mendapat banyak kenalan yang mengantarkannya kepada bisnis penjualan rumput laut hingga kemudian memproduksi rumput laut menjadi jelly agar-agar rumput laut.
Industri rumahan tersebut ia geluti hingga kini dan telah mempunyai pelanggan tetap pada sejumlah pasar di Sidoarjo. Mulai sore atau terkadang setelah Isya, Superna memulai pengolahan jelly ditemani pekerja dan beberapa anggota keluarganya.
Puluhan baki plastik dengan ukuran sama berjejar dari ujung ke ujung dan telah terisi jelly dengan beragam warna. Tiga wajan besar berdiri di tungku perapian tempat memasak jelly terlihat telah penuh dengan air, bara api menyala-manyala di ruang masak tempat produksi jelly milik Superna. Hingga pukul 12 malam semua proses pembuatan jelly tuntas.
Baca Juga: Etos Kerja
Setelah Shubuh, Superna ditemani pekerjanya mengantar jelly tersebut ke beberapa pelanggan di beberapa pasar di Sidoarjo. Sebanyak 70 baki jeli seberat tiga kiloan dengan harga Rp30.000 ia lepas ke pasar setiap hari. Saat Ramadhan tiba, pesanan jelly semakin banyak. Superna bisa mengantar lebih dari 300 baki jeli setiap harinya.
Superna menemukan chemistry bisnisnya di dunia Jelly, usaha itu telah meneguhkannya untuk tetap berkarya menjadi entrepreneur, beribadah dan beramal di jalan dakwah. Bahkan, Superna jarang absen untuk menjadi relawan kemanusiaan bersama Ukhuwah Al-Fatah Rescue (UAR) mulai dari tsunami Aceh, Pangandaran, Gempa Lombok, Palu, dan relawan kemanusiaan saat bencana lahar dingin di Semeru.
Jalan panjang yang berliku di dunia usaha telah mengantarkan Superna pada satu pemahaman bahwa bisnis itu harus ditekuni, dievaluasi, dan banyak bersilaturrahim dengan orang-orang yang memiliki visi sama, sejalan dan sama-sama membutuhkan.
“Tekun itu kuncinya, jika gagal evaluasi dan coba lagi, itu kunci keberhasilan di dunia usaha. Setidaknya ini yang saya lakukan,” kata Superna yang juga sering menjadi inspirasi bisnis bagi warga di Gang Mangga dan jamaah di Masjid Al-Muhajirin. [arif]
Baca Juga: Man Jadda Wa Jada
Mi’raj News Agency (MINA)