SURAT DARI GAZA: SIMAKLAH KISAH DUKA KAMI

Motasem
Motasem A Dalloul. (Foto: Akun Twitter resmi Motasem A Dalloul)

Oleh: Motasem A Dalloul, warga *

Pesawat-pesawat tempur Zionis tidak pernah meninggalkan langit Jalur Gaza bahkan pada saat gencatan senjata. Hampir setiap hari pesawat tempur tak berawak dan jet tempur F-16 Zionis Israel terbang rendah di atas kepala. Dari waktu ke waktu pesawat-pesawat tempur itu menargetkan lahan-lahan pertanian, pabrik, bengkel serta rumah-rumah warga sipil.

Penduduk di Jalur Gaza telah menjadi terbiasa dengan bisingnya suara pesawat tempur dan serangan yang dilancarkan militer Zionis Israel; telah menjadi normal bagi mereka. Namun, di kediaman saya, situasinya berbeda. Setiap kali istri bersama sembilan anak saya mendengar suara pesawat tempur Israel mereka langsung terperanjat kaget. Mereka memiliki sejumlah pengalaman buruk berhubungan dengan suara-suara pesawat tempur itu.

Selama tujuh kali dalam agresi yang dilancarkan Zionis Israel di Jalur Gaza, hingga kini, pesawat-pesawat tempur Israel telah menyerang kediaman saya, lahan pertanian dan peternakan sapi perah saya. Setiap kali serangan udara itu dilancarkan telah menghancurkan baik sepenuhnya atau sebagian rumah saya. Istri saya, anak-anak saya dan saudara-saudara saya, di mana tinggal di apartemen di gedung yang sama seperti saya, mereka seketika terkejut dan ada yang terluka.

Pertama kali pesawat-pesawat tempur Israel menyerang rumah dan peternakan sapi perah saya pada agresi Israel 2008/2009.Selama tiga hari agresi, penjajah Zionist Israel telah membunuh lebih dari 600 warga dan melukai lebih dari 1.500 warga lainnya, tentara penjajah Israel saat itu pun menelepon kakak tertua saya pada siang hari dan memintanya untuk mengevakuasi seluruh bangunan dalam waktu lima menit.

Segera, lebih dari 60 warga, termasuk sembilan anggota keluarga saya dan tujuh anggota keluarga dari saudara-saudara saya, meninggalkan dua bangunan yang saling berdekatan, salah satu target penyerangan meliputi peternakan sapi perah yang berada di lantai pertama. Kami tidak bisa mengambil barang apa pun, bahkan tidak sehelai pakaian atau dokumen-dokumen penting yang ada di rumah kami. Dalam waktu kurang dari setengah menit, kami, sekitar 60 anggota keluarga, telah menjadi tunawisma.

Beberapa bulan kemudian saya kembali membangun rumah dengan peternakan sapi perah saya sekitar 50 meter dari rumah yang sudah dihancurkan Zionis sebelumnya. Saya mulai bekerja di peternakan sapi perah yang dikelola sendiri. Suatu malam di bulan April 2010, istri beserta semua anak-anak saya terpaksa mengungsi ke rumah nenek mereka. saya pun tidur sendirian di rumah. Hanya satu jam setelah Saya terlelap tidur, Saya dibangunkan oleh suara ledakan besar yang mengakibatkan lubang besar menganga tepat di lokasi dapur apartemen saya, yang berada di lantai tiga. Lubang besar di langit-langit kamar anak-anak saya dan lubang besar lainnya di ruang tamu. Saya melihat dari jendela menemukan bahwa roket F-16 telah meratakan peternakan sapi perah baru saya, tidak tersisakan.

Apartemen yang ditempati keluarga Motasem A Daloul rusak akibat serangan pesawat tempur Zionis Israel. (Foto: MEMO)
Apartemen yang ditempati keluarga Motasem A Daloul rusak akibat serangan pesawat tempur Zionis Israel. (Foto: MEMO)

Masalahnya adalah bahwa anak-anak saya menolak untuk kembali ke rumah setelah saya berupaya memperbaiki apartemen Saya yang telah rusak itu. Mereka mengatakan kepada saya untuk membangun pertanian saya jauh dari lokasi apartemen. Permintaan itu cukup sulit tetapi pada akhirnya saya memenuhi permintaan mereka dan saya bangun pertanian di Khan Younis, selatan Jalur Gaza. Bahkan, saya tidak tahu mengapa pendudukan Israel menyerang rumah dan pertanian saya beberapa kali.

Setelah seorang wartawan asal Malta bertanya mengapa pesawat-pesawat tempur Israel menyerang rumah dan peternakan sapi perah saya. Saya mengatakan kepadanya bahwa ia harus meminta jawaban kepada para penyerang yang melakukan serangan menargetkan rumah dan peternakan saya. Sang wartawan Malta itu pun menjawab: “Mereka [Israel] mengatakan mereka telah menyerang pabrik roket.” Bahkan, jawabannya mengejutkan saya karena setiap kali media massa meliput serangan dan melaporkan apa yang mereka lihat hanya terdapat puing-puing mesin manufaktur keju dan yoghurt.

Setelah agresi kali ketiga, keempat dan kelima, pesawat-pesawat tempur Zionis Israel menyerang peternakan sapi perah saya di Khan Younis. Kemudian mereka menyerang toko pertanian saya di Deirul-Balah, tengah Jalur Gaza, hanya beberapa bulan kemudian. Tidak ada korban jiwa dalam serangan itu, tetapi bangunan dan mesin-mesin telah hancur.

Saya membangun kembali peternakan sapi perah saya di samping rumah saya dan meninggalkan Jalur Gaza pada 2011 untuk menimba ilmu mengambil program Master Bidang Jurnalisme Internasional di London, Inggris. Saya meninggalkan kakak sulung saya yang menggarap pertanian yang Saya kelola sebelumnya.

Pada Juli 2012, saya menerima telepon dari keluarga saya mengatakan bahwa peternakan telah diserang dan sebagian besar anggota keluarga menderita shock dan panik atas serangan parah itu. Saya kembali pada Oktober 2012 untuk membangun kembali rumah saya.

Sekarang masalahnya telah semakin parah dan setiap kali anak-anak saya mendengar suara pesawat tempur Israel mereka menangis, menjerit atau berlari ke arah saya atau ibu mereka. Setiap kali mereka mendengar suara sebuah pesawat perang Israel mereka merasa mereka akan mati. Dua pekan sebelum agresi, perang besar-besaran Israel di Gaza, sebuah jet tempur F-16 Israel menyerang sebuah peternakan dekat rumah saya.

Semua jendela dan pintu rumah hancur dan kaca jendela kamar anak saya pecah, putri sulung dan putri bungsu saya berumur 11 bulan mengalami luka ringan. Luka-luka itu tidak masalah, tapi berefek pada kepanikan dan psikologis mereka. Saat berita-berita agresi mulai dekat, anak-anak saya tidak tidur di kamar mereka. Saya dan istri saya diwajibkan untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin di rumah dan kami terpaksa tidur di aula apartemen dengan anak-anak di sekitar kami.

Saat perang dimulai, beberapa serangan jet tempur F-16 Israel menargetkan peternakan di sekitar rumah saya dan meninggalkan seluruh bangunan berlantai tiga dari enam apartemen tanpa jendela atau pintu. Anak-anak saya tidak tidur dan gejala gangguan saraf mulai muncul di wajah mereka dan dalam tindakan mereka.

Pada hari ketiga agresi, penjajah Zionis Israel menelepon saya pada malam hari dan mengatakan kepada saya bahwa mereka ingin menghancurkan rumah kakak Saya, yang berdekatan dengan gedung kami. Mereka memberi kami waktu hanya lima menit. Kami bergegas dan meninggalkan rumah dan mereka menyerang rumah saya. Kita tidak tahu ke mana harus pergi pada malam hari, tapi tetangga memberikan penginapan kepada kami sampai hari berikutnya.

Beberapa hari kemudian penjajah Zionis Israel menelepon istri saya pada malam hari sementara dia tinggal di tempat ayahnya. Mereka mengatakan mereka ingin menghancurkan rumah kakakku. Mereka tidak memberi kami waktu lebih dari lima menit dan menyerang dengan dua roket peringatan. Mereka tidak benar-benar menghancurkan rumah kedua, karena gedung itu sudah tidak layak huni.

Peternakan milik Motasem A Daloul yang hancur lebur di tembak roket F-16 Zionis Israel. (Foto: MEMO)
Peternakan milik Motasem A Daloul yang hancur lebur di tembak roket F-16 Zionis Israel. (Foto: MEMO)

Dua hari kemudian saya berada di kantor saya melaporkan tentang agresi yang dilakukan Israel. Kakak menelepon saya untuk memberitahu saya bahwa anak sulung saya tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Saya segera pergi ke rumah kakak dan menemukannya dalam kondisi yang buruk. Saya membawanya ke rumah sakit dan kemudian dia perlu mendapat perawatan. Para dokter mengatakan kepada saya dia memiliki gangguan saraf dan bahwa ia telah kehilangan fungsi bicara dan ingatannya. Sekarang kondisinya hampir baik, tapi kami masih terpisah satu sama lain.

Istri dan sejumlah anak-anak saya tinggal dengan nenek mereka, saya tinggal dengan teman saya, anak sulung saya tinggal dengan pamannya dan anak kedua saya tinggal dengan bibinya.

Setiap hari saya menghadapi banyak kesulitan mengirim mereka makanan. Kemarin istri dan anak-anak saya terjebak situasi penembakan artileri karena mereka tinggal dengan nenek mereka di dekat perbatasan timur kota Gaza. Mereka terpaksa harus pindah ke tempat lain dan saat saya menulis bagian surat ini, istri saya memanggil saya dan meminta saya untuk menemukan tempat yang lebih aman untuk tinggal, tapi sayangnya, saya belum menemukan tempat yang lebih aman.

Kisah yang sama dialami ketujuh saudara-saudara saya dan keluarga mereka. Sekarang saya tidak tahu di mana mereka berada. Saya tidak tahu bagaimana kondisi mereka, tentang anak-anak mereka atau pun istrinya; komunikasi telah menjadi terlalu sulit.(T/P02/P04)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Motasem A Dalloul adalah seorang jurnalis yang berbasis di Jalur Gaza. Koresponden Lembaga Pemantau Timur Tengah Middle East Monitor (MEMO) berpusat di London. Dia adalah warga asal Lingkungan Al-Zaytoun, timur Gaza, Palestina.

 

Comments: 0