Di saat sekitar 300.000 warga Muslim Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh, seorang warga Rohingya yang masih berada di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, menulis sebuah surat kepada wartawan Al Jazeera Faisal Edroos. Surat itu kemudian dipublikasikan pada Senin, 11 September 2017 di Al Jazeera.
Penulis surat ini telah meminta anonimitas karena takut adanya serangan dari pemerintah.
Berikut bunyi isi surat terssebut:
Baca Juga: Uni Eropa Berpotensi Embargo Senjata ke Israel Usai Surat Penangkapan ICC Keluar
Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Sepanjang hidupku, selama 24 tahun ini, saya telah menjadi tahanan di penjara udara terbuka yang Anda kenal sebagai Negara Bagian Rakhine.
Saya lahir di Myanmar, sama seperti orang tua saya, tapi kewarganegaraan saya direnggut sebelum saya memahaminya.
Gerakan saya, pendidikan, akses terhadap perawatan kesehatan dan karir sangat dibatasi karena etnisitas saya.
Baca Juga: Israel Perintahkan Warga di Pinggiran Selatan Beirut Segera Mengungsi
Saya dilarang bekerja di pemerintahan, ditolak hak untuk melanjutkan pendidikan tinggi, dilarang mengunjungi ibu kota, Yangon, dan bahkan dihentikan untuk meninggalkan wilayah utara Negara Bagian Rakhine.
Saya mengalami bentuk diskriminasi terburuk, semua karena saya adalah Rohingya, seorang Muslim Rohingya.
Selama bertahun-tahun, bangsaku, yang telah ditolak hak dasarnya, dibunuh setiap saat. Ditembak mati di depan mata, secara paksa dan sistematis membuat kami tunawisma, rumah kami diratakan di depan mata kami. Kami adalah korban keadaan brutal.
Agar Anda benar-benar menghargai kondisi kami, saya akan menggunakan analogi: bayangkan seekor tikus terjebak dalam kandang dengan seekor kucing lapar. Begitulah rasanya bagi orang Rohingya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Satu-satunya cara kami bertahan hidup adalah dengan berlari, atau berharap seseorang membantu kami keluar.
Bagi kami yang bertahan, ada operasi sistematis untuk memisahkan kami dari komunitas Rakhine yang lebih luas.
Kami disebut “Kalar” (sebuah slur yang sering digunakan untuk melawan Muslim) oleh umat Buddha terhadap wajah kami. Entah Anda anak kecil atau orang tua, tidak ada yang lolos dari pelecehan tersebut.
Kami menghadapi diskriminasi di sekolah dan di rumah sakit, dan telah ada kampanye boikot oleh umat Buddha untuk menghindari kami dengan segala cara.
Baca Juga: Diboikot, Starbucks Tutup 50 Gerai di Malaysia
“Belilah hanya kepada umat Buddha,” kata mereka. “Jika Anda memberikan sepeser pun kepada seorang Buddhis, mereka akan membantu membangun Pagoda (kuil), tapi jika Anda memberikan sepeser pun kepada seorang Muslim, mereka akan membangun sebuah masjid.”
Komentar semacam ini, mereka jadikan norma dan membantu mendorong ekstremis Buddhis untuk menyerang kami.
Ketika Aung San Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, memenangkan pemilihan parlemen pada tahun 2015 dan mengakhiri setengah abad dominasi militer, kami memiliki harapan tinggi akan datang.
Kami yakin bahwa wanita ini, yang dipuji sebagai suar demokrasi, akan mengakhiri penganiayaan dan penindasan terhadap kami.
Baca Juga: Survei: 37 Persen Remaja Yahudi di AS Bersimpati dengan Hamas
Sayangnya, segera menjadi jelas bahwa bukan saja dia tidak menjadi suara kami, dia mengabaikan penderitaan kami.
Keterdiamannya menunjukkan bahwa dia terlibat dalam kekerasan tersebut.
Pada akhirnya, dia mengecewakan kami, harapan terakhir kami gagal.
Pada tahun 2012, sejumlah besar Rohingya dibantai dalam salah satu serangan terburuk kekerasan komunal. Sekitar 140.000 orang mengungsi, sebuah peristiwa yang akan berulang pada tahun 2016.
Baca Juga: Hongaria Cemooh Putusan ICC, Undang Netanyahu Berkunjung
Ditembak, dibantai, dan dibakar hidup-hidup di depan keluarga mereka. Kekerasan Oktober lalu menimbulkan Tentara Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA), sekelompok kecil pria yang memutuskan untuk membela diri dan melawan.
Berbekal tongkat dan batu, mereka tahu mereka tidak bisa menangkis tentara Myanmar yang sudah berperalatan lengkap, tapi tetap mereka coba.
Tetap saja, sekarang saudara perempuan dan ibu kami dipaksa melahirkan di sawah saat kami menjalani hidup kami dalam kekerasan yang Anda katakan ada di antara dua sisi yang sama. Bukan itu.
Anak-anak ditembak saat mereka melarikan diri dan tubuh wanita mengambang di sungai, ini bukanlah pertarungan yang setara.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Kami menghadapi kepunahan, dan jika masyarakat internasional tetap bersama kami, salah satu orang yang paling teraniaya di dunia ini, kami akan menghadapi genosida dan Anda, Anda semua akan menjadi saksi untuk itu. (A/RI-1/B05)
Sumber: Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki