Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional
Situasi geopolitik kawasan Timur Tengah kembali memanas setelah pasukan Zionis Israel secara mengejutkan melancarkan serangan udara ke kantor pemerintahan Presiden Suriah di ibukota Damaskus pada Rabu sore (16/7/2025).
Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, mengumumkan pesan peringatan kepada Damaskus telah berakhir dan mengancam akan melancarkan apa yang disebutnya “serangan yang menyakitkan”.
Katz mengatakan bahwa pengeboman tersebut menyasar “target yang dekat dengan komando umum di Damaskus, dan serangan akan terus meningkat kecuali pesannya dipahami.”
Baca Juga: Dakwahmu Menginspirasi, Tapi Akhlakmu Menyakiti
Ia menambahkan, “Kami telah melakukan serangan yang meningkat selama 24 jam, menargetkan lokasi-lokasi rezim di Sweida.”
Pasukannya akan terus beroperasi dengan tegas di Sweida untuk menghancurkan pasukan Suriah yang menyerang Druze hingga mereka mundur, ancamnya.
Katz melanjutkan bahwa laju serangan di Suriah akan meningkat jika Damaskus tidak memahami pesan tersebut, seraya menambahkan bahwa Suriah selatan akan menjadi zona demiliterisasi.
Dalih Lindungi Druze
Baca Juga: Masjid Ibrahimi Warisan Nabi dan Wakaf Umat Islam
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa situasi di Sweida, Suriah sangat berbahaya, dan menambahkan, “Kami berupaya menyelamatkan saudara-saudara Druze kami dan melenyapkan geng-geng rezim.”
Diberitakan sebelumnya, pasukan dari Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri Suriah memasuki kota Sweida Senin lalu (14/7/2025) dalam upaya untuk menguasai wilayah-wilayah yang bermasalah guna menjaga keamanan dan memulihkan stabilitas.
Kemudian, Angkatan Udara Zionis mengebom target-target pemerintah Suriah di Kegubernuran Sweida tersebut pada hari Rabu (16/7/2025), bertepatan dengan bentrokan baru di kota tersebut antara pasukan keamanan Suriah dan kelompok-kelompok bersenjata.
Kerusuhan meletus di Sweida menyusul bentrokan bersenjata antara kelompok Druze dan Badui di permukiman kota beberapa hari yang lalu, yang mengakibatkan kematian dan cedera.
Baca Juga: Ustaz di Depan, Tapi Rapuh di Malam Sunyi
Serangan militer ke Suriah, rupayanya bagi Netanyahu merupakan salah satu taktik menunda-nunda sidang pengadilan yang sedang menysara dirinya.
Kali ini persidangan pun ditunda karena alasan serangan Israel di Suriah, pola eskalasi kampanye militer regional terbaru, yang secara luas dipandang sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah hukum dan kerusuhan domestik yang semakin meningkat.
Pengadilan Distrik Tel Aviv mengumumkan penangguhan kesaksian Netanyahu yang dijadwalkan pada Rabu (16/7/2025), hanya beberapa jam setelah rudal Israel menghantam Damaskus.
Tentu saja, serangan Zionis ke wilayah Suriah memicu reaksi keras dari Presiden Ahmed Al-Sharaa, yang menyatakan bahwa kedaulatan negaranya dilanggar secara brutal.
Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa
Al-Sharaa mengecam upaya Israel yang telah mengganggu stabilitas negaranya dan memecah belah rakyatnya.
“Kami, putra-putra negeri ini, siap untuk mengatasi setiap upaya entitas Israel memecah belah kami. Suriah bukanlah tempat uji coba bagi konspirasi asing, juga bukan tempat untuk memenuhi ambisi dengan mengorbankan darah anak-anak dan perempuan kami,” tegasnya.
Dia menyebutkan bahwa entitas Zionis secara konsisten telah mengincar stabilitas dan menebar perpecahan sejak jatuhnya rezim sebelumnya. Menurutnya, Zionis hendak berusaha mengubah Suriah menjadi wilayah konflik tak berujung sesuai format Zionis.
Dalam pernyataanya, Presiden Al-Sharaa berkomitmen untuk melindungi komunitas Druze. Ia menyebut bahwa melindungi hak-hak komunitas Druze merupakan prioritas negara.
Baca Juga: Boikot Produk Terafiliasi Zionis Tinjauan Fatwa Ulama
Siapa Komunitas Druze?
Komunitas Druze adalah suku atau kelompok etno-religius berbahasa Arab yang tinggal terutama di Pegunungan Sweida (Al-Suwaydah) di Suriah selatan, dekat dengan perbatasan Yordania. Kota Sweida merupakan ibu kota Kegubernuran al-Suwaydah, salah satu dari 14 kegubernuran di Suriah.
Komunitas Druze menganut agama Druze, sebuah aliran keagamaan yang bersifat esoterik dan tertutup, yang awalnya muncul dari Isma’iliyah, salah satu madzhab Syi’ah, pada abad ke-11.
Isma’iliyah disebut sebagai madzhab terbesar kedua dalam aliran Syi’ah setelah Itsna Asy’ariyah (Dua Belas Imam). Isma’iliyah mengacu pada jalur Isma’il bin Ja’far, penerus Ja’far Ash-Shadiq, keturunan ke-6 dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah puteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
Kitab sucinya bernama Rasail al-Hikmah (Surat-Surat Kebijaksanaan), yang menjadi sumber hukum dasar agama Druze. Keyakinan Druze merupakan gabungan dari Syi’ah Ismailiyah, filsafat neoplatonisme, Zoroastrianisme, Hindu, Budha dan filsafat serta keyakinan lainnya. Sehingga menciptakan teologi yang berbeda, bersifat rahasia berdasarkan interpretasi esoterik kitab suci, yang menekankan peran pikiran dan kebenaran.
Ajaran Druze juga menganut Monoteisme (keesaan Tuhan), sekaligus reinkarnasi. Selain Rasail al-Hikmah, beberapa teks lain juga dianggap penting dalam agama Druze, seperti Al-Quran dan tulisan-tulisan klasik lainnya.
Komunitas Druze yang tinggal di wilayah Sweida merupakan minoritas setia yang umumnya mendukung rezim Suriah sebelumnya, di bawah Bashar al-Assad. Meskipun ada beberapa faksi yang kritis atau netral.
Alasan Zionis Lindungi Druze
Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah
Pemerintah Zionis Israel mengklaim ingin “melindungi” Druze di Sweida dengan alasan adanya kesamaan etnis-relegius. Di wilayah pendudukan Zionis Israel terdapat populasi Druze yang signifikan, sekitar 150.000 orang. Mereka terutama tinggal di Galilea dan Golan.
Ada ikatan kekerabatan tersendiri antara Druze di Suriah dengan Druze di Golan, tetapi hal itu tidak diterjemahkan menjadi dukungan politik untuk Israel.
Adapun populasi Druze di Suriah saat ini berjumlah sekitar 700-736 ribu jiwa, atau sekitar 3,2% dari total penduduk Suriah 23 juta jiwa.
Druze di wilayah pendudukan Israel dikenal setia kepada negara Israel dan banyak yang berdinas di militer Israel. Sebagian lainnya juga ada yang masih setia kepada pemerintah Suriah, terutama pada era Al-Assad. Namun mereka tetap difasilitasi pemerintah Zionis Israel untuk hidup di wilayah pendudukan Israel.
Baca Juga: Rendah Hati di Zaman yang Mengagungkan Eksistensi
Para pengamat berpandangan bahwa tindakan agresor Zionis ini selaras dengan strategi politik yang terkait dengan pemerintahan sayap kanan Benjamin Netanyahu, yang berusaha mengeksploitasi perpecahan sektarian untuk memecah belah Suriah, yang masih dalam masa transisi Presiden Al-Sharaa.
Dengan menjalin hubungan dan memberi kesan “demi melindungi minoritas Druze di Suriah”, Zionis bertujuan untuk memicu konflik internal di antara komunitas-komunitas yang beragam di Suriah.
Letak strategis Sweida yang berbatasan dengan Dataran Tinggi Golan, Yordania, yang diduduki Israel, membuat pemerintah Zionis bisa memanfaatkannya untuk menciptakan zona penyangga atau zona pengaruh di kawasan.
Pada sisi lain, rezim Zionis ingin mengeksploitasi ketidakpuasan sebagian komunitas Druze untuk melemahkan pemerintah transisi Suriah.
Baca Juga: Belajar Memaafkan Meski Hati Belum Ikhlas
Sebagian besar Druze Sweida yang mendukung rezim Assad, mereka khawatir akan nasib mereka sebagai minoritas jika dikuasi oposisi, yang didominasi kelompok yang mereka sebut dengan “Sunni radikal”. Namun sebenarnya mereka juga menolak intervensi asing, termasuk Israel.
Konflik Druze dan Badui
Kehadiran pasukan pemerintah Suriah ke wilayah Sweida, dipandang Israel sebagai ancaman untuk menekan kelompok Druze yang sedang terlibat konflik dengan suku Arab Badui.
Konflik antara suku Arab Druze dan suku Arab Badui sebenarnya lebih bersifat sporadis dan lokal daripada permusuhan etnis atau religius atau politik yang mendalam.
Baca Juga: Jangan Hanya Islam di KTP, Jadikan Islam di Hati
Konflik biasanya terkait sengketa tanah, sumber daya air, atau perdagangan illegal. Suku Arab Badui sebagai komunitas yang lebiuh suka mengembara atau semi-pengembara sering dianggap sebagai “pendatang” oleh komunitas Druze yang sudah menetap lama di wilayah tersebut.
Pada rezim Al-Assad, pemerintah Suriah kadang turun tangan sebagai penengah, tetapi juga memanfaatkan ketegangan tersebut untuk mempertahankan ketergantungan Druze pada negara dengan menawarkan perlindungan dari konflik. Sekaligus untuk mengontrol aktivitas Badui yang dianggap kurang terikat dengan otoritas pusat.
Kondisi tersebut rupanya dimanfaatkan oleh rezim Zionis untuk mendukung Druze, memecah konsentrasi pemerintah Suriah, dan mencegah Arab Badui. Sementara suku Arab Badui sendiri, memiliki kekuatan senjata dari jaringan penyelundup, kelompok milisi bayaran dan intelijen asing. Bahkan kemungkinan termasuk dari Israel.
Kebijakan Presiden Al-Sharaa
Tidak mudah bagi Presiden masa transisi Suriah, Ahmed Al-Sharaa mengambil kebijakan yang tepat dalam menghadapi situasi internal dan eksternal negaranya saat ini.
Meski mendapat desakan dari dalam negeri untuk melancarkan serangan balasan, dan dukungan diplomatik dari negara-negara Arab, termasuk sekutu utamanya, Turkiye. Akan tetapi tampaknya Al-Sharaa belum akan mengambil tindakan militer langsung terhadap Zionis Israel.
Pemerintah saat ini tengah berada dalam masa transisi yang sensitif, pasca-perubahan kepemimpinan dan konsolidasi ulang kekuatan negara. Serangan balik secara terburu-buru bisa membuka front besar yang belum siap dihadapi Suriah.
Sebelumnya, seperti dilaporkan Israel Hayom, Suriah disebut-sebut dalam pembicaraan tidak langsung alias melalui pihak ketiga, Suriah telah menetapkan sejumlah syarat untuk membuka pintu “normalisasi” dengan Israel. Di antara syarat utama tersebut adalah pengakuan resmi Israel terhadap pemerintahan Presiden Ahmad al-Sharaa, yang menggantikan Bashar al-Assad setelah jatuhnya rezim lama pada Desember 2024.
Suriah juga meminta penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah-wilayah yang didudukinya setelah kejatuhan Assad, penghentian total serangan udara Israel di wilayah Suriah, serta pengaturan keamanan baru di bagian selatan negara itu.
Di samping itu, Damaskus juga menuntut jaminan dan dukungan politik dari Amerika Serikat bagi pemerintahan barunya.
Langkah ini, jika benar terealisasi, akan menjadi terobosan besar yang belum pernah terjadi sejak permusuhan kedua negara pecah lebih dari setengah abad silam.
Namun ketegangan terbaru serangan militer Israel ke pusat pemerintahan Suriah di ibukota damaskus menunjukkan bahwa Israel lebih memilih jalur militer. Langkah ini dapat dilihat sebagai bentuk tekanan politik untuk menjatuhkan Suriah dari dalam dan memperluas pengaruhnya di kawasan.
Jika eskalasi terus meningkat, Suriah bisa saja mengambil langkah perlawanan terbuka, apalagi jika mendapat dukungan dari sekutu regionalnya.
Untuk mengamankan situasi dalam negeri, Presiden Ahmad Al-Sharaa, menyampaikan pidato yang direkam kepada rakyat Suriah pada Kamis (17/7/2025) dini hari, yang menegaskan negaranya siap menghadapi pilihan perang terbuka dengan Israel, dan mengatakan bahwa rakyat Suriah tetap siap untuk “memperjuangkan martabat mereka jika terancam.”
“Israel sedang mencoba memecah belah Suriah, dan mencoba mengubah Suriah menjadi arena kekacauan tanpa akhir,” lanjutnya.
Meskipun Al-Sharaa menganggap pilihan perang terbuka dengan Israel sebagai suatu kemungkinan, tapi ia mengatakan bahwa “kepentingan rakyat Suriah diprioritaskan daripada kekacauan dan kehancuran.”
Dia juga berjanji untuk melindungi hak dan kebebasan komunitas Druze dan meminta pertanggungjawaban semua orang yang telah menyakiti mereka.
Dalam kaitan kawasan sekitarnya, Presiden Al-Sharaa juga masih dalam tahap mempererat dengan negara-negara Arab, termasuk Palestina.
Ini seperti ia katakan pada KTT Darurat Negara-Negara Arab di Kairo, pada Selasa (3 Maret 2025) yang membahas rencana pembangunan kembali Jalur Gaza.
Pada sambutannya, Al-Sharaa mengatakan, “Hari ini kita melihat upaya-upaya baru untuk menerapkan solusi yang berupaya membuat peta geografis baru dengan mengorbankan darah rakyat Palestina, dan seruan untuk pengusiran paksa rakyat Palestina dari wilayah mereka, adalah aib terhadap kemanusiaan.”
Dia menekankan bahwa penggusuran warga Palestina dari tanah mereka tidak dapat diterima dan sudah tiba waktunya bagi kita semua sebagai orang Arab untuk menentang rencana tersebut. Ancaman terhadap Palestina bukan hanya merupakan ancaman bagi rakyat Palestina tetapi juga bagi seluruh bangsa Arab, ujarnya mengingatkan.
“Negara-negara Arab harus menyatukan pendirian mereka dan memikul tanggung jawab mereka terhadap rakyat Palestina,” lanjutnya.
Ia juga menambahkan, rakyat Suriah akan selalu mendukung saudara-saudara Palestina dalam perjuangan mendapatkan hak-hak mereka.
Tentu dalam situasi saat ini, dan proyeksi ke depan, Presiden Al-Sharaa masih terus mencoba meredam ketegangan dengan perhitungan paling cermat dan matang, demi stabilitas negaranya yang masih dalam masa transisi.
Namun jika serangan dari Zionis terus berlanjut, serangan balasan tampaknya tidak akan terhindarkan. Seperti serangan balasan Iran yang membuat pemerintahan Zionis Israel terkejut dan meminta induknya, Amerika Serikat, untuk gencatan senjata.
Hanya tentu beda dengan Iran, kekuatan militer Suriah masa transisi saat ini masih belum cukup kuat untuk menghadapi militer Israel. []
Mi’raj News Agency (MINA)