PROVINSI Sweida di Suriah kembali menjadi sorotan regional setelah bentrokan berdarah meletus antara kelompok bersenjata Druze lokal dan suku Badui.
Kekerasan terjadi di tengah kekosongan keamanan akibat penarikan tentara Suriah dan eskalasi Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Eskalasi meningkat dengan adanya serangan langsung terhadap istana presiden dan fasilitas pemerintah lainnya di Damaskus.
Eskalasi tersebut bukan sekadar insiden lokal atau bentrokan sektarian yang terjadi sesaat, melainkan akibat langsung dari persimpangan kompleks antara strategi baru Israel di selatan, munculnya opsi AS terhadap Damaskus, dan kelemahan struktural negara Suriah di bawah kepemimpinan transisi Ahmad al-Sharaa.
Gencatan Senjata
Baca Juga: Selamatkan Masa Depan Anak, Indonesia Harus Berani Putus Mata Rantai Industri Tembakau
Pertemuan Paris membuka jalur gencatan senjata yang ditengahi langsung oleh Amerika Serikat, yang diumumkan oleh duta besar AS untuk Ankara dan utusan presiden untuk Suriah, Tom Barrack.
Usai kesepakatan gencatan senjata, Ahad, 20 Juli 2025, pemerintah Suriah menganggap krisis Sweida sebagai ujian kemampuannya untuk mengubah status quo yang diberlakukan oleh Israel di Suriah selatan setelah jatuhnya rezim Assad.
Pemerintah Suriah berusaha memperluas pengaruhnya di wilayah yang diperingatkan Israel terhadap kehadiran militer pemerintah yang dilengkapi dengan senjata berat. Dengan keterbatasan kemampuannya untuk menanggapi serangan Israel, Damaskus memutuskan untuk menarik pasukan regulernya dan membebaskan suku-suku Arab untuk dimobilisasi guna menyelamatkan suku Badui yang telah menjadi sasaran pelanggaran oleh kelompok Druze bersenjata.
Mobilisasi suku-suku Badui di sekitar Sweida memaksakan kenyataan di lapangan yang secara tidak langsung berkontribusi pada percepatan perjanjian gencatan senjata. Hal ini juga mempercepat mediasi Amerika Serikat, yang mensponsori kesepakatan keamanan sementara untuk menghentikan pertempuran dan membekukan bentrokan.
Baca Juga: Belajar Qanaah: Kunci Ketenangan di Tengah Arus Hedonisme
Namun, kesepakatan tersebut tidak mengatasi faktor sosial dan politik yang memicu pecahnya bentrokan. Hal ini khususnya berlaku mengingat konfrontasi tersebut telah memperdalam perpecahan sektarian antara Druze dan Badui, yang mengancam akan menghancurkan tatanan sosial lokal.
Hal tersebut terjadi tanpa adanya pengaturan keamanan yang nyata dan adanya aktor-aktor lokal yang tidak terkendali, seperti kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan pemimpin Druze yang didukung Israel.
Tanggapan Israel terhadap peristiwa di Sweida hadir dalam kerangka visi keamanan yang didasarkan pada konsep “pertahanan ke depan”, yang dirumuskan Tel Aviv setelah serangan 7 Oktober 2023.
Melalui visi tersebut, Israel berupaya melucuti struktur militer apa pun di Suriah selatan.
Baca Juga: Surat Cinta dari Gaza: Negeri Kecil dengan Ujian Seluas Langit
Serangan udara Israel yang dilancarkan antara 15 dan 16 Juli, yang menargetkan istana presiden, Kementerian Pertahanan, dan markas besar Staf Umum di Damaskus, jelas mencerminkan doktrin ini.
Israel menganggap Damaskus telah melanggar “garis merah” di selatan, yaitu mencegah persenjataan kembali di selatan Damaskus dan menjamin keamanan komunitas Druze. Hal ini mendorong Netanyahu untuk menegaskan bahwa gencatan senjata “dicapai dengan kekerasan”.
Eskalasi Israel menegaskan visi Israel tentang kepentingan jangka panjangnya dalam transformasi geopolitik di kawasan tersebut.
Rekonstruksi Suriah
Baca Juga: Sebotol Harapan untuk Gaza, Inisiatif Kemanusiaan Melalui Laut
Mengenai Suriah, Israel terus berusaha untuk menjadikan Suriah tetap lemah dan terpecah secara de facto selama mungkin, yang membutuhkan dukungan berkelanjutan dari Druze.
Tel Aviv khawatir dukungan Amerika dan Teluk terhadap pemerintahan baru Suriah akan mempercepat pembangunan negara pusat yang kuat dan rekonstruksi Suriah, yang akan menimbulkan ancaman di masa depan bagi kepentingan Israel.
Oleh karena itu, Menteri Diaspora Amichai Chikli dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir secara eksplisit menyerukan penggulingan Ahmed al-Sharaa dan menolak pendekatan negosiasi apa pun dengan mereka yang mereka anggap sebagai perpanjangan dari organisasi radikal.
Tel Aviv juga khawatir bahwa mengintegrasikan Damaskus ke dalam jalur perdagangan antara Turki, Arab Saudi, dan Yordania akan mengabaikan Israel dan melemahkan posisinya sebagai koridor strategis antara Timur dan Barat, sehingga mengancam proyek “India-Israel-Eropa”.
Baca Juga: Genosida Melalui Kelaparan di Gaza
Oleh karena itu, membiarkan Suriah dalam kondisi rapuh dan terjerumus dalam masalah internalnya sendiri merupakan kepentingan strategis Israel. Mediasi Washington termasuk dalam pendekatan Amerika yang lebih luas terhadap masalah Suriah, karena pemerintah AS telah memutuskan opsi-opsinya terkait rezim baru yang dipimpin oleh A.
Visi Al-Sharaa
Presiden Suriah Ahmed Al-Sharaa, sedang mengambil posisi strategis dan berhati-hati dalam menghadapi dua tekanan besar, yaitu di satu sisi Krisis Sweida dan provokasi Israel. Di sisi lain menghadapi negosiasi dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia hingga Turkiye dan Eropa. Tak terkecuali negara-negara Arab yang dalam pendekatan juga.
Presiden Al-Sharaa sudah menegaskan bahwa semua warga, termasuk Druze, adalah bagian dari bangsa Suriah. Karena itu, aa mengirim pasukan pengamanan, bukan untuk menekan, tapi untuk melindungi warga dari infiltrasi dan provokator asing.
Baca Juga: Kader Adalah Benih Peradaban
Al-Sharaa menyadari taktik klasik yang dipakai Israel, yang di belakangnya ada Amerika, yaitu menjadikan kelompok minoritas sebagai alasan intervensi.
Ia memilih tidak langsung membalas secara militer, dengan pertimbangan kondisi dalam negeri yang belum stabil penuh, proses konsolidasi kekuatan nasional yang masih terus berjalan dan risiko eskalasi perang terbuka yang mungkin saja terjadi.
Presiden masa transisi tersebut tentu tidak bisa menghindari mediasi yang dilakukan Washington, yang merupakan bagian dari pendekatan Amerika yang lebih luas terhadap isu Suriah. Pemerintah AS telah memutuskan pilihannya terkait rezim baru yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa dan condong ke arah pendekatan pragmatis yang lebih mengutamakan pengujian rezim baru daripada membiarkan negara tersebut kembali terjerumus ke dalam kekacauan era Assad yang lebih dekat ke Iran dan Rusia.
Washington mulai secara bertahap melonggarkan sanksi yang dijatuhkan kepada Suriah dan para pemimpin rezim baru, menyusul upaya diplomatik intensif yang dilakukan Damaskus, yang menunjukkan kesediaan yang jelas untuk memenuhi kewajiban yang disyaratkan oleh Amerika Serikat.
Baca Juga: Vonis Tom Lembong: Jerat Prosedural, Preseden Baru bagi Pejabat?
Hal ini merupakan tambahan atas upaya yang dilakukan oleh sekutu Suriah, terutama Turkiye dan Arab Saudi, untuk membujuk pemerintahan Trump.
Berdasarkan pendekatan ini, pilihan Amerika adalah membangun kesepahaman keamanan yang luas antara Damaskus dan Tel Aviv, yang membuka jalan bagi normalisasi hubungan yang lebih luas pada masa yang akan datang.
Dalam satu aspek, perjanjian gencatan senjata ini merupakan upaya Amerika untuk menstabilkan keseimbangan kekuatan sementara di selatan dan mencegah terjadinya konfrontasi yang lebih luas. Sementara pada sisi lain, hal tersebut dapat menjadi stategis praktis dari AS untuk memastikan bahwa kepentingan vital Israel tidak dirugikan.
Pada akhirnya, langkah Al-Sharaa akan menunjukkan kesabaran strategis demi keselamatan jangka panjang negaranya dan rakyatnya, dengan tetap menjaga eksistensi negaranya dari intervensi asing, terutama rezim Israel. Di samping itu, juga untuk menjaga kesepahaman dengan negara-negara Arab tetangganya, dan menghadapi situasi geopolitik global di tengah perebutan kepentingan negara-negara besar terutama Amerika Serikat, Rusia dan Eropa. []
Baca Juga: Kekalahan Zionis Israel atas Rakyat Palestina
Sumber: Arabic Post
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Aneksasi Zionis terhadap Masjid Ibrahimi Harus Dihentikan