Senja perlahan memudar, dan angin petang yang sejuk membawa jutaan butir hujan sebagai saksi bisu. Kisah ini adalah tentang seorang pria yang rela meninggalkan keluarga tercinta demi menggapai ridho Allah. Namanya Suyitno, pria paruh baya yang baru saja pulang setelah dua tahun menjadi relawan di Palestina, membantu pembangunan Rumah Sakit (RS) Indonesia di Gaza. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menjejakkan kaki di tanah penuh berkah tersebut.
“Semua ini atas izin Allah,” ujar Yitno memulai ceritanya. “Saat pelatihan SAR di pusat Jama’ah Muslimin tahun 2011, Imam Muhyiddin Hamidi mengumumkan pendaftaran relawan untuk Gaza telah dibuka. Saat itu, anak saya mengambil formulir pendaftaran dan memberikannya kepada saya. Setelah saya isi, saya serahkan ke maktab ‘am.”
Beberapa bulan setelahnya, Yitno, sapaan akrabnya, diminta membuat paspor. Tak lama kemudian, ia mengikuti pelatihan-pelatihan SAR selanjutnya, hingga pada tahun 2012 Allah mengizinkannya menginjakkan kaki di tanah Gaza bersama 21 relawan dari berbagai daerah.
“Perjalanan ini sungguh seperti mimpi,” kenang Yitno dengan rendah hati. “Saya yang tak punya pengalaman, biaya, atau pengetahuan, tiba-tiba Allah panggil untuk berangkat ke Palestina,” kenangnya.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Saat pertama kali tiba di Gaza, Yitno terkesima oleh kekuatan dan ketabahan warga Gaza atas tanahnya yang telah lama dijajah. Di mata Yitno, penduduk Gaza tidak tampak seperti orang yang sedang terpuruk. Dari segi ekonomi, mereka bahkan lebih baik daripada sebagian rakyat Indonesia.
“Orang Gaza, meski dibilang paling miskin, tapi masih punya parabola dan rumah dari terbuat dari tembok,” ungkapnya penuh keheranan. “Tidak seperti di Indonesia, di masih ada yang tinggal di rumah-rumah bilik beratap ijuk atau ilalang. Pernah suatu ketika, penduduk Gaza datang berkunjung ke relawan RSI dari Wonogiri, dan mereka meneteskan air mata karena tidak menyangka bisa bertemu orang seperti kami di Palestina,” katanya.
Kehidupan di Gaza, Keteguhan Hati di Tengah Perang
Saat Yitno dan rekan-rekan relawan lain tiba di Gaza, hari raya Idul Adha tinggal menghitung hari. Namun, ada yang terasa berbeda ketika mereka melaksanakan sholat Id di sana. Mereka sholat seolah menghadap ke matahari, berbeda dengan di Indonesia. Setelah sholat, mereka langsung bergabung dengan Perdana Menteri Ismail Haniyeh dan ditempatkan di shaf paling depan—suatu momen yang menggetarkan hati.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Menjelang 1 Muharram, suasana tiba-tiba berubah. Suara letusan terdengar di malam hari, mirip petasan, membuat para relawan bertanya-tanya apakah itu bagian dari perayaan Asyura. Namun, seketika diumumkan bahwa perang telah pecah. Suara itu bukan petasan, melainkan ledakan bom.
“Malam itu, tepat tanggal 1 Muharram, suara bom terus menggelegar lebih dahsyat,” kenang Yitno dengan tetap berusaha untuk tenang. “Setiap malam kami bergiliran berjaga. Pada malam kedua sejak perang dimulai, saya menghitung lebih dari seratus ledakan bom sepanjang malam, dari pukul 10 malam hingga fajar.”
Meski perang berkecamuk, semangat para relawan tak surut. Pembangunan RS Indonesia tetap berlangsung—memasang bata, menembok, dan melanjutkan tugas mereka seolah tidak ada ancaman di sekitar. Mereka sepenuhnya menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, tanpa sedikit pun rasa gentar. Bom yang jatuh di sekitar mereka merusak beberapa kaca rumah sakit dan merontokkan kusennya, namun kerja mereka tetap berlanjut.
Kesulitan lain datang dari keterbatasan kebutuhan pokok. Setahun sebelum mereka kembali ke tanah air, listrik di Gaza hanya tersedia 8 jam per hari. Air dan gas pun sangat terbatas. Kadang kala, untuk berwudhu, mereka harus menggunakan air minum. Memasak pun dilakukan dengan tungku karena kelangkaan gas.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Berita Duka, Ketabahan Seorang Ayah
Di saat hidup membawa kita ke tepi jurang kesedihan, masihkah ada ruang untuk meratapi duka? Itulah yang dialami Yitno ketika mendengar kabar bahwa putri tercintanya telah dipanggil oleh Sang Pencipta. Hatinya hanya bisa pasrah, meski air mata sempat jatuh, mengiringi perasaan yang tenggelam dalam kepedihan.
“Saat itu ada tim spiritualitas, Ustadz Abdurrahman, yang menyampaikan kabar tersebut dengan cara yang begitu lembut,” kenang Yitno. “Beliau memulai dengan taklim, yang terasa berbeda dari biasanya. Sepertinya, taklim itu dirancang khusus untuk menenangkan hati saya. Saya merasa nyaman mendengarnya, dan di akhir taklim itulah beliau memberitakan, putri saya telah dipanggil oleh Allah. Semua sudah diatur dengan begitu baik agar saya siap menerima kenyataan yang pahit ini,” kenang Yitno.
Dengan mata berkaca-kaca, Yitno melanjutkan, “Alhamdulillah, saya siap menerima takdir ini. Putri saya adalah titipan dari Allah, dan saya harus siap kapan pun Allah mengambil kembali titipan-Nya.”
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Kehilangan yang begitu mendalam ini mengajarkan Yitno bahwa semua yang kita miliki adalah amanah dari Sang Pencipta. Dan ketika saatnya tiba untuk dikembalikan, kita harus ikhlas dan tabah, meski hati tergores luka.
Kisah I’tikaf
I’tikaf di Gaza selalu menjadi momen spesial, terutama ketika para relawan hadir. Semangat masyarakat dalam beribadah begitu besar, hingga suasana terasa berbeda dari sebelumnya. Sholat tarawih dibagi dalam dua sesi, ada yang dilaksanakan setelah Isya dan ada yang dilakukan pada sepertiga malam.
“Ada yang unik saat itu,” kenang Yitno sambil tersenyum. “Di antara kami ada yang hafidz, dan semua berebut agar mereka bisa mengimami sholat. Bahkan ada yang sampai tolak-menolak karena begitu banyak yang ingin jadi imam.”
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Namun, satu kejadian yang paling berkesan adalah ketika seorang anak dimarahi oleh orang tuanya saat tarawih. Beberapa orang merasa kasihan dan mencoba membela anak itu, yang berujung pada perdebatan antara kedua orang tua. Tapi yang luar biasa, setelah hanya dua rakaat sholat, mereka langsung berdamai. Usai sholat, kedua orang tua yang bertengkar tadi berebut mencium kening satu sama lain sebagai tanda saling memaafkan. “Pelajaran yang kita dapat adalah betapa cepatnya mereka memberikan maaf. Hanya dalam dua rakaat sholat, kemarahan berubah menjadi kedamaian,” lanjut Yitno.
Kepulangan ke Indonesia
Saat berita tentang kepulangan para relawan Rumah Sakit Indonesia tersebar, masyarakat Gaza yang telah begitu dekat dengan mereka merasa antusias sekali untuk bertemu terakhir kali. Mereka bahkan bercanda ingin merasakan hawa tropis Indonesia, sebuah bukti dari kehangatan persahabatan yang terjalin. Beberapa warga Gaza bahkan bermimpi bahwa kaum Muslimin dari Indonesia akan menjadi bagian dari pembebasan Al-Aqsha, karena selain membangun rumah sakit, misi utama mereka adalah untuk kebebasan Al-Aqsha.
“Perasaan saya dan teman-teman relawan jelas senang sekali mendengar kabar akan segera pulang,” ujar Yitno. “Namun, proses kepulangan tidaklah mudah. Dari berita kepulangan hingga benar-benar pulang, memakan waktu sebulan penuh.” Masa menunggu itu penuh dengan berbagai aktivitas, ada yang hanya makan dan tidur, ada yang memanfaatkan untuk bersilaturahmi mengunjungi masjid yang satu ke masjid lainnya, berolahraga, bahkan bermain sepak bola. Bagi Yitno, ia memanfaatkan waktu tersebut untuk silaturahmi ke masjid-masjid setiap waktu sholat—zhuhur, maghrib, dan subuh.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Saat tiba waktunya untuk pulang, ujian dari Allah tidak berhenti di situ. Yitno dan tim relawan harus mencoba melewati perbatasan Rafah sebanyak tiga kali. Dua kali mereka gagal, hingga pada percobaan ketiga barulah mereka berhasil melintasi perbatasan. Meski dihadapkan dengan pemerasan, di mana setiap orang harus membayar 15 sekel untuk bisa melintas, mereka terus bertawakkal. Akhirnya, dengan berbagai cobaan yang telah dilalui, Allah mengizinkan mereka menginjakkan kaki di Mesir, yang berarti perjalanan pulang ke tanah air sudah semakin dekat.
Cerita Yitno mengajarkan tentang ketabahan dalam menghadapi ujian, baik dalam ibadah maupun perjalanan hidup. Yitno dan para relawan mengajarkan kita bagaimana tawakkal, dan pengabdian yang tulus. Mereka mengorbankan kenyamanan demi tujuan mulia, mengajarkan kepada kita bahwa keberanian bukanlah tidak takut, melainkan tetap bergerak maju meski berada di tengah ketidakpastian. Di balik setiap cobaan, ada rahmat yang menunggu di akhir perjalanan di tengah semua kekurangan dan ancaman perang.[Muslimatuz Zahro]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia