Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

SYAHWAT (Cinta) KEKUASAAN

Bahron Ansori - Senin, 30 Juni 2014 - 16:28 WIB

Senin, 30 Juni 2014 - 16:28 WIB

1017 Views

jabatanOleh Bahron Ansori, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Hingar bingar nuasa pilpres di negeri ini semakin menjadi dan terdengar nyata. Pertarungan dua partai besar untuk menjadi penguasa Negara Indonesia kian memanas. Berbagai upaya; entah itu tebar janji hingga tebar pesona pun dilakukan untuk menarik dukungan rakyat demi memenangkan pemilu.

Begitu menggiurkankah untuk menjadi orang nomor satu di negara ini dengan konsekuensi seabrek tanggung jawab di dunia dan akhirat? Yah, begitulah kekuasaan.

Keindahan dan manisnya mampu membuat orang melakukan apa saja yang penting ia berkuasa dan menjabat. Tentu kita tidak berharap siapa pun yang berkuasa di negeri ini kelak menjadi penguasa-penguasa yang ibarat kacang lupa akan kulitnya. Karena manisnya kekuasaan dan jabatan, tentu kita tak ingi rakyat dipermainkan dan kesejahteraannya tidak diperjuangkan.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Karena kekuasaan dan berkuasa itu adalah syahwat yang melekat pada manusia, maka sulit bagi siapa pun untuk melepasnya. Padahal, kekuasaan bisa membuat orang lupa dengan janji-janjinya sebelum ia berkuasa.

Dalam Islam, hubbur riyasah (cinta kekuasaan) adalah salah satu syahwat yang sering menimpa manusia, dan itu adalah penyakit. Bagi orang yang terkena penyakit ini, kekuasaan, jabatan dan segala yang mengiringinya berupa popularitas dan ketenaran merupakan tujuan hidupnya.

Terkait dengan cinta kekuasaan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda yang diriwayatkan oleh Ka’ab bib Malik ra, “Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah kerusakannya bagi domba itu, bila dibandingkan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya.” (dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan mengatakan, “hadits hasan shahih”).

Al-Hafidz Ibnu Rajab tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberitahukan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan akan merusak agamanya, dan kerusakan itu tidak lebih kecil daripada kerusakan akibat keberingasan dua serigala terhadap seekor domba. Bisa jadi sepadan atau mungkin lebih besar.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Ini mengisyarat kan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia, kecuali sangat sedikit (yang bisa selamat darinya). Sebagaimana pula halnya seekor domba tidak akan selamat dari keberingasan dua ekor serigala yang sedang lapar, kecuali sangat sedikit sekali.

Perumpamaan yang agung ini mengandung peringatan yang keras tentang keburukan sikap rakus terhadap harta dan kedudukan dunia, hingga beliau mengatakan, “Adapun tamaknya seseorang terhadap (kekuasaan) kedudukan maka itu lebih membinasakan daripada ketamakannya terhadap harta. Karena ambisi mencari kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan dunia untuk mengungguli (merasa tinggi) di atas sekalian manusia lebih berbahaya bagi seseorang daripada ambisi terhadap harta. Menahan diri dari hal tersebut sangat lebih sulit, karena untuk mencari kedudukan dan kekuasaan biasanya seseorang rela mengorbankan harta yang amat banyak.” (Syarah hadits, ma dzi’baani jaai’aani hal 7,13 secara ringkas)

Al Imam Ibnu Rajab kemudian menyebutkan metode setiap orang dalam meraih kedudukan dunia. Ia mengatakan, “Tamak terhadap kemuliaan dunia ada dua macam; pertama, mencari kemuliaan dunia dengan kekuasaan (power), dan harta. Semua ini sangat berbahaya karena pada umumnya akan menghalangi pelakunya untuk mendapatkan kebaikan dan kemuliaan di akhirat. Allah SWT berfirman, artinya, “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa. (Qs. 28: 83).

Hingga beliau mengatakan, “Di antara bentuk syahwat kekuasaan dunia yang jelas bahayanya adalah berupa tamak terhadap pemerintahan (yakni tamak ingin menjadi penguasa, red). Ini merupakan masalah yang sangat pelik yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang berilmu, mengenal Allah SWT dan mencintai-Nya. Perlu diketahuai bahwa cinta kemuliaan dengan cara tamak terhadap kekuasaan agar dapat memerintah dan melarang serta mengatur urusan manusia, jika hanya dimaksudkan semata-mata untuk tujuan memperoleh kekuasaan yang tinggi di atas sekalian manusia, merasa lebih besar daripada mereka dan agar orang terlihat membutuhkan dirinya, selalu merendah kepadanya serta menghinakan diri ketika ada hajat dan kebutuhan terhadapnya, maka bentuk seperti ini telah mengusik rububiyah dan uluhiyah Allah .

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Kedua, mencari kemuliaan dunia dan kekuasaan dengan hal-hal yang terkait dengan agama, seperti ilmu, amal ibadah dan kezuhudan. Ini lebih buruk dari yang pertama serta lebih besar bahaya dan kerusakannya. Karena ilmu, amal dan semisalnya hanyalah untuk mencari derajat yang tinggi dan kenikmatan abadi di sisi Allah SWT, juga untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada-Nya. (Syarh hadits ma dzi’baani jaai’aani, hal 7, 13 secara ringkas).

Menyejahterakan Rakyat

Di antara yang menambah besar bahaya ini adalah bahwasanya manusia memiliki kecenderungan dan cinta yang besar terhadap kekuasaan dan popularitas. Sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya manusia jika merenungkan dan mengenali dirinya dan manusia yang lain, maka seseorang akan melihat bahwa dirinya selalu ingin ditaati dan ingin berada di atas sedapat mungkin. Dan jiwa itu dipenuhi dengan rasa cinta terhadap kedudukan yang tinggi dan kekuasaan setinggi-tingginya. Maka anda dapati dia akan memberikan loyalitas kepada orang yang cocok dengan hawa nafsunya, dan memusuhi orang yang menyelisihi hawa nafsunya. Maka akhirnya dia menjadi hamba hawa dan keinginannya.”

Hingga pada ucapan beliau, “Dan kalau dia ditaati, maka dia ingin segala yang menjadi keinginannya terus ditaati, meskipun berupa dosa dan kemaksiatan kepada Allah SWT. Sehingga orang yang taat kepadanya lebih dia cintai dan lebih mulia baginya daripada orang yang taat kepada Allah dan menyelisihi keinginannya. Ini merupakan bagian dari keadaan Fir’aun dan seluruh orang yang mendustakan rasul-rasul.” (Majmu’ al-Fatawa 8/18, secara ringkas).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Sesungguhnya syahwat kekuasaan tidak akan terlepas dari berbagai kerusakan dan bermacam-macam keburukan. Sebagiannya disampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, “Ketahuilah bahwa tamak terhadap kekuasaan akan menyebabkan kerusakan yang besar, sebelum orang tersebut meraihnya, ketika orang tersebut sedang berusaha meraihnya dan lebih-lebih setelah berhasil mendapatkannya dengan penuh ambisi, yakni dapat menjerumuskannya ke dalam kezhaliman, takabbur dan kerusakan-kerusakan yang lain.” (syarh hadits ma dzi’baani jaai’aani).

Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Sesungguhnya cinta harta dan kedudukan, serta tamak terhadapnya akan merusak agama seseorang sehingga agama itu tidak tersisa kecuali apa yang dikehendaki Allah SWT. Hawa nafsu itu senang kepada kedudukan yang tinggi di atas manusia lainnya, dan dari sinilah tumbuh kesombongan dan kedengkian.” (ibid, hal 29).

Begitulah indahnya kekuasaan. Kemanisannya mampu membutakan mata hati setiap orang yang berlomba ingin meraihnya. Apa pun rela dikorbankan demi meraih kekuasaan, tak perduli berapa pun jumlah uang yang harus dikeluarkan. Tak perlu jalan yang benar atau buruk yang harus ditempuh yang terpenting adalah berkuasa. Terakhir, siapa pun yang nanti menjadi penguasa negeri ini, selama dia Muslim, maka sudah seharusnya ia dengan senang hati menjalankan aspirasi umat Islam yang menginginkan perhatian serius baik dari sisi pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Bukan sebaliknya malah turut ‘menindas’ umat Islam karena dianggap musuh.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyat (umat) yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya justeru mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang senang memecah-belah karena kebencian terhadap umat Islam. Karena mayoritas rakyat negeri ini adalah Muslim, maka wajib hukumnya bagi siapa pun yang kelak menjadi presiden memuliakan harkat dan martabat umat Islam.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Yang pasti setiap pemimpin yang tak bisa memberi keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya, maka kelak azab Allah di akhirat akan ia terima. Jadi anda para pemimpin, waspadalah !! (T/R2/R1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Tausiyah
MINA Millenia
Tausiyah
Palestina