Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

SYARI’AT RU’YATUL HILAL AWAL RAMADHAN

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 26 Juni 2014 - 21:28 WIB

Kamis, 26 Juni 2014 - 21:28 WIB

1825 Views

HILAL
Dok. rukyatulhilal.org
Dok. rukyatulhilal.org

Dok. rukyatulhilal.org

Oleh : Ali Farkhan Tsani

Pengantar

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Artinya : “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. Al-Baqarah [2] : 185).

Ibnu Katsir menyebutkan, ini merupakan hukum wajib bagi orang yang menyaksikan hilal untuk puasa Ramadhan.

Al-Maraghi menjelaskan, siapapun menyaksikan masuknya bulan, dan kesaksiannya itu melalui melihat hilal tanda masuk bulan (tanggal satu) atau mengetahui melalui orang lain, maka hendaknya ia berpuasa. Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak, yang tersebut di dalam Sunnah Nabawi, dan sudah dilaksanakan sejak Islam permulaan hingga sekarang.

Pelaksanaannya secara terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Pada masa Mulkan, baik Adhan maupun Jabbariyah, walaupun telah bergeser dari sistem Khilafah ke sistem Mulkan, tetapi sentral pengambilan keputusan Ru’yatul Hilal oleh pimpinan umat Islam tetap terjaga. Dan memang penentuan awal Ramadhan merupakan hak dan wewenang Imaam / Khalifah.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya : “Shaumlah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (HR. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).

Perbedaan Ru’yatul Hilal

Tentang perbedaan menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan Hari Raya terutama di Indonesia selama ini dianggap tidak menimbulkan masalah yang terlalu berarti di kalangan masyarakat. Karena umat Islam di Indonesia selama ini sudah terbiasa dengan penentuan hari raya tersebut.

Para ulama mujtahidin memang berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk menentukan tanggal Ramadhan dan hari raya. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Namun kalau umat Islam kembali pada tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, insya Allah perbedaan itu tidak terjadi.

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).

Itu perintah kepada seluruh umat Islam (dhamirnya jamak) dalam memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan, siapapun umat Islam dari seluruh dunia bisa melihatnya. Manusia tidak bisa memutlakkan bulan itu harus tampak di Indonesia. Wewenang Allah dengan segala kemahakuasaannya menampakkan bulan itu di ujung belantara Afrika, di padang Saudi Arabia, di Samudera Antartika, atau di sudut ufuk manapun di belahan dunia ini. Sesuai kehendak-Nya.

Kesepakatan OKI

Dalam rangka penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk Indonesia). Ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua, ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara. Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.

Di tengah situasi global yang semakin mendewasakan umat Islam, semoga ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan umat Islam, dapat terwujud di tengah perbedaan penetapan yang ada, khususnya dalam penetapan satu Ramadhan. (T/R1/R2).

Ali Farkhan Tsani, Penulis Da’i Pondok Pesantren Terpadu Al-Fatah Cileungsi, Bogor. Alumni Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauli Shana’a, Yaman. Redaktur Kantor Berita Islam Mi’raj (Mi’raj Islamic News Agency/MINA)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Ramadhan 1445 H
Feature
Kolom
Ramadhan 1445 H