Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Pelaksanaan ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) yang menandai masuknya tanggal satu dalam hitungan kalender Hijriyah, merupakan bagian dari syariat ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Artinya : “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. Al-Baqarah [2] : 185).
Ibnu Katsir menyebutkan, ini merupakan hukum wajib bagi orang yang menyaksikan hilal untuk memulai puasa Ramadhan.
Al-Maraghi menjelaskan, siapapun menyaksikan masuknya bulan, dan kesaksiannya itu melalui melihat hilal tanda masuk bulan (tanggal satu) atau mengetahui melalui orang lain, maka hendaknya ia berpuasa. Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak, yang tersebut di dalam Sunnah Nabawi, dan sudah dilaksanakan sejak Islam permulaan hingga sekarang.
Pada ayat lain Allah menyebutkan soal hilal tersebut:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 189)
Adapun pelaksanaan satu Ramadhan setelah ru’yatul hilal adalah secara terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Pada masa Mulkan, baik Adhan maupun Jabbariyah, walaupun telah bergeser dari sistem Khilafah ke sistem Mulkan, tetapi sentral pengambilan keputusan Ru’yatul Hilal oleh pimpinan umat Islam tetap terjaga. Dan memang penentuan awal Ramadhan merupakan hak dan wewenang Imaam / Khalifah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (HR. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kewenangan Imaam/Khalifah/pemimpin bagi kaum Muslimin, ditegaskan oleh Imam Ahmad :
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
Artinya: “Berpuasalah bersama Imaam dan Jama’ah Muslimin baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Adapun kesaksian ru’yatul hilal awal Ramadhan oleh seorang Muslim walaupun satu orang, tetap sah. Memang, dalam penglihatan bulan Ramadhan boleh dengan satu orang saksi, beda halnya dengan bulan selain Ramadhan yang mesti dengan dua saksi.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Ini seperti dikemukakan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram :
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
Pada hadits lain disebutkan:
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا”
Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” (HR Khamsah: Abu Dawud, An-Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya. An-Nasa’i lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal atau terputus sanadnya).
Perbedaan Ru’yatul Hilal
Tentang perbedaan menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan Hari Raya terutama di Indonesia selama ini dianggap tidak menimbulkan masalah yang terlalu berarti di kalangan masyarakat. Karena umat Islam di Indonesia selama ini sudah terbiasa dengan penentuan hari raya tersebut.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Para ulama mujtahidin memang berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk menentukan tanggal Ramadhan dan hari raya. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Secara umum penggunaan ru’yah lokal berdasarkan antara lain pada satu hadits dari Kuraib, yang artinya,“Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyahdi Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ;”Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku : “Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”.Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) “. Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah ? Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”. (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqy dan Ahmad, semuanya dari jalan : Ismail bin Ja’far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas. Berkata Imam At-Tirmidzi : Hadits Ibnu Abbas hadits : Hasan-Shahih Gharib. Berkata ImamDaruquthni : Sanad (Hadits) ini Shahih.
Bahwa ternyata Ibnu Abbas kemudian tidak menyamakan awal/akhir Ramadhan dengan penduduk Syam setelah persaksian Kuraib, mendorong munculnya berbagai asumsi penyebab perilaku tersebut. Dan asumsi yang paling menonjol terhadap sikap beliau tersebut adalah karena beliau menilai Madinah dan Syam berbeda jarak sehingga harus menggunakan ru’yatul hilal masing-masing wilayah.
Padahal statement seperti karena berbeda mathla’ itu sekali lagi adalah penafsiran dari pembaca, bukan ungkapan dari Ibnu Abbas itu sendiri. Dan atas hadits itulah oleh kemudian Imam Syafi’i memunculkan teori ikhtilaf al-Matali’, yakni bahwa rukyat di suatu kawasan, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Serta ada beberapa catatan pernyataan tersebut, statusnya mauquf pada Ibnu Abbas dan merupakan ijtihad beliau semata. Penggolongan ini sangat penting sebab hadits mauquf (atsar sahabat) secara klasifikasi adalah termasuk golongan hadits dha’if, di mana kita dilarang berhujah dengan hadits dha’if dalam masalah hukum syara’, khususnya lagi dalam masalah ibadah.
Posisi Hadits Kuraib
Setelah disebutkan hadits Kuraib, maka ada banyak hadits-hadits lain yang berbicara tentang ibadah puasa, agar kita dapat membandingkan hadits Kuraib dengan hadits-hadits tersebut, yang semuanya diambil dari kitab yang sama Bulughul Maram Min Adilatil Hukmi karya Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani
Disebutkan dalam Hadits ke-511 : Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa :
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat shalat mereka.
Dalam Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad shahih. Hadits ke-673 : Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berpuasalah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah
Hadits ke-674 : Menurut riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah menyebutkan, “Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban 30 hari.” Hadits ke-675 : Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: “Orang-orang melihat bulan sabit, lalu aku beritahukan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang agar berpuasa.
Juga ada Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban. Hadits ke-676 : Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.” Iamenjawab: Ya. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka berpuasa.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Secara selintas di sini kita dapat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam langsung meminta kaum Muslimin di Madinah agar berpuasa, setelah beliau mendengar kesaksian telah dilihatnya hilal oleh penduduk luar Madinah.
Riwayat ini selintas bertentangan dengan hadits Kuraib, di mana Ibnu Abbas tidak langsung mengakhirkan puasa setelah mendapat berita dari luar Madinah yang dibawakan oleh Kuraib.
Dalam hal ini bukan berarti mengatakan Ibnu Abbas berdusta atas nama Rasulullah. Akan tetapi semata-mata adalah hasil kategorisasi berdasarkan analisis ilmiah terhadap hadits Kuraib berdasarkan ilmu hadits itu sendiri, yang disebabkan akibat ketidaksempurnaan pada statement Ibnu Abbas itu sendiri.
Bahkan andaikan status hadits tersebut adalah mauquf alias hadits tersebut sebenarnya adalah atsar atau ijtihad sahabat Ibnu Abbas, maka setiap muslim sah dan diperbolehkan saja untuk mengikuti terhadap ijtihad Ibnu Abbas tersebut. Alias tidak menutup pintu untuk tetap menggunakan hadits tersebut dalam menentukan pendapat penetapan awal/akhir Ramadhan.
Hanya saja bila hadits tersebut ternyata tidak sampai pada tingkat marfu’ maka dalam istimbath hukum hadits tersebut akan dikalahkan dengan hadits yang marfu’ hakiki.
Akan tetapi yang jelas adalah bahwa jarak Makkah dan Madinah itu berbeda mathla (600 km). Meski tidak ada indikasi di mana musafir itu melihat bulan, apakah telah di dekat Madinah atau masih jauh dari Madinah. Yang pasti musafir itu melihat pada maghrib dan sampai di Makkah pada sore hari atau bila berjalan dari subuh, paling tidak telah berjalan lebih dari 9 jam bila melanjutkan perjalanan setelah subuh.
Justru di sinilah kuncinya, bahwa Rasulullah SDhallalahu ‘Alaihi Wasllam memang tidak pernah menanyakan pembawa berita itu melihat di mana hilal tersebut. Asalkan orang itu muslim dan adil, maka kesaksian ru’yat nya harus diterima dan diamalkan sebagai tanda awal/akhir Romadhan oleh seluruh kaum Muslimin.
Inilah maka yang menjadi kuncinya adalah kalau umat Islam kembali pada satu pimpinan dan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, insya Allah perbedaan itu tidak terjadi.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Itu perintah kepada seluruh umat Islam (dhamirnya jamak) dalam memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan, siapapun umat Islam dari seluruh dunia bisa melihatnya. Manusia tidak bisa memutlakkan bulan itu harus tampak di Indonesia. Wewenang Allah dengan segala kemahakuasaannya menampakkan bulan itu di ujung belantara Afrika, di padang Saudi Arabia, di Samudera Antartika, atau di sudut ufuk manapun di belahan dunia ini. Sesuai kehendak-Nya.
Urgensi Imaam bagi Muslimin
Dalam rangka penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk Indonesia). Ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa
Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua, ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara. Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.
Insya Allah, mereka yang berpatokan pada rukyat global itulah yang memperjuangkan ukhuwah Islamiyyah sebenarnya, satunya kaum Muslimin di seluruh dunia tanpa sekat-sekat ashobiyah nasionalisme. Mereka kaum Muslim tidak mempedulikan di mana info ru’yat itu pertama kali terjadi dan Muslim siapa yang melihatnya. Selama si peru’yat Muslim diterima kesaksiannya berdasarkan pertimbangan kredibilitasnya, keadilan dan kemampuannya dalam meru’yat, maka informasi itu akan diterima untuk memulai/mengakhiri puasa Ramadhan serentak bersama umat Islam sedunia.
Inilah ukhuwah Islam dan kesatuan umat Islam yang sebenarnya, bukan jargon dan pengkaburan fakta semata. Dan untuk penetapan itu semua, maka di sinilah letak urgensinya keberadaan seorang Imaam atau Khalifah bagi satunya kaum Muslimin seluruh dunia.
Begitu pentingnya hal trersebut, Imam At-Tirmidzi ketika mengomentari hadits dari shahabat Abu Hurairah, tentang : “Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Dan Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban.” (HR At-Tirmidzi)
Maka At-Tirmidzi kemudian berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan : “Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama Jama’ah Muslimin di bawah pimpinan Khalifah atau Imam”.
Sementara Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, “Kaum Muslimin senantiasa wajib mengikuti Imaam atau Khalifah. Maka, jika Imaam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imaam berbuka (ber-Idul Fitri), mereka wajib pula berbuka”.
Begitulah urgensi kehadiran seorang Imaam atau Khalifah bagi kaum Muslimin, bukan dalam keadaan sedang terpecah-belah ke dalam shabiyah seperti sekarang ini, yang masing-masing dipimin oleh pimpinan kelompoknya sendiri-sendiri.
Begitu sangat pentingnya satu Imaam atau satu Khalifah bagi dunia Islam dalam satu masa, sehingga sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mewasiatkan umat Islam agar kepemimpinan atas umat Islam itu hanya satu. Jika lebih dari satu, maka hapuskan yang akhir darinya.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
Artinya: “Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dibaiat di antara keduanya”. (HR Muslim dari Abu Sa’iid Al-Khudriy).
Tentunya dzahirnya bukan untuk langsung membunuh atau memenggal orang-orang yang memecah-belah. Tetapi khabar itu adalah indikasi bagi perintah yang sangat tegas agar umat Islam hanya berada pada satu satu pemimpin, satu Imaam, satu Khalifah bagi seluruh kaum Muslimin.
Adapun penilaian objek hukum (tahqiqul manath) terhadap Imaam atau Khalifah tidak bisa dinisbatkan pada semua kepala negara yang ada di dunia ini, walaupun itu mengepalai negara yang mayoritasnya umat Islam atau negara Islam (Islamic State), atau apalagi umat Islam menjadi minoritas di sana.
Sebab telah terbukti bahwa mereka tidak menjalankan fungsinya sebagai Khalifah atau Imaam bagi seluruh kaum Muslimin, yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menyebarkan Islam dengan dakwah dan futuhat (pembebasan) yang bersifat rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana fungsi dan definisi Khalifah itu sendiri.
Untuk itu, bicara ru’yatul hilal, adalah bicara umat Islam yang wajib bersegera untuk mengamalkan dan memiliki Imaam atau Khalifah, agar ukhuwah islamiyah yang hakiki terwujud, dan agar Islam kembali berjaya di atas agama dan ideologi lainnya, serta hancurlah kebatilan serta lenyaplah segala fitnah yang sekarang mencengkeram umat Islam akibat terpecah-belah dalam sekat-sekat ashabiyyah. Wallahu a’lam bishshawab. (P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)