GEMURUH tawa anak-anak, aroma jajanan pasar yang menggoda, dan alunan gamelan yang syahdu menjadi penanda bahwa lebaran belum benar-benar usai di Kota Semarang.
Sepekan setelah hari Idul Fitri, masyarakat tumpah ruah merayakan Syawalan—sebuah tradisi yang tak hanya menjadi perayaan religius dan budaya, tetapi juga motor penggerak roda ekonomi rakyat.
Di tengah modernisasi dan perubahan zaman, Syawalan tetap hidup, bergelora, dan mengakar kuat sebagai identitas kolektif warga Semarang.
Tradisi Syawalan di Semarang diyakini telah berlangsung sejak abad ke-19 dan merupakan bagian dari budaya Islam Jawa yang menyatukan unsur religi dan sosial dalam satu momentum.
Baca Juga: Sungkeman, Tradisi Penuh Makna dalam Momen Idul Fitri
Kata “Syawalan” berasal dari kata “Syawal”, yaitu bulan ke-10 dalam kalender Hijriyah. Syawalan sendiri mengacu pada tradisi yang dilakukan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri, sebagai bentuk penyempurnaan silaturahmi dan rasa syukur atas datangnya hari kemenangan.
Latar belakang munculnya tradisi ini berkaitan erat dengan ajaran para wali dan ulama Jawa terdahulu yang ingin memperpanjang semangat kebersamaan umat setelah Ramadhan berakhir.
Masyarakat diajak untuk tidak hanya merayakan secara pribadi, tetapi juga berbagi kebahagiaan dalam lingkup yang lebih luas. Oleh karena itu, Syawalan kemudian menjadi ajang halal bi halal massal, yang disemarakkan dengan berbagai kegiatan seperti kirab budaya, ziarah, dan pasar rakyat.
Syawalan di Berbagai Penjuru Semarang
Baca Juga: Kerasnya Hati Orang Yahudi
Di Semarang, Syawalan dirayakan di berbagai tempat, namun dua lokasi paling ikonik adalah Pantai Marina dan Gunungpati.
Di Pantai Marina, tradisi Syawalan biasanya dirayakan dengan makan bersama “kupat lepet” di tepi pantai, sebagai simbol penghapusan dosa dan harapan hidup baru yang lebih bersih.
Ribuan warga berkumpul di pesisir, menggelar tikar bersama keluarga, menyantap ketupat, opor, dan aneka kudapan khas lebaran.
Selain itu, ada pula pentas seni, lomba-lomba rakyat, dan parade budaya yang memikat perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara.
Baca Juga: Wae Rebo: Desa di Atas Awan dengan Rumah Adat Unik
Sementara di kawasan Gunungpati, Syawalan lebih bernuansa spiritual. Warga berbondong-bondong melakukan ziarah ke makam tokoh agama atau leluhur desa. Setelahnya, digelar pengajian akbar, diiringi bazar UMKM yang menyediakan aneka makanan, pakaian, hingga kerajinan tangan. Kegiatan ini menjadi bentuk harmonisasi antara nilai religi, budaya, dan ekonomi lokal.
Menggerakkan Ekonomi Lewat Tradisi
Salah satu aspek menarik dari tradisi Syawalan di Semarang adalah dampaknya terhadap perekonomian warga. Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Semarang bahkan menjadikan momen Syawalan sebagai bagian dari kalender pariwisata tahunan.
Hal itu tentu mendorong pelaku UMKM untuk ambil bagian dalam memeriahkan acara, baik sebagai penyedia makanan, souvenir, jasa hiburan, maupun transportasi.
Baca Juga: 15 Tips Menjadi Ayah yang Baik: Panduan untuk Ayah Milenial
Setiap kali Syawalan digelar, ratusan lapak dadakan bermunculan di sekitar lokasi acara. Pedagang makanan tradisional seperti lontong opor, tahu petis, jenang sumsum, hingga wedang ronde kebanjiran pembeli.
Begitu pula para pengrajin batik Semarangan, pembuat anyaman bambu, hingga penjual mainan anak-anak. Pendapatan mereka bisa meningkat dua hingga tiga kali lipat dari hari biasa.
Sektor transportasi dan akomodasi juga ikut terdongkrak. Banyak perantau yang sengaja memperpanjang masa mudik demi mengikuti tradisi Syawalan. Hotel-hotel penuh, angkutan umum padat, dan objek wisata sekitar kota menjadi ramai dikunjungi.
Dinas Pariwisata mencatat bahwa Syawalan mampu menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang signifikan, khususnya dari sektor pariwisata dan perdagangan.
Baca Juga: Ahlul Qur’an: Mencintai, Menghafal, dan Mengamalkan
Peran Masyarakat dan Pemerintah dalam Melestarikan Tradisi
Kelestarian tradisi Syawalan tidak lepas dari peran aktif masyarakat. Di tingkat kampung, warga membentuk panitia Syawalan secara swadaya. Mereka merancang rangkaian acara, mengatur logistik, hingga menyusun protokol keamanan. Gotong royong menjadi ruh utama, mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi.
Pemerintah kota pun memberikan dukungan penuh, mulai dari fasilitas, promosi, hingga pendampingan UMKM. Dinas terkait menyediakan pelatihan pengemasan produk, pemasaran digital, dan sertifikasi halal untuk para pelaku usaha.
Dengan cara ini, Syawalan bukan hanya ajang seremonial, tetapi juga momen untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat.
Baca Juga: Meniti Jalan Ahlul Qur’an: Menggapai Derajat Mulia
Tak kalah penting, keterlibatan generasi muda dalam kegiatan Syawalan juga menjadi penentu kelangsungan tradisi. Melalui media sosial, mereka mendokumentasikan momen-momen Syawalan dan memperkenalkannya ke khalayak luas.
Inovasi-inovasi juga mulai masuk, seperti pertunjukan seni digital, festival kuliner kekinian, dan lomba fotografi budaya yang dikaitkan dengan Syawalan.
Meski zaman terus berubah, semangat Syawalan tetap lestari di hati masyarakat Semarang. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya—kebersamaan, silaturahmi, syukur, dan solidaritas sosial—menjadi fondasi kuat dalam membangun kohesi sosial.
Di saat yang sama, Syawalan juga menjadi contoh bagaimana tradisi bisa menjadi aset ekonomi jika dikelola dengan baik. Tantangan ke depan tentu ada. Globalisasi, arus budaya luar, dan pola hidup modern bisa saja membuat generasi muda melupakan akar tradisinya.
Baca Juga: Menggapai Keutamaan Ahlul Qur’an di Era Modern
Namun, jika Syawalan terus diberi ruang untuk tumbuh, beradaptasi, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat, maka ia akan tetap hidup. Tidak hanya sebagai ritual budaya, tapi juga sebagai penggerak ekonomi dan penjaga harmoni sosial.
Syawalan di Semarang bukan sekadar perayaan pasca-Lebaran. Ia adalah napas panjang dari sejarah, budaya, dan semangat kolektif warga yang terus berdetak dalam harmoni. Di balik meriahnya pasar rakyat dan denting gamelan, tersembunyi kisah perjuangan masyarakat menjaga tradisi sambil menghidupkan ekonomi lokal. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ayah sebagai Teladan: Menginspirasi Generasi Berikutnya