Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Syekh Muhammad Amin al-Husaini: Mufti Palestina dalam Jejak Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Redaksi Editor : Arif R - 4 menit yang lalu

4 menit yang lalu

5 Views

Muhammad Amin Al Husaini (FOTO: X)

DALAM catatan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak banyak yang mengetahui bahwa dukungan dari dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia sudah hadir bahkan sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Salah satu tokoh penting yang memberikan pengakuan awal terhadap Indonesia sebagai negara merdeka adalah Mufti Besar Palestina, Syekh Muhammad Amin al-Husaini. Beliau adalah seorang ulama terkemuka sekaligus negarawan berpengaruh di dunia Islam dan kawasan Timur Tengah.

Pada tahun 1944, di tengah berkecamuknya Perang Dunia II, Syekh al-Husaini menyatakan secara resmi dukungan kemerdekaan Indonesia melalui siaran radio berbahasa Arab dari Berlin, Jerman. Pernyataan terbuka ini menjadi simbol kuat solidaritas dunia Islam terhadap perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan dan kolonialisme.

Secara historis, pengakuan ini merupakan salah satu bentuk pengakuan de facto pertama terhadap Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia resmi diumumkan. Dukungan dari Palestina ini menjadi bagian penting dalam narasi diplomasi internasional yang mendukung lahirnya Republik Indonesia.

Dukungan yang disampaikan oleh Syekh Amin al-Husaini bukan hanya bersifat simbolik. Dengan posisi strategisnya sebagai tokoh sentral dalam dunia Islam, pernyataan tersebut memberi pengaruh politik yang besar. Ia tidak sekadar berdiri sebagai ulama, tetapi sebagai sosok pemersatu yang menyuarakan aspirasi kemerdekaan dan persatuan umat Islam lintas batas bangsa.

Baca Juga: Kontribusi dan Pemikiran Soekarno untuk Palestina

Lebih jauh lagi, semangat solidaritas antarbangsa Muslim juga tercermin melalui peran tokoh Palestina lainnya, seperti Muhammad Ali Taher, yang tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga materi, menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bantuan ini menjadi bukti nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat simpati dan dukungan luas dari dunia Muslim.

Hubungan historis yang terjalin sejak masa perjuangan itu kemudian menjadi dasar kuat bagi Indonesia dalam memberikan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina pascakemerdekaan. Balas budi diplomatik ini menjadi cermin dari nilai solidaritas dan persaudaraan yang tertanam dalam sejarah kedua bangsa.

Puncak dari hubungan historis tersebut kembali terlihat ketika Syekh Amin al-Husaini mengunjungi Yogyakarta pada tahun 1955. Dalam kunjungan bersejarah itu, ia menyampaikan pesan tentang pentingnya persatuan umat Islam dan dukungan terus-menerus terhadap kemerdekaan Palestina, yang hingga kini masih menjadi perjuangan panjang.

Amin al-Husaini menjabat sebagai Mufti Besar Yerusalem, pemimpin otoritas keagamaan Islam tertinggi di bawah kekuasaan Mandat Inggris di Palestina, sejak tahun 1921 hingga 1937. Dalam masa kepemimpinannya, al-Husaini dikenal sebagai pemikir dan penggerak politik pan-Arab, dengan tiga gagasan utama: mewujudkan federasi negara-negara Arab, menolak gelombang imigrasi Yahudi ke Palestina, dan menentang aspirasi nasional Yahudi di wilayah tersebut.

Baca Juga: Laksamana Malahayati Lulusan Akademi Baitul Maqdis Aceh

Setelah dicabut dari jabatannya oleh otoritas Inggris akibat peran aktifnya dalam perlawanan, al-Husaini menjalani pengasingan antara 1937 hingga 1945. Di masa pengasingan inilah ia membentuk citra dirinya sebagai pembela dunia Arab dan Muslim, serta mencari aliansi strategis dengan Blok Poros, terutama Nazi Jerman dan Fasis Italia. Tujuannya adalah memperoleh dukungan atas kemerdekaan negara-negara Arab dan kebebasan mereka untuk membentuk kesatuan politik berdasarkan dominasi kebudayaan dan identitas Islam, khususnya Arab.

Dalam aliansinya dengan Poros, al-Husaini terlibat aktif dalam penyebaran propaganda politik. Melalui siaran radio, ia menyuarakan pesan-pesan anti-Inggris, anti-Zionis, dan pro-Poros ke negara-negara Arab. Ia juga menyerukan perlawanan bersenjata terhadap kekuatan Inggris dan Yahudi di kawasan Timur Tengah. Bahkan, ia merekrut pemuda-pemuda Muslim untuk bergabung dalam unit-unit militer Jerman, termasuk Waffen-SS dan divisi-divisi pendukung lainnya.

Di sisi lain, Poros memanfaatkan al-Husaini sebagai instrumen politik untuk mempengaruhi penduduk Muslim di wilayah yang berada di bawah kendali atau pengaruh mereka. Tujuannya adalah membangkitkan semangat pemberontakan terhadap Sekutu dan menciptakan instabilitas di kawasan yang strategis secara geopolitik.

Namun aliansi itu tidak bertahan sesuai harapan. Saat kekuatan Poros mengalami keruntuhan menjelang akhir Perang Dunia II, Jerman dan Italia gagal memenuhi janji mereka untuk mendukung ambisi politik al-Husaini.

Baca Juga: Terima Kasih, Ali Taher: Wartawan Palestina untuk Merdeka yang Kita Nikmati Hari Ini

Pada tahun 1945, ia ditahan oleh pemerintah Prancis, namun setahun kemudian ia berhasil melarikan diri ke Mesir. Di sana, ia kembali melanjutkan perjuangan, lebih fokus kepada nasionalisme Palestina dan penolakan terhadap pendirian negara Israel.

Ia wafat di Beirut, Lebanon, pada 4 Juli 1974, meninggalkan warisan panjang sebagai tokoh yang kontroversial namun penting dalam sejarah dunia Islam. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kisah Aep, 20 Tahun Lebih Jadi Pedagang Perabot Dapur

Rekomendasi untuk Anda