Oleh: Nur Abdillah, Sekretaris Lembaga Bimbingan Ibadah dan Penyuluhan Islam (LBIPI) Al-Fatah
Belum genap sebulan gencatan senjata antara penjajah Zionis Israel dengan Palestina, tepatnya pada 9 Oktober 2025, berulang kali Zionis Israel kembali menyerang dan membunuh warga Gaza. Tercatat, sedikitnya 97 warga Palestina gugur dan lebih dari 230 lainnya terluka akibat serangan udara Israel di Jalur Gaza pada Ahad (19/10).
Militer Zionis berdalih bahwa serangan-serangan itu merupakan “respons terhadap pelanggaran Hamas”, namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Serangan udara menghantam wilayah Zawaida, Nuseirat, dan Bureij, menewaskan warga sipil termasuk anak-anak. Rumah Sakit Al-Aqsa di Deir al-Balah kewalahan menampung korban kebiadaban itu.
Sementara dunia masih berbicara tentang “peluang perdamaian”, Israel justru menutup Perlintasan Rafah dan memperketat blokade bantuan kemanusiaan. Gaza kembali dalam kegelapan dan kelaparan. Apakah ini yang mereka sebut komitmen pada perdamaian?
Baca Juga: Ketika Bumi Memanggil Kita Lewat Gelombang Panas
Tindakan ini bukanlah insiden tunggal, melainkan pengulangan dari sejarah panjang pengkhianatan. Sejak zaman para nabi, Bani Israil dikenal suka mengingkari perjanjian, baik dengan Allah, para rasul, maupun dengan sesama manusia.
Allah menegaskan tabiat buruk bangsa itu dalam firman-Nya:
أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِّنْهُمْ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Apakah setiap kali mereka mengadakan perjanjian, segolongan dari mereka melanggarnya? Bahkan kebanyakan dari mereka tidak beriman.”(QS. Al-Baqarah [2]: 100)
Baca Juga: Perdamaian Tidak Akan Terwujud Tanpa Negara Palestina
Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini adalah teguran terhadap kebiasaan mereka yang selalu mengingkari janji, dan hanya mematuhi kesepakatan ketika hal itu menguntungkan diri mereka. Sedangkan Al-Qurthubi menegaskan bahwa pengkhianatan itu bukan perilaku individu, melainkan sudah menjadi tabiat kolektif bangsa mereka.
Sejarah membenarkan, tiada satu pun perjanjian yang mereka buat kecuali mereka melanggarnya. Mereka berjanji hari ini, dan besok mereka merusaknya. Inilah tabiat abadi Zionis Israel, dari zaman Nabi Musa, hingga Nabi Muhammad ﷺ, dan bahkan hingga akhir zaman.
Kini, fakta itu terulang dalam bentuk yang lebih modern: perjanjian Oslo yang dilanggar, gencatan senjata yang dikhianati, dan resolusi PBB yang diabaikan. Semua ini menunjukkan watak pengingkaran janji yang telah mendarah daging.
Kezaliman yang Berulang dan Kewajiban Membela yang Tertindas
Baca Juga: Tahanan Palestina Abu Moussa Pulang, tapi Gaza telah Hancur dan Keluarganya telah Gugur
Gencatan senjata seharusnya menjadi momentum untuk menegakkan kemanusiaan. Namun bagi rezim Zionis, ia hanyalah jeda untuk mengisi ulang senjata, setelah mampu mereka akan Kembali melakukan hal yang sama.
Peristiwa Gaza bukan sekadar berita, tetapi cermin bagi umat Islam di seluruh dunia. Umat ini dituntut tidak hanya mengutuk kezaliman, tetapi menegakkan kesatuan dan solidaritas, sebab kelemahan dan perpecahan umat sering menjadi celah bagi musuh untuk memperkuat penjajahan.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling tolong-menolong adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh itu sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa derita rakyat Palestina adalah derita kita semua. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk diam. Diam berarti mendukung kezaliman dengan kebisuan.
Baca Juga: Muka Tembok: Netanyahu dan Ambisi di Atas Darah
Allah Subahanu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas?” (QS. An-Nisā’ [4]: 75)
Ayat ini, menurut Tafsir As-Sa‘di, adalah seruan langsung bagi kaum Muslimin untuk membela kaum tertindas, baik dengan kekuatan, doa, maupun harta, sesuai kemampuan masing-masing. Ia merupakan kewajiban moral dan spiritual bagi seluruh umat Islam.
Baca Juga: [POPULER MINA] Israel Langgar Gencatan Senjata di Gaza dan Pertukaran Tahanan
Kewajiban Negara dan Dunia Islam
Para ulama seperti Yusuf al-Qaradawi dan Abul A‘la al-Maududi menegaskan bahwa membela rakyat Palestina adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) atas seluruh umat Islam. Negara-negara Islam tidak boleh berdiam diri terhadap penindasan yang terjadi, tetapi harus menggunakan kekuatannya, militer, ekonomi, dan diplomatik untuk menghentikan kezaliman Israel serta mendukung kemerdekaan penuh bagi rakyat Palestina.
Al-Ghazali menulis, “Jika umat Islam tidak bersatu untuk membela saudaranya yang tertindas, maka mereka tidak hanya kehilangan izzah (kehormatan), tetapi juga mengundang murka Allah karena mengabaikan amanah ukhuwah.”
Inilah yang Sayid Qutb sebutkan di dalam tafsirnya ketika membahas QS. Ali Imran: 102-103, bahwa kekuatan umat Islam minimal ada pada dua hal, jika salah satunya hilang maka keberadaan umat Islam dianggap tidak ada, pertama kekuatan Aqidah, yaitu keimanan kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala dan kedua, kekuatan Ukhuwah atau Al-Jamaah. Tanpa keduanya wujuduhhu ka’adamihi, adanya sama dengan tidak adanya.
Baca Juga: Taaruf Dunia Konstruksi: Hikmah Robohnya Mushala Pesantren Al Khozini
Untuk menyempurnakan kekuatan umat Islam maka kewajiban kita adalah tarus membelanya, mensosialisasikannya dan menyampaikan kebenaran ini, bahasa Al Quran adalah dakwah (QS. Ali Imran: 104)
Dalam konteks internasional, perjuangan membela Palestina juga menyangkut tanggung jawab lembaga-lembaga dunia:
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menegakkan resolusi yang telah lama dikeluarkan, seperti Resolusi 242 dan 338 Dewan Keamanan PBB yang menuntut penarikan pasukan Israel dari wilayah pendudukan. Namun, hingga kini resolusi-resolusi itu diabaikan oleh Israel karena lemahnya keberanian politik dunia internasional dan dominasi veto negara-negara besar.
Dalam pandangan Islam, keadilan tidak boleh tunduk pada kebijakan kekuasaan. Allah berfirman:
Baca Juga: Dari Polemik Trans7 Menuju Etika Media yang Beradab
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah…” (QS. An-Nisā’ [4]: 135)
Demikian juga dengan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai wadah resmi 57 negara Muslim seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembelaan politik dan diplomatik terhadap Palestina. Namun, efektivitas OKI masih lemah karena kurangnya kesatuan visi dan keberanian menghadapi tekanan negara-negara Barat. Umat Islam perlu mendorong agar OKI tidak hanya mengeluarkan pernyataan kecaman, tetapi mewujudkan langkah konkret: memutus hubungan diplomatik dengan Israel, menekan embargo ekonomi, dan memperkuat dukungan kemanusiaan di Gaza.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Trans7 Tidak Memahami Esensi Mulianya Tradisi Takzim kepada Guru di Pesantren
Maka bagi negara-negara Islam, “tangan” yang dimaksud adalah kekuatan kebijakan dan kedaulatan, bukan hanya doa dan kecaman.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pun memikul tanggung jawab besar dalam menindak kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang dilakukan oleh rezim Zionis Israel.
Namun, karena adanya tekanan politik dari negara-negara pendukung Israel, proses hukum terhadap kejahatan Zionis sering tertunda atau tidak ditindaklanjuti. Di sinilah pentingnya dukungan kolektif dari dunia Islam untuk mendesak ICC bertindak adil dan independen. Sebab, dalam Islam, keadilan adalah perintah Allah yang bersifat universal, “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Nahl [16]: 90)
Dengan demikian, perjuangan untuk Palestina bukan hanya kewajiban kemanusiaan, tetapi juga amanah akidah dan syariah. Dunia Islam tidak boleh sekadar bergantung pada PBB atau ICC yang sering berpihak pada kekuatan dunia, tetapi harus memperkuat persatuan internal umat, berjama’ah, membangun kekuatan ekonomi dan diplomasi bersama, serta menyuarakan kebenaran di setiap forum internasional.
Baca Juga: Dari Gencatan Senjata Menuju Kemenangan Hakiki
Karena selama dunia diam terhadap kezaliman, Allah akan menumbuhkan dari kalangan mukminin kekuatan baru yang menegakkan keadilan dengan iman dan pengorbanan.
Janji Allah bagi Kaum yang Sabar
Sepanjang sejarah manusia, dari Fir’aun hingga Zionis modern, berlaku sunnatullah yang tak pernah berubah: kezaliman tidak akan bertahan lama. Sebagaimana firman Allah:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin serta pewaris bumi.” (QS. Al-Qashash [28]: 5)
Baca Juga: AS–Israel: Koalisi Setan Pembantai Rakyat Tak Berdosa
Gaza bukan sekadar medan perang, tetapi panggung keteguhan iman, tempat dunia melihat siapa yang berjuang karena kebenaran, dan siapa yang hidup dari kebohongan.
Kemenangan sejati bukan hanya militer, melainkan moral dan spiritual. Sejarah akan berpihak kepada yang sabar, yang teguh, dan yang tidak berhenti berjuang di jalan Allah.
Al-Aqsha Haqquna
Sudah sepatutnya umat Islam menegakkan peran aktif dalam membela kemerdekaan dan keadilan bagi Palestina, sebab di sanalah berdiri Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam dan salah satu dari tiga masjid suci yang dimuliakan Rasulullah ﷺ.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian bersusah payah melakukan perjalanan jauh kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Membela Al-Aqsha adalah bagian dari menjaga kehormatan Islam dan bukti keimanan kita. Sebab, diam terhadap kezaliman adalah bentuk pengkhianatan terhadap persaudaraan iman.
Al-Aqsha Haqquna. Al-Aqsha milik kita. Dan selama masih ada darah Muslim yang mengalir, suara kebenaran itu tak akan pernah padam. []
Mi’raj News Agency (MINA)