Tujuan utama shalat adalah untuk mengingat Allah (dzikrullah). Dzikir dalam salat mencakup bacaan Al-Fatihah, tasbih, tahlil, dan doa. Dengan melaksanakan shalat secara khusyuk, hati menjadi lebih dekat kepada Allah, sehingga tercipta ketenangan jiwa dan pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat hidup.
Sementara, dzikir merupakan pengingat tentang keesaan Allah, kuasa-Nya, dan kasih sayang-Nya. Shalat adalah sarana terbaik untuk menyempurnakan dzikir karena mengandung elemen fisik (gerakan), lisan (bacaan), dan hati (keikhlasan).
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.”
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan pernyataan tauhid yang tegas dari Allah kepada Nabi Musa. Allah menegaskan sifat-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Seruan untuk beribadah dan mendirikan shalat menunjukkan pentingnya hubungan manusia dengan Allah melalui ibadah khusus, yaitu shalat. Shalat menjadi sarana untuk mengingat Allah dan memperkuat keimanan.
Menurut Al-Qurtubi, penggalan “Fa’budni” (sembahlah Aku) menunjukkan kewajiban ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan “Wa aqimiṣ ṣhalata liżikrī” mengindikasikan keutamaan shalat sebagai bentuk dzikrullah (mengingat Allah). Al-Qurtubi menekankan bahwa ayat ini mengandung isyarat tentang penguatan iman melalui shalat yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan.
Sementara itu Al-Sa’di mengatakan, ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi Musa untuk beribadah secara ikhlas dan istiqamah. Shalat disebut secara spesifik karena ia merupakan bentuk dzikir yang paling utama. Kata “Liżikrī” menunjukkan bahwa tujuan shalat adalah mengingat Allah, sehingga orang yang mendirikannya akan selalu berada dalam hubungan dekat dengan-Nya.
Baca Juga: Lisanmu Adalah Cerminan Iman, Jangan Biarkan Kata-Kata Melukai..!
Dalam ayat di atas setidaknya jika ditadabburi (renungkan) ada tiga kandungan yang patut diperhatikan dengan serius oleh setiap mukmin antara lain yaitu; pertama, tauhid sebagai pondasi hidup. Artinya ayat tersebut mengingatkan manusia bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Allah. Tauhid adalah inti dari semua ibadah dan ketaatan.
Kedua, tentang keutamaan shalat. Shalat disebut secara khusus sebagai bentuk dzikir kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa shalat adalah sarana utama untuk menjaga kesadaran akan Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, keikhlasan dalam ibadah. Kata “Fa’budni” mengandung pesan bahwa ibadah harus ikhlas hanya kepada Allah. Tidak boleh ada riya atau syirik dalam setiap amal.
Sementara itu menurut para ulama semisal Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Sayyid Qutb mengomentari ayat di atas dengan sedikit perbedaan, sebagai beriku.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa dzikir kepada Allah adalah inti dari setiap ibadah, dan shalat adalah manifestasi paling sempurna dari dzikir tersebut.
Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan pentingnya tauhid dan ikhlas dalam ibadah. Semua amal harus bermula dari pengakuan akan keesaan Allah.
Kemudian Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an, menjelaskan bahwa ayat ini adalah deklarasi tegas tentang hubungan eksklusif manusia dengan Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa. Shalat disebut sebagai sarana utama menjaga kesadaran tauhid.
Dengan memahami ayat ini, kita diingatkan untuk selalu menjaga kualitas shalat kita. Bukan hanya sekadar menjalankan kewajiban, tetapi menjadikan shalat sebagai sarana untuk memperkuat hubungan dengan Allah. Semakin sering kita mengingat Allah dalam shalat, semakin kita merasa Dia hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga hati setiap mukmin untuk selalu menegakkan shalat sebagai wujud dari deklari tauhidnya kepada Allah semata, wallahua’lam.[]
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Mi’raj News Agency (MINA)