Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Tafakur berasal dari bahasa Arab, tafakkara, yatafakkaru, tafakkuran yang berarti memikirkan atau mempertimbangkan perkara.
Tafakur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya perihal merenung, memikirkan, atau menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh.
Tafakur secara istilah artinya merenungkan dan memikirkan ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di langit dan di bumi, dan mengarahkan akal pada keagungan sang Pencipta dan kemuliaan sifat-sifat-Nya. (Dr Malik Badri).
Baca Juga: Aksi Kebaikan, Dompet Dhuafa Lampung Tebar 1445 Makanan Berbuka dan Takjil
Tafakur menurut para sufi adalah cara untuk memperoleh pengetahuan tentang Allah dalam arti yang hakiki. Tafakur itu ibarat pelita hati, sehingga dapat terlihat baik dan buruk maupun manfaat dan madharat dari segala sesuatu.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, tafakur atau berpikir merupakan pangkal segala kebaikan. Dengan berpikir akan membuahkan pengetahuan, pengetahuan akan melahirkan perubahan keadaan yang terjadi pada hati. Selanjutnya perubahan keadaan hati akan melahirkan kehendak, kehendak akan melahirkan amal perbuatan. Jadi, berpikir adalah asas dan kunci semua kebaikan.
Lebih lanjut tafakur juga bermakna suatu perenungan dengan melihat dan menganalisis suatu perkara untuk mendapatkan keyakinan yang berhubungan dengan Allah.
Karena itu aktvitas tafakur ini tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan tauhidullah, tetapi juga digunakan untuk mengkaji masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Masjid Sekayu Semarang Cikal Bakal Pembangunan Masjid Agung Demak
Allah memuji orang-orang yang bertafakur, merenung untuk memperoleh pengetahuan.
Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 190-191:
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Baca Juga: Berkah Ramadhan, Wahdah Tebar Paket Sembako
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua, dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran/3:190-191).
Di dalam Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia seperti disebutkan Tafsirweb, dijelaskan, Ulul Albab adalah orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam kondisi apapun, baik dalam kondisi berdiri, duduk maupun berbaring.
Mereka juga senantiasa menggunakan akal pikiran mereka untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi. Mereka pun berkata, “Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan makhluk yang sangat besar ini untuk bersenda gurau. Mahasuci Engkau dari senda gurau. Maka jauhkanlah kami dari azab neraka, dengan cara Engkau bimbing kami kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan Engkau lindungi kami dari perbuatan-perbuatan yang buruk.”
Karena itu, berpikir adalah permulaan dari setiap perbuatan, karena hampir setiap orang akan mengerjakan sesuatu setelah ia mematangkan pikirannya, dan melihat apa yang akan ia perbuat, kemudian barulah ia bergtrak dan mempersembahkan apa yang dapat ia lakukan.
Baca Juga: Riska Gelar Anjangsana Sosial di Rumah Belajar Merah Putih Cilincing
Maka, pada Surat Ali Imran ayat 191 dijelaskan bahwa orang-orang beriman itu setelah mereka berpikir, mereka kemudian berbuat sesuatu yang bermanfaat, kemudian mereka memohon kepada Allah surga-Nya, dan mereka juga memohon perlindungan dari siksaan api neraka.
Karena itulah, orang-orang beriman itu setelah mereka berpikir, mereka kemudian berbuat sesuatu yang bermanfaat. Kemudian mereka memohon bimbingan dan pertolongan Allah, dan mereka juga memohon perlindungan dari perbuatan yang menyimpang dari syariat-Nya, yang akan mendatangkan siksaan api neraka.
Berkaitan dengan tafakur ini, sahabat Nabi, Abu Hurairah berkata, “Saya berpkir dan belajar sesaat lebih saya cintai dari pada saya habiskan waktu malam untuk shalat sampai subuh.”
Demikian juga Imam Hasan al-Bashri mengatakan, “Aku memahami satu masalah ilmu syariah, kemudian aku ajarkan ke Muslim yang lain, itu lebih aku sukai dari pada aku memiliki dunia seisinya yang aku jadikan untuk infak fi sabilillah.”
Baca Juga: Masjid Jami’ Aulia Pekalongan Usianya Hampir Empat Abad
Kini, pada sisa sepuluh hari yang akhir dari bulan Ramadhan, marilah jangan kita sisakan sedetik waktupun kecuali ia bernilai ibadah dan amal shalih.
Marilah juga kita pikirkan bersama bagaimana nasib umat dan dunia Islam saat ini. Bagaimana nasib kaum Muslimin di Palestina, di Rohingya, di Uighur, di Kashmir, dan di negeri-negeri minoritas lainnya.
Marilah kita pikirkan bagaimana program pemberdayaan kaum Muslimin di berbagai sektor kehidupan, bagaimana pula regenerasi masa depan umat, lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan kondisi sumber daya manusia yang mengelola kegiatan keumatan.
Marilah juga kita pikirkan apa andil kita dalam perjuangan menegakkan agama Allah ini sesuai bidang kita masing-masing.
Baca Juga: Ini Lima Hikmah Puasa Ramadhan Sebagai Pendidikan Ruhiyah
Semoga tafakur kita di antara dzikir dan i’tikaf kita dapat menghasilkan nilai tambah bagi Islam, iman dan juang kita di jalan Allah. Aamiin. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tujuh Pesohor Non-Muslim Ini Pandai Baca Al-Quran, bahkan Hafal Sebagian Suratnya