Tahukan Anda, gerakan pembebasan Masjid Al-Aqsa dan kemerdekaan Palestina oleh pemuda pelajar Indonesia bukan kali ini saja terjadi. Tetapi jauh sebelum Indonesia merdeka, para pejuang negeri ini juga telah masuk ke Palestina yang dijajah.
Sejak tahun 1931, gema perang Palestina melawan penjajah Israel sudah didiskusikan pemuda Indonesia. Majalah Muhammadiyah cabang Betawi memberitakan informasi tersebut. Pelajar-pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di Timur Tengah saat itu terlibat langsung dalam pertempuran melawan Israel.
Ada tiga pelajar Indonesia, saat itu negeri ini tentunya masih masa perjuangan lepas dari penjajahan Belanda, mereka antara lain Ali, Ibrahim, dan Sapulete. Ketiganya syahid di medan jihad.
Dalam artikel berjudul ”Natsir dan Perlawanan Terhadap Zionisme Israel”, sejarawan Ridwan Saidi (Ketua PB HMI 1974-1976) menuliskan kisahnya pada tahun Tahun 1992, ketika ia bertemu seorang tokoh Palestine Liberation Organization (PLO) di Jordania, dia amat terkejut saat tokoh Palestina itu menyebut nama Ali, Ibrahim dan Sapulete pejuang Indonesia yang berjihad di Palestina sampai menemui syahid pada tahun 1930.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-14] Tidak Halal Darah Seorang Muslim
Tulisan Ridwan Saidi yang dimuat dalam buku ”Degup Cita Pendiri Bangsa untuk Palestina” mengisahkan peran M Natsir dalam pergerakannya mengawal perlawanan bangsa Indonesia terhadap Israel. Artikel yang mengurai jasa dan perjuangan para pendiri bangsa ini untuk Palestina dikemas apik oleh Hadi Nur Ramadhan dan Pizaro Gozali Idrus.
Jejak perjuangan pemuda-pemuda Indonesia untuk Palestina, buka hanya kali ini saja. Jauh sebelum negara ini menghirup udara kemerdekaan, semangat membara membela Palestina telah terpatri pada anak muda di negeri ini dan terus diwarisi para generasi berikutnya hingga hari ini.
Gerakan perjuangan solidaritas untuk Masjid Al-Aqsa dan kemerdekaan Bangsa Palestina terus disuarakan. Adanya puluhan pemuda Indonesia dari Pondok Pesantren Al-Fatah Bogor yang langsung masuk ke Gaza pada tahun 2011, untuk pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Utara bersama MER-C, bukan suatu kebetulan sejarah, tetapi semangat yang terus diwariskan.
Semangat ini telah ada dari para pendahulu negeri ini, tidak heran jika semangat untuk Palestina akan terus lahir dari generasi Indonesia hingga kapan pun sampai kemerdekaan Palestina terwujud dan Masjid Aqsa kembali ke tangan kaum muslimin.
Baca Juga: Catatan Pilkada 2024, Masih Marak Politik Uang
Keterlibatan Indonesia terhadap pada isu Palestina dapat dilacak sejak masa Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Greg Barton dan Colin Rubenstein dalam tulisannya berjudul “Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting” yang diterbitkan dalam Jewish Political Studies Review (Spring 2005), disebutkan bahwa isu masa depan Palestina telah menjadi topik diskusi dalam pertemuan tahunan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1920-an.
Jejak pemikiran dan langkah para tokoh Indonesia ini juga terekam dalam ”Degup Cita Pendiri Bangsa untuk Palestina”. Tahun 1920-an, baik Indonesia maupun Palestina berada di bawah penjajahan. Palestina dijajah Inggris setelah direbut dari Kesultanan Utsmaniyah pada 1917 saat Perang Dunia I, sedangkan Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada masa itu era pergerakan nasional di Indonesia, ketika perjuangan bersenjata mulai bergeser ke pendekatan melalui organisasi modern yang bersifat nasionalis.
Era pergerakan nasional diawali dengan pendirian Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Selanjutnya, berbagai organisasi lain turut berdiri, termasuk organisasi Islam. Pada 1912, H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Dagang Islam di Surabaya yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam.
Pada tahun yang sama, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November, sementara Indische Partij dibentuk pada 25 Desember oleh E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara. Nahdlatul Ulama kemudian didirikan pada 31 Januari 1926 oleh KH Hasyim Asy’ari.
Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari, masing-masing pendiri Muhammadiyah dan NU, dikenal sebagai sahabat. Keduanya menimba ilmu dari ulama yang sama, Kiai Soleh Darat dari Semarang. Ahmad Dahlan juga belajar pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama asal Minangkabau yang menjadi imam besar Masjidil Haram sejak 1876.
Syekh Ahmad Khatib adalah paman KH Agus Salim, tokoh Sarekat Islam yang kemudian menjadi Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia pasca kemerdekaan. Agus Salim memiliki peran dalam melobi negara-negara Timur Tengah untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim sendiri, dalam satu tulisan berjudul Soal Yahudi dan Palestina yang ia tulis padad tahun 1939, menyoroti upaya mobilisasi Yahudi untuk mencaplok tanah Palestina. Agus menegaskan, negara Barat, khususnnya Amerika Serikat menjadi otak di belakang semua keinginan Yahudi bercokol di Palestina, dan menjadi sangat masif pasca Deklarasi Balfour 1917 yang memberi kesempatan besar bagi Yahudi mencuri Tanah Palestina.
Peran dan keterlibatan rakyat Indonesia akan terus ada hingga Palestina mendapati kemerdekaanya dan Masjid Aqsa kembali ke pangkuan umat Islam. []
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-13] Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam