Tsai Ing-wen Terpilih sebagai Presiden Perempuan Pertama Taiwan

Tsai Ing-wen, presiden terpilih Taiwan, menyapa pendukungnya saat masa kampanye (Foto: The New York Times)
, presiden terpilih , menyapa pendukungnya saat masa kampanye (Foto: The New York Times)

Taipei, 6 Rabi’ul Akhir 1437/16 Januari, 2016 (MINA) – Setelah lebih 60 tahun, warga Taiwan kini memiliki presiden perempuan pertama setelah kandidat dari oposisi Partai Demokratik Progresif (DPP), Tsai Ing-wen, berhasil memenangkan pemilihan umum, Sabtu (16/1).

Sebelumnya, politikus perempuan prokemerdekaan ini selalu unggul di sejumlah jajak pendapat utama, jauh di atas pesaing utamanya, Eric Chu Li-luan, 54, dari partai berkuasa Kuomintang (KMT) atau Partai Nasionalis.

Dengan lebih dari setengah suara yang telah dihitung, Tsai menang dengan hasil mayoritas yaitu sekitar 58,1% suara berbanding 32% untuk Chu. Sementara kandidat konservatif veteran James Soong dari Partai Rakyat Pertama hanya meraih 9,4% suara, Yahoo News melaporkan.

Dalam pidato sambutannya, Tsai menyeru sebuah ‘era baru’ di Taiwan dan berjanji untuk bekerja sama dengan partai politik lain terkait isu-isu utama.

“Kehendak rakyat Taiwan akan menjadi dasar untuk hubungan dengan Cina,” ungkap Tsai, BBC melaporkan yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Dia juga mengucapkan terima kasih kepada Amerika Serikat dan Jepang atas dukungan dua negara itu dan bersumpah akan membawa Taiwan berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Kemenangan Tsai, 59, dinilai berbagai kalangan akan membawa babak baru dalam kerja sama lintas selat atau dinamika hubungan Taiwan dan Tiongkok. Hingga saat ini Beijing masih menganggap ‘Negeri Formosa’ itu sebagai wilayahnya, sesuatu yang ditentang keras oleh DPP.

Tiongkok dan Taiwan, nama resmi Republik Rakyat Cina (PRC) dan Republik Cina, berpisah pada 1949 menyusul kemenangan Komunis di Cina daratan dalam perang sipil. Hingga saat ini Taiwan belum secara resmi mendeklarasikan kemerdekaannya dari Beijing.

Adapun DPP secara tradisional mendukung kemerdekaan Taiwan dari Cina daratan, yang juga banyak didukung oleh rakyat di negara itu. Kalangan oposisi merasa ‘lelah’ berada di bawah administrasi KMT yang sejak di bawah pimpinan Presiden Ma Ying-jeou, mendekatkan diri ke Beijing dengan ‘mengorbankan’ ekonomi dalam negeri.

“Saya memilih DPP, karena inilah saat yang sangat penting bagi orang-orang Taiwan. Kami memiliki sistem demokrasi sendiri, kita tidak akan pernah dipengaruhi oleh Cina,” tegas Tsai Cheng-an, 55, seorang profesor di Taipei.

Di antara massa yang berkumpul di markas DPP di Taipei Sabtu malam, sekelompok kecil orang mengangkat spanduk bertuliskan “Taiwan bukan bagian dari Cina. Dukung kemerdekaan Taiwan”.

Kandidat KMT pun secara terbuka telah mengakui kekalahannya. Di depan kerumunan pendukungnya di markas partai KMT, Chu menyatakan, “Maaf kepada semuanya, Chu Li-luan telah mengecewakan Anda. Kita telah gagal. Kami telah gagal mememenuhi harapan semua pemilih. Kami telah gagal menjaga tanggung jawab kami terhadap Taiwan.”

Selain kehilangan peluang kursi presiden, partai berkuasa juga mengakui kehilangan kendali legislatif untuk pertama kalinya dalam pemilihan parlemen.

Persoalan ekonomi

Karena ekonomi mandeg, banyak warga Taiwan frustrasi. Mereka memandang perjanjian perdagangan yang ditandatangani dengan Cina daratan telah gagal membawa keuntungan bagi ‘Negeri Formosa’, yang berarti negeri yang indah. Masalah ekonomi ini pula yang membuat popularitas KMT memudar.

DPP memiliki pendekatan yang lebih hati-hati terhadap Cina, meskipun Tsai telah berulang kali mengatakan dia ingin mempertahankan ‘status quo’.

“Taiwan membutuhkan perubahan, ekonomi dan politik,” ujar seorang pemilih 65 tahun di sebuah tempat pemungutan suara di Taipei, yang memperkenalkan diri sebagai Lee.

Adapun Beijing telah memperingatkan tidak akan berurusan dengan pemimpin yang tidak mengakui prinsip ‘satu Cina’, bagian dari perjanjian diam-diam antara Beijing dan KMT, yang dikenal sebagai “Konsensus 1992”. DPP tidak pernah mengakui konsensus itu.

Para pengamat mengatakan kemenangan Tsai akan membuat hubungan antara Taiwan dan Cina menjadi sulit diprediksi.

“Hubungan akan lebih rumit dan kurang dapat diprediksi. Bisa memburuk sampai batas tertentu, tetapi pada saat yang sama kepentingan Beijing adalah membuat Taiwan bergantung secara ekonomi,” kata analis politik Jean-Pierre Cabestan pada Hong Kong Baptist University. (T/P022/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.